
Muhammad Nasir, Perantau Agam
Pengantar
Minangkabau adalah sebuah entitas yang lebih luas dari sekadar batas geografis Sumatera Barat. Wilayah budaya Minangkabau mencakup Sumatera Barat, bagian barat Riau (Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu), pesisir barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga, dan Barus), bagian barat Jambi (Kerinci, Bungo), bagian utara Bengkulu (Mukomuko), bagian barat daya Aceh (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Tenggara), serta Negeri Sembilan di Malaysia. Disclaimer! Cakupan wilayah ini kadang-kadang menjadi sumber keributan di group-group media sosial sebagai narasi klaim minangisasi, atau orang Kampar bilang kobouisasi.
Selain sebagai wilayah kultural, Minangkabau juga dapat dipahami sebagai sebuah pandangan dunia yang membentuk cara berpikir dan bertindak orang Minang, atau sebagai segmentasi sosial-ekonomi dalam realitas Sumatera Barat terkini. Namun, dalam berbagai definisinya, Minangkabau sering kali dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah ia masih relevan dalam konteks zaman sekarang? Pertanyaan ini sepertinya lebih sering muncul di kepala orang-orang Minang Urban, yang dalam tulisan ini akan ditulis saja dengan istilah Minangrantau.
Karena sejak hampir tiga dekade terakhir saya tinggal di Padang, saya hanya dapat membaca Minangkabau berdasar pangana orang-orang minangrantau. Di Padang sendiri, komunitas adatnya yang tersebar di wilayah kultural tetap menjalankan tradisi lokal khas Padangnya. Baarak bako dengan iringan bendi dan sekarang ada juga odong-odong, batagak pengulu dan lain-lain. Hanya rumah kajang padati yang agaknya hilang satu persatu. Intinya, orang minang lainnya yang berasal dari kampungnya masing-masing justru terpisah dari masyarakat adat Padang, masih menjalin hubungan dengan kampung halaman, tanpa terpikir untuk malakok, mangaku mamak kepada kaum ada yang sesuku dengannya. Haa, yang mengkhawatirkan itu Minang Anyuik, di rantau ndak basako, di kampuang indak bapusako. Maisok-isok Luffman sajalah kerjanya.
Baiklah, daripada pengantar ini tidak mengantarkan apa-apa, maka dibuatkanlah satu paragraph yang menjelaskan bahwa esai ini akan mengeksplorasi bagaimana Minangkabau dapat dipahami dan dibangun kembali dalam kerangka realisme konstruktifistik. Dengan menyoroti aspek budaya, ekonomi, pendidikan, dan identitas, kita akan melihat bagaimana Minangkabau bisa tetap relevan di era modern, bukan sebagai simbol kejayaan masa lalu yang statis, tetapi sebagai entitas yang terus bergerak dan berkembang. Dan esai ini ditujukan kepada kaum minang urban yang masih gatal-gatal juga mulutnya untuk membicarakan Minangkabau dari segala aspeknya.
Minang ala Perantau: Empat Cara Pandang
Minangkabau, tanah yang kaya akan adat, sejarah, dan semangat perantauan, sering kali dipandang dengan cara yang berbeda-beda, tergantung dari sudut mana seseorang melihatnya. Orang Minang Urban sendiri memiliki berbagai perspektif dalam memahami kampung halaman mereka, mulai dari yang penuh kebanggaan, yang sinis dan kritis, yang membangun, hingga yang sudah tercerabut dari akar tradisionalnya. Berikut adalah empat cara pandang yang mencerminkan keragaman cara orang Minang Urban melihat negerinya sendiri.
Romantisme Idealistik
Bagi sebagian orang, Minangkabau adalah tanah yang sakral dan penuh kebanggaan. Alamnya indah, adatnya terjaga, dan masyarakatnya memiliki semangat juang yang luar biasa. Mereka memandang Minangkabau sebagai peradaban emas yang harus dipertahankan dari pengaruh luar. Dalam pandangan ini, Minangkabau adalah negeri yang kaya akan nilai-nilai luhur. Sistem matrilineal dianggap sebagai warisan yang membanggakan, memperkuat posisi perempuan tanpa meniadakan peran laki-laki. Pepatah “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” bukan sekadar slogan, tetapi pedoman hidup yang tetap relevan hingga kini.
Orang Minang yang berpikiran idealis akan berbicara tentang kejayaan masa lalu, tentang bagaimana intelektual Minangkabau seperti Mohammad Hatta, Tan Malaka, dan Buya Hamka berperan dalam membangun Indonesia. Mereka melihat Sumatera Barat sebagai pusat pemikiran Islam modern dan etika sosial yang kuat, seolah-olah tanah ini tetap murni dari segala kerusakan zaman.
Sinisme Sarkastik
Di sisi lain, ada orang Minang yang merasa bahwa romantisme semacam itu hanya ilusi. Mereka melihat Minangkabau sebagai negeri yang terlalu sibuk membanggakan kejayaan masa lalu tanpa menghadapi kenyataan. Dalam cara pandang ini, adat yang dulu luwes kini menjadi beban, dipertahankan hanya karena “begitu adanya,” bukan karena masih relevan. Generasi muda dikekang oleh norma yang tidak lagi sesuai dengan zaman, sementara orang tua sibuk mempertahankan “marwah” yang sering kali berlawanan dengan logika ekonomi dan sosial saat ini.
Ironinya, masyarakat yang membanggakan prinsip demokrasi dan musyawarah adat justru sering kali terjebak dalam feodalisme terselubung. Penghormatan kepada para “urang gadang” berubah menjadi kultus individu, sementara perdebatan dalam musyawarah adat lebih sering didominasi oleh yang paling keras berbicara, bukan yang paling benar.
Orang Minang yang sinis akan bertanya, “Di mana hasil nyata dari semua kebanggaan ini?” Mereka melihat banyak anak muda yang terpaksa merantau bukan karena semangat petualangan, tetapi karena tanah kelahirannya tidak menyediakan cukup ruang untuk berkembang.
Realisme Konstruktifistik
Sebagian orang Minang yang lebih pragmatis memilih untuk tidak tenggelam dalam romantisme maupun sinisme. Mereka mengakui masalah yang ada, tetapi juga percaya bahwa Minangkabau masih bisa diperbaiki. Dalam cara pandang ini, adat tidak harus ditinggalkan, tetapi perlu ditafsirkan ulang agar lebih relevan. Nilai-nilai luhur Minangkabau seperti musyawarah, gotong royong, dan sistem sosial yang egaliter bisa diterjemahkan dalam konteks modern.
Mereka yang berpikir konstruktif melihat bahwa Sumatera Barat memiliki potensi besar dalam ekonomi kreatif, pariwisata, dan pendidikan. Mereka mendorong agar Minangkabau tidak hanya bangga dengan masa lalunya, tetapi juga berinvestasi untuk masa depan, membangun infrastruktur, mengembangkan ekosistem bisnis yang mendukung anak muda, dan memperbaiki sistem pendidikan yang adaptif terhadap perubahan zaman. Bagi mereka, Minangkabau bukan sekadar kampung halaman yang harus dijaga seperti museum, tetapi tempat yang harus terus diperbarui agar tetap relevan dalam dunia modern.
Minang Urban
Kelompok keempat adalah mereka yang lahir di Minangkabau tetapi besar di kota-kota lain, atau yang sejak awal sudah terbiasa dengan kehidupan urban. Bagi mereka, Minangkabau bukan sekadar kampung halaman, tetapi lebih kepada identitas kultural yang bisa disesuaikan dengan kehidupan di mana pun mereka berada. Mereka mungkin sudah tidak lagi memakai bahasa Minang dalam keseharian, tetapi masih menikmati rendang dan dendeng batokok di restoran Padang. Mereka tidak terlalu terikat dengan aturan adat, tetapi tetap menghormati nilai-nilai keluarga dan sistem sosial yang mereka warisi.
Bagi kelompok ini, Minangkabau bukan hanya soal tanah kelahiran, tetapi lebih kepada jaringan sosial dan budaya yang tetap bisa mereka bawa ke mana pun. Mereka mungkin tidak lagi pulang setiap Lebaran, tetapi tetap merasa bagian dari “urang awak” di perantauan. Minang urban adalah mereka yang merasa bahwa Minangkabau tidak harus selalu ada dalam bentuk fisik, tetapi tetap hidup dalam ingatan dan gaya hidup. Mereka adalah generasi yang tidak ingin terikat dengan nostalgia, tetapi juga tidak ingin kehilangan akar mereka sepenuhnya.
Minangkabau adalah realitas yang kompleks, tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang. Ada yang memujanya, ada yang mengkritiknya dengan tajam, ada yang ingin memperbaikinya, dan ada pula yang membawanya sebagai identitas cair dalam kehidupan urban. Keempat cara pandang di atas mencerminkan bagaimana orang Minang memahami diri mereka sendiri di tengah perubahan zaman. Tidak ada satu pun yang sepenuhnya benar atau salah, semuanya adalah refleksi dari dinamika sosial, budaya, dan sejarah yang terus bergerak.
Pada akhirnya…
Ya, pada akhirnya, Minangkabau terkini adalah cerminan dari orang-orangnya. Bagaimana cara melihat Minangkabau bukan hanya bergantung pada kenyataan objektif, tetapi juga pada posisi dalam hubungan orang-orangnya dengan tanah ini, apakah mereka masih tinggal di sana, sudah lama merantau, atau telah menjadikannya sekadar kenangan yang samar. Namun, yang paling nyata hubungannya adalah, ketika mereka masih berbahasa Minang, masih pulang ke rumah mandehnya, masih baralek dengan upacara adat Minang, masih bisa membedakan keluarga kaum dengan keluarga bakonya, masih paham hubungan baipa-babisan, basumando basumandan dan lain-lain. Yang lain-lainnya adalah perangai orang minang di tengah balai dan di masa modern.
Dari empat cara pandang di atas, perlu dipertimbangkan perspektif realisme konstruktifistik, yang menawarkan cara pandang yang tidak sekadar menerima keadaan Minangkabau apa adanya, tetapi juga mengajukan solusi nyata untuk membangunnya kembali. Ia menolak romantisme kosong yang hanya terjebak dalam nostalgia, menolak sinisme yang melemahkan, dan memilih untuk menggali potensi yang ada agar Minangkabau tetap relevan di era modern. Cara pandang itu memuat beberapa sikap penting, di antaranya;
Menerima Kenyataan Tanpa Keputusasaan
Kelemahan terbesar dalam melihat Minangkabau adalah kecenderungan untuk hanya melihat sisi baiknya atau sebaliknya, hanya berfokus pada kekurangannya. Realisme konstruktifistik mengajarkan bahwa kenyataan harus diterima dengan jernih, tanpa merasa harus membela atau mengutuk sepenuhnya. Inilah cara beradat menurut adat tingkat pertama, yaitu adat nan sabana adat. Adat nan sabana adat merujuk kepada segala yang menjadi kenyataan di alam, dan kenyataan itu harus diterima tanpa penyangkalan.
Misalnya, sistem matrilineal yang selalu dibanggakan sering kali tidak dibarengi dengan penyesuaian terhadap perubahan sosial. Dalam realitas ekonomi modern, tanah pusako yang diwariskan kepada perempuan tidak selalu bisa dimanfaatkan secara produktif, sementara laki-laki tetap dituntut untuk merantau tanpa perlindungan ekonomi yang jelas. Alih-alih hanya mempertahankan sistem ini sebagai identitas budaya, pendekatan konstruktif seharusnya mencari cara agar ia tetap relevan, mungkin dengan mendorong model kepemilikan tanah yang lebih fleksibel atau mendukung perempuan dalam mengelola aset keluarga secara lebih mandiri.
Contohnya, bagi Minang Urban yang gagal di perantauan, tak ada salahnya pulang ke kampung halaman baik sebagai si dagang malang atau si anak hilang. Jadi pulang kampuang bukan hanya monopoli mereka yang sukses di perantauan, atau mereka yang merasa sudah selesai urusan di rantau dan ingin mati di kampung halaman. Tetapi juga untuk menampung si dagang malang dan si anak hilang dengan memberikan akses kepada mereka untuk mengelola harato pusako di kampung sejenak dua jenak.
“Nan elok dipakai, nan buruak dibuang. Nan elok dapakai jo rundiangan, nan buruak dibuang jo etongan”
Menjadikan Adat sebagai Alat, Bukan Beban
Pepatah “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” sering kali diulang-ulang sebagai bukti keunggulan Minangkabau. Namun, bagaimana implementasinya dalam kehidupan sehari-hari? Apakah adat benar-benar menjadi sistem yang membimbing kehidupan sosial, atau justru menjadi beban yang menghambat inovasi?
Realisme konstruktifistik melihat adat sebagai alat yang harus terus diperbarui agar sesuai dengan tantangan zaman. Musyawarah adat, misalnya, bisa dijadikan model demokrasi partisipatif yang lebih modern, bukan sekadar ajang dominasi tokoh-tokoh tua yang enggan mendengar suara anak muda, atau sebaliknya ajang anak-anak muda sukses yang mencari-cari gelar adat untuk mengatakan kepada orang diperantauan bahwa dirinya adalah bangsawan.
Selain itu, nilai gotong royong dan jaring sosial yang kuat bisa menjadi basis ekonomi komunitas, bukan hanya sekadar simbol solidaritas. Daripada menjadikan adat sebagai sesuatu yang sakral dan tak bisa disentuh, pendekatan konstruktifistik mendorong reinterpretasi agar ia tetap relevan dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Minangkabau saat ini. Tentu saja ini lebih tepat untuk masyarakat di tingkat nagari yang masih memiliki kekentalan relasi berbasis kekerabatan genealogis dan solidaritas sosial berbasis suku yang kuat.
Di perkotaan entahlah, jangan banyak cakap. Sebab pada hakikatnya para perantau adalah anak dagang. Sebagai anak dagang, yang perlu mereka pikirkan adalah pulang; menoleh keluarga di kampung (kalau masih ada). Tagak adat di ateh ulayat, tagak sako di ateh pusako. Di rantau, mana ulayat mereka? Mana pusako mereka? Yang ada itu adalah asset, walah hanya selembar sarawa kotok.
Jadi, orang Minang Urban jika ingin beradat juga, tak ada salahnya menikam jajak kampuang halaman. Demikian juga sebaliknya, orang Minang di kampung halaman juga bersedia menerima mereka dengan hati yang lapang dan pusako yang terbuka. Jangan panjangkan juga muncuang itu kepada si anak dagang atau si anak hilang yang berkehendak pulang kampung.
Identitas yang Fleksibel Minang Rantau
Banyak orang Minangkabau di perantauan yang merasa terjebak dalam dilema identitas. Di satu sisi, mereka ingin tetap menjadi “urang awak” dengan segala nilai yang diwariskan. Di sisi lain, mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang mungkin berbeda jauh dengan norma-norma Minangkabau. Realisme konstruktifistik melihat bahwa identitas Minangkabau tidak harus kaku. Seseorang bisa tetap Minang tanpa harus terikat pada definisi tradisionalnya. Yang penting bukan apakah seseorang masih memakai bahasa Minang setiap hari atau mengikuti setiap aturan adat, tetapi apakah nilai-nilai inti seperti kejujuran, kemandirian, dan kecintaan pada ilmu, ketaatan dalam beragama tetap hidup dalam dirinya.
Minangkabau harus lebih inklusif dalam memahami identitasnya sendiri. Bukan hanya mereka yang tinggal di kampung yang berhak disebut “urang Minang,” tetapi juga mereka yang di perantauan, yang telah mengadaptasi nilai-nilai Minangkabau dalam bentuk yang lebih fleksibel. Gagak tabang jo itamnyo, bangau tabang jo putiahnyo urang minang tabang jo adat (identitas)-nyo.
[1] Bahan Khotbah Akhir Pekan di Pustaka STEVA, Sabtu, 8 Maret 2025
- Menimbang Minangrantau | Muhammad Nasir - 9 Maret 2025
- Esai – Punkdikbud | Wallcracks - 9 Maret 2025
- Esai – Tenang, Senang, dan Menang | Reo Chandrika - 8 Maret 2025
Discussion about this post