Tahun 2000an awal, ketika masyarakat masih belum banyak menggunakan VCD, Kuch Kuch Hota Hai barangkali pilem India pertama yang kutonton. lewat kaset CD pinjaman dari seorang perantau Malaysia, kami memutar kaset tersebut di rumah. nyaris tumpah ruah penonton kala itu. karena di kampungku hanya hitungan jari saja yang mampu membeli barang mahal itu. meski kaset video lebih dulu masuk, umumnya hanya berada di rumah para perantau Malaysia saja.
Pilem produksi 1998 itu nyaris membuat seluruh penonton yang hadir terharu, bahkan sudahlah mengeluarkan air mata. Aku terkesima dengan alur cerita yang disajikan, bangunan-bangunan adegan dalam pilem cukup mudah dimengerti. dan pilem terlaris sepanjang sejarah perpileman india itu membuat orang-orang di kampungku demam Bollywood. dimulai dari nama anak dan gelar.
Tentu saja kita semua tau. jauh sebelum Kuch Kuch Hota Hai, Amrish Puri alias Tuan Takur sudah lebih dulu tersohor. Pilem pertamanya yang kutonton adalah Karan Arjun, Kisah beradik kakak Salman Khan dan Shahrukh Khan, Kajol juga ikut bermain dalam pilem produksi tahun 1995 ini. Karan Arjun adalah pilem India pertama yang kutonton lewat kaset video, dibawa oleh orang tua sahabatku sepulang dari malaysia. Meski “pulang miskin” tapi barang mahal itu sanggup juga dibelinya. sahabatku mematok harga 100 rupiah untuk satu judul film. semacam bioskop mini begitu.
Setalah tahun milenium berlanjut, tipi parabola mulai muncul. Aku dan papa menaiki bus Sinar Bulan (salah satu bus lejen rute Pesisir Selatan- Padang) menuju kota Padang. tujuan hendak membeli mesin digital dan parabola. Kebetulan kakakku sekolah di SMK Taman Siswa jurusan elektro. Jadi sudah ada toko terpercaya yang dituju, dan kami tak perlu cemas mutar ke Pasar Raya Padang yang terkenal anak bolanya itu. Kami hanya butuh digital dan parabola. Alasan papa membeli barang itu lantaran setiap menumpang nonton, kami kerap tidak dapat masuk karena tak sanggup membayar. Semacam iuran listrik begitu. Kalau tak bayar, maka gorden rumah pemilik parabola akan diturunkan. Dan kami hanya dapat mengintip, kadang memelas.
Tapi pilem India seperti menghantui. Kesukaan itu didukung karena masyarakat di kampungku cukup fanatik dengan perpileman “tambi” (maksudnya mungkin tamil) itu. Jika ingat kenangan itu, aku selalu membayangkan suasana saat menonton. Di antara orang-orang yang datang, kami selalu berdoa seorang teman untuk tidak hadir. Jika pun hadir, maka kami harus berkata segera padanya, “kau harus diam, sekalipun kau telah menonton pilem yang akan diputar atau sedang tayang.” Seorang kawan itu menjadi tokoh paling dibenci di skena perpileman kampungku. Hebatnya, entah dimana ia menonton banyak pilem. Bahkan, ia terbilang anak paling update soal pilem.
Pernah suatu waktu, kami akan memutar pilem Power Rangers, kalau tidak salah episode markas Alpha diserang Zordon. Padahal itu episode baru bagi sebaya kami yang duduk di Sekolah Dasar. Tapi, dia sudah lebih dulu tau alur cerita pilem itu. Baru beberapa menit pilem diputar, ia langsung berkata, “wah, ini pilem sudah aku tonton, bla bla bla.” Lantas kami serentak menyuruhnya keluar atau diam. Lagi, aneh memang, kami belum menonton pilem India Kaho Naa… Pyaar Hai, 2000, yang menjadi pilem ikonik Hrithik Roshan dengan Ameesha Patel. Kami pikir waktu itu, kami adalah kelompok yang paling dulu menonton pilem tersebut. Nyatanya dia, si kawan itu malah lebih dulu menyaksikan bagaimana alur cerita sang aktor Rohit kita itu memainkan peran ganda. Waw.
Baru-baru ini aku mulai menyadari bagaimana skena perpileman di kampung semasa itu. Alasan mengapa si kawan tadi lebih dulu mendapatkan tontonan dibandingkan kami sebayanya. Dia tidak punya VCD di rumah, juga tidak punya parabola atau Video (VHS atau kepanjangan dari The Video Home System). Rupanya dia kerap menyelinap masuk ke rumah seorang kerabatnya saat orang-orang dewasa memutar kaset terbaru. Jadi runutannya begini; dewasa, remaja dan anak-anak. Jika sekiranya pilem tersebut banyak menanyangkan adegan “panas”, maka sudah pasti kaset tersebut tidak akan dapat kami jangkau. Ternyata, si teman ini kerap ikut dengan orang dewasa menonton pilem-pilem terbaru, sebelum dikonsumsi secara giliran. Semacam lulus sensor begitu. Tentu si kawan bisa demikian, sebab dia punya lepau. Dan orang-orang yang akan memutar kaset baru, terelebih dulu belanja cemilan untuk nonton bersama. Semacam nobar begitu: menyiapkan bekal. Pilem-pilem pada masa itupun nyaris berdurasi diatas 150 menit. Kebanyakan 3 jam. Orang-orang lebih suka menonton pilem panjang ketimbang pilem pendek. Beda cerita kalau itu pilem bersambung, seperti serial Angling Dharma.
Mari kita tinggalkan sejenak nama Tuan Takur dan perangai kawan kita itu.
Discussion about this post