“Di musim paceklik begini, masih saja pergi jalan-jalan.”
Sebagaimana kebanyakan peradaban yang berkembang di daerah-daerah maju, Indonesia termasuk negara yang masih sangat muda dalam pemeliharaan peradabannya di masa lampau. Sulit menemukan bukti peradaban yang benar-benar dibuat oleh masyarakat aslinya atau suku yang masih mendiami wilayah tempat ditemukannya sebuah tinggalan bekas peradaban. Indonesia, negara yang baru ini masih mengusap-usap sebagian bukti peradabannya yang semu. Tidak banyak pembuktian akan tinggalan sejarah yang bisa dikatakan sudah final. Tapi tentu saja itu sudah hal lumrah dalam peradaban yang kelewat maju seperti sekarang. Bahkan, kalau tidak salah dalam sebuah catatan (saya lupa penulisnya), ada pernyataan bahwa sejarah tidak pernah bisa dipastikan kebenarannya, sejarah hanya akan dapat diakui apabila sudah ditulis. Paling tidak, Indonesia benar-benar berusaha keras memunculkan peradaban masa lalunya. Tentu saja banyak, bahkan nyaris melimpah. Dalam banyak kutipan, Kuntowijoyo menyebut bahwa sejarah bisa berasal dari sumber primer (disampaikan langsung oleh saksi mata atau yang terlibat dalam peristiwa) dan sumber sekunder (bukan dari saksi mata langsung). Lanjutnya, sejarah diartikan sebagai suatu hal atau peristiwa yang sudah terjadi di masa lalu yang direkonstruksi atau membangun kembali kejadian masa lampau untuk kepentingan masa kini dan masa mendatang.
Menariknya, sejarah-sejarah di Indonesia kerap muncul dari sumber sekunder. Inilah yang kadang—kadung melatarbelakangi terjadinya keburaman sejarah di Indonesia, sehingga masih banyak menyisakan tanda tanya, padahal menurutku sebagai peneropong dari geladak kapal; sejarah ataupun peradaban akan hidup apabila ia terus tumbuh dalam ingatan masyarakatnya. Walau kebenarannya masih muskil. Atau, barangkali, mungkin, bangsa kita memandang sejarah adalah sekadar yang berada jauh di masa lampau.
Suatu tahun, sekiranya tahun 2016 ketika bangku kuliah mengajakku untuk membaca beberapa buku sejarah demi menyelesaikan tugas sejarah sastra, pengampunya seorang pecinta sejarah Minangkabau. Ya, secara akademik dia merupakan dosen sastra, namun non akademik ia konsen pula mengulik sejarah-sejarah, terutama Minangkabau. Dosen ini cukup lihai dan seolah paham benar banyak sejarah, sampai mata kuliah sastra juga dikaitkan dengan sejarah secara mendalam. Salah satunya mengunjungi peninggalan-peninggalan bersejarah, baik benda ataupun tak benda. Ia telah melengkapi pengetahuan saya sebagai orang Minang tulen: bisa jadi ahli apa saja.
Sejak kecil, aku memang menyukai cerita-cerita rakyat. Cerita yang berkembang dari mulut ke telinga, atau lebih populer sebagai “Kaba”. Dari sinilah awal mula aku mendengar cerita legendaris tentang sebuah wilayah bernama Maek kadang juga disebut Mahek, mahat, atau bukit menhir. Sebagai orang pesisiran, cerita ini tak ayal hanyalah kaba belaka, cerita yang dikarang-karang untuk menghabisi malam yang murung tanpa hiburan.
Ingatan itulah yang membawaku ke perjalanan ini. Hari yang cerah, matahari seolah mengikuti kami dari Padang menuju Dharmasraya hendak ke rumah seorang kawan di Koto Padang Dharmasraya. Tentu saja niat hati akan dipandu ke sebuah kawasan candi Padangroco, kawasan Candi Padangroco adalah salah satu situs budaya yang berada di daerah aliran Sungai Batanghari di Jorong Sungai Langsat (Sei Langsek). Dulunya situs ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung. Setelah adanya pemekaran, kini situs Candi Padangroco berada di Desa Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Situs ini termasuk peninggalan kerajaan budha di Dharmasraya dan sebagai bukti kejayaan peninggalan kerajaan Melayu atau Swarnabhumi yang beribu kota di Dharmasraya pada abad XI-XII Masehi. Pada kawan itu, aku menanyakan penulisan Padang Roco atau Padangroco. Dia kata, keduanya bisa saja dipakai. Aku harus mencatat apa-apa yang kudapati selama perjalanan, walau sebatas penamaan semata.
Kemudian, malam lewat, perbincangan kami tidak menemukan hasil yang terang. Kawan itu tak sempat mengajak kami ke kawasan candi. Kami bertolak hendak ke Padang. Sebelum berangkat, dia memberi harapan, “jika hari baik, bagaimana kalau kita sambil lalu ke daerah 50 Kota. Kalau-kalau bagus hari, kita singgah di situs cagar budaya Menhir Maek”. Ia melihatkan beberapa poto batu-batu berdiri dan rebah kepadaku. Terus, terus aku bayangkan bagaimana bebatuan itu tergeletak di sana. Siapa dan kapan ia dibawa ke sana. Bagaimana mungkin batu-batu itu tumbuh layaknya tumbuhan. Bukankah batu adalah benda mati, walau di kampungku ada pula batu “hidup”, seperti batu nisan di sebuah makam keramat. Kata masyarakat, batu nisan itu hidup, dulu hanyalah batu kecil biasa yang diambil dari sungai. Lihat sekarang, nyaris setinggi 2 meter. Itu menjadi penanda bahwa yang dikubur bukanlah orang sembarangan. Aneh.
Dari Dharmasraya kami melewati Sawahlunto, Batusangkar, Payakumbuh dan sampai di Menhir Bawah Parit, Koto Tinggi. Jalanan yang lengang, orang-orang setengah buru-buru pulang dari sawah. Jalan menuju situs cagar budaya kelihatan setengah terawat, rawatan yang seolah masih penuh dugaan: apa perlunya situs ini? Kami lihat cuaca mendung dan perasaan was-was terpikirkan, bila sewaktu-waktu hujan turun deras dan kami terkurung di sana kurun waktu lama. Aku menatap batu-batu tergeletak. Inilah yang disebut peradaban masa lampau itu, megalit orang kata. Yang dalam pengertian umumnya adalah batu besar seperti tiang atau tugu, yang ditegakkan di atas tanah, hasil kebudayaan megalit, sebagai tanda peringatan dan lambang arwah nenek moyang. Ia seolah terbiarkan di sebuah kawasan yang cukup luas, berdiri dan rebah. Kulihat bebatuan itu memiliki motif, semacam relief begitu. Sesekali kusentuh, untuk memastikan betapa kerasnya batu tersebut. Batu-batu yang berada di kawasan ini tak sekadar mengisyaratkan penanda, namun bagaimana zaman bekerja. Orang kata, estetik begitu.
Ingatanku kembali melompat ke kampung halaman tentang nisan makam. Jangan-jangan memang situs ini adalah kawasan pemakaman. Kalau iya, betapa keramatnya tempat ini, akan lebih cepat semisalnya kalau kita melakukan ritual permohonan. Apa lagi batu-batu di sini memiliki motif yang beragam, pasti bukan sembarang orang yang dikubur di sini. Jangan-jangan…. Tapi, andai-andai itu terhenti seketika saat ingatan lain kembali membawaku pada sebuah kisah legenda di kawasan yang tak jauh dari lokasi (Bukik Posuak) tentang perjalanan beradik kakak. Bagian yang paling kuingat adalah saat kedua adik Saginda Ali sedang bertengkar ingin mendapatkan sepotong kaki rusa dan melihat hal itu sang kakak Saginda Ali dengan bijaksana mengambil potongan kaki tersebut dan membuangnya sekuat tenaga. Karena kesaktiannya, potongan kaki rusa yang dilempar Saginda Ali tersebut mengenai sebuah bukit sehingga membuat bukit itu berlubang. Bukit yang berlubang itulah yang sekarang menjadi Bukik Posuak. Konon katanya, potongan kaki rusa yang dilempar oleh Saginda Ali berubah menjadi sebuah bukit, dan bukit itu sekarang bernama “bukik pao ruso” (bukit paha rusa).
Foto: Ronni Yulius (Bukik Posuak)
Cerita serupa ini lebih cepat ditangkap sebagai sebuah penanda sejarah, atau menjadi narasi menarik bagi khalayak. Khazanah cerita-cerita lama tersebut agaknya lebih nempel sebagai pengingat atau simbol suatu tempat. Terlepas dari mendalamnya kerja-kerja para peneliti untuk menguatkanya. Sama halnya yang santer digaungkan orang-orang tentang “Negeri Seribu Menhir” yang peradabannya jauh sebelum nama Minangkabau ada, akan tetapi tidak ada narasi kuat yang dapat memvisualkan slogan itu kepada khalayak, paling tidak imajinasi/pemancing awal orang-orang sebelum berkunjung ke sana. Paling tidak ini terjadi dengan saya yang mempunyai pengalaman singkat ke sana. Ingatan itu benar-benar membekas, sampai saat ini wajah bebatuan yang tergelak di sana seolah masih menatap penuh misteri. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana peradaban pada masa itu dan setelahnya. Siapa yang tinggal di sana, dan bagaimana kehidupan pada masa itu.
Maek dalam Memori Kolektif
Kemudian, zaman melaju begitu cepat. Hasrat penasaran itu sedikit terlampiaskan. Lewat film-film aku menemukan sejarah-sejarah baru yang dirangkai begitu apik dan biopik. Umumnya banyak kutemukan sejarah-sejarah serupa yang diangkat jadi film di India. Sebut saja, Ponniyin Selvan, Mohenjo Daro, Samrat Prithviraj, Manikarnika, Bahubali, El Dorado atau lebih tersohor Genghis Khan dan Indiana Jones yang legendaris, bahkan Genghis Khan dibuat dengan banyak versi. Dan banyak lagi film-film yang bercerita tentang peradaban masa lampau dengan tema ekspedisi, napak tilas, penemuan, suku pedalaman, kerajaan dan lainnya. Ada yang berangkat dari observasi, memori kolektif, manuskrip, catatan perjalanan dan buku. Tapi sayangnya, Indonesia dengan kemajuan yang kebablasan tidak sanggup menghasilkan satu film pun dari hasil temuan-temuan peradabannya. Atau saya yang buru-buru menilai demikian.
Barangkali, dari sekian banyak situs megalit, Maek termasuk unik dan patut mendapatkan perhatian lebih. Saya membayangkan jika suatu hari kawasan ini dijadikan tempat suting drama kolosal, mungkin itu tentang ekspedisi; pelarian, penyebaran, kerajaan atau kehidupan lainnya yang mungkin saja lebih maju dari sekarang. Situs Maek termasuk situs Megalitikum yaitu Zaman Batu Besar yang berarti Manusia sudah dapat membuat dan meningkatkan kebudayaan serta menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar. Bahkan, untuk mengantarkan imajinasi bagaimana kehidupan di sana pada masa lampau saja kita tak sanggup. Hanya sepotong pengertian itulah yang dapat kita baca dan pahami jika mencarinya di internet. Narasi lainnya tinggal dalam penelitian penelitian yang entah bagaimana cara dapat membacanya.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar mencatat ada 374 menhir dan satu dakon di situs yang berada pada ketinggian 350meter dari permukaan laut ini. Tinggi menhir beragam, mulai dari seukuran diameter kepala anak-anak hingga sekitar 3 meter. Ada pula satu menhir setinggi 4meter tetapi sudah rebah. Bentuk menhir itu bervariasi, antara lain menyerupai mata pedang, hulu pedang/keris, persegi, hingga kepala hewan. Bagian paling atas menhir umumnya membengkok dan mengarah ke satu tujuan ke Gunung Sago yang berada di arah tenggara. Beberapa menhir itu memiliki ukiran, seperti motif kaluak paku.
Dengan ingatan tahun 2016 aku mencoba menyusun memori kolektif yang masih tersisa itu menjadi satu tulisan yang utuh, aku coba kembali menghubungi kawan lama itu dan mengingat percakapan kami saat di sana. Menurut seorang kawan itu, (Epon, 33 tahun) menyebutkan, adapun menhir-menhir di situs Maek dibuat dari batu andesit dan batu konglomerat. Ia menambahkan, “kawasan menhir tersebar dibeberapa tempat, tapi aku tidak tau bedanya mana yang menhir, nisan, dan batu alam lainnya. Ada juga Nisan Basurek Tanjung Bungo yang menjadi salah satu cagar budaya tidak bergerak di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Tapi aku masih bingung, apa beda Batu Basurek di sana dengan Menhir yang ada di Situs Maek. Entahlah”. Tutupnya. Batu Nisan Basurek Tanjung Bungo tercatat sebagai cagar budaya di Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar dengan nomor inventaris 58/BCB-TB/A/10/2007.
Adapun Megalit/menhir Balai Batu Koto Gadang Nagari Maek Kecamatan Bukit Barisan Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumbar. Jarak tempuh dari ibukota Sarilamak lebih kurang 55 km. Maek dikenal juga dengan sebutan Negeri 1000 menhir, yang ke semua menhir menghadap ke Gunung Sago. Adapun menhir Maek ini sudah berumur 2000 – 6000 tahun SM. Menhir Maek ini adalah salah satu wisata budaya Kabupaten Lima Puluh Kota. Apa yang perlu dicari dari peradaban beribu tahun silam: masihkah perlu kebenaran atau cukup dengan menduga-duga.
Setelahnya, aku meninggalkan Maek dalam misteri yang menghantui. Aku masih menduga-duga banyak kemungkinan di sana, bagaimana peradaban telah melampaui segalanya pada saat ini. Mungkin iya, mungkin tidak untuk mendapatkan Maek terang benderang sebagai sebuah sejarah peradaban yang nyata. Atau paling tidak menjadi situs cagar budaya yang wajib dikunjungi bila bertandang ke Sumatra Barat. Tapi, apa yang menarik di Maek? Mengapa harus ke sana; ini sejarah atau sekumpulan bebatuan yang menjadi lanskap perayaan musiman.
Lalu, suara parau dari riuh jalan-jalan mengantarkan segala ingatan itu ke masa lampau. Udara menguap dari bukit-bukit, simpai menyalak, burung-burung pulang pertanda hari diambang senja. Seketika sejarah datang membawakan berbagai kemungkinan. Maek dengan seribu pertanyaan yang tak kunjung terjawab, orang-orang seakan menanyai apa-apa yang mungkin saja tidak pernah hilang—tidak perlu ada jawabannya. Aku menyelesaikan kenangan itu, tapi ingatan masih tertahan di sana, terpagut antara rebah dan berdiri. Antara bebatuan dan reflief peradaban. Aku memasang dua lapis baju, di perjalanan pancaroba sialan ini cewang dan gabak tak dapat lagi dipercaya.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post