Pada suatu siang di bulan April 1978, datang semacam epiphany (pencerahan). Murakami sedang menonton pertandingan bisbol antar Yakult Swallows dan Hirosima Carp. Seorang pemain Amerika bernama Dave Hilton memukul bola pertama yang mengarah keluar ke sisi kiri lapangan. Pada momen itu, Murakami menyadari bahwa ia bisa menulis novel. Ia lalu membeli pena dan kertas, dan mulai menulis hari itu juga.
Murakami menikah pada usia 23 tahun dan menghabiskan beberapa tahun berikutnya dengan mengelola Peter Cat, klub jazz miliknya. Sebelum secara tiba-tiba memutuskan untuk menjadi penulis. Para pelanggan, juga istrinya terkejut dan tidak mempercayainya. Murakami sebelumnya tidak punya ambisi menulis karena buku-buku yang ia baca terlalu bagus, standarnya terlalu tinggi. Tapi, itulah yang terjadi dan hari ini kita mengenal nama Haruki Murakami.
Hear the Wind Sing, novel pertamanya, langsung meraih penghargaan Gunzo Literature Prize. Pada tahun 1987, novel Norwegiaan Wood terbit dan menjadikannya bintang sastra. Di Jepang, novel itu terjual lebih dari dua juta kopi, setara dengan satu eksemplar untuk setiap rumah tangga di Tokyo. Dalam kancah internasional, Murakami adalah penulis Jepang yang paling banyak dibaca.
Pada usia yang tak benar-benar lagi muda dalam memulai, 29 tahun dan secara tiba-tiba memutuskan untuk menulis. Lalu novel pertamanya itu langsung meraih penghargaan. Sampai di situ mungkin kita akan menyimpulkan satu hal: bakat! Pun Murakami sendiri dalam berbagai kesempatan wawancara mengenai proses kreatif, menyebutkan juga bahwa apa yang terjadi padanya itu ialah bakat dari semesta!
Kita coba beranjak sebentar ke sepak bola. Di dunia si kulit bundar, saat ini ada dua nama yang berada di puncak. Penduduk bumi menjuluki keduanya sebagai GOAT! Greatest of All Time! Cristiano Ronaldo & Lionel Messi. Namun, publik menganggap proses sukses keduanya berbeda, Lionel Messi terlahir bersama bakat, sedangkan C. Ronaldo karena kerja keras.
Namun, kebanyakan penduduk bumi, tak terkecuali Indonesia, sering beranggapan bahwa ada bakat yang benar-benar murni tanpa harus melakukan latihan atau faktor lainnya. Saya sendiri kurang setuju dengan pendapat demikian. Bayangkan saja jika Messi sedari dini tak akrab dengan sepak bola, tapi obeng. Maka hari ini kita mengenal Messi sebagai mekanik ketimbang pemain bola. Coba ingat serial Captain Tsubasa, bukankah dia akrab dengan bola sejak dini, bahkan selamat dari kematian juga karena bola. Lantas, kita semua bertanya, bagaimana dengan kasus Murakami?
Murakami lahir di Kyoto, ibukota kuno Jepang pada 12 Januari 1949, dari keluarga kelas menengah yang memiliki minat khusus terhadap budaya nasional, ayahnya seorang guru sastra Jepang. Jepang terkenal baik soal kualitas pendidikan dan literasinya. Faktor lingkungan melek baca berperan penting di sini.
Ketika dirinya masih kecil, keluarga Murakami pindah ke Kobe, sebuah kota pelabuhan di mana orang-orang dari berbagai belahan dunia datang dan pergi (terutama pelaut Amerika). Di kota inilah kepekaannya mulai terbentuk. Sejak dini Murakami menolak sastra, musik, dan seni Jepang, dan mendekatkan diri dengan dunia di luar Jepang, seperti musik jazz, film-film Hollywood, dan buku. Meski Jepang telah melahirkan penulis-penulis yang diakui dunia, mental literasi Murakami tidak saklek mengagung-agungkan literasi negeri sendiri. Sejak remaja ia membuka diri dengan membaca buku-buku dari belahan dunia lain.
Dalam pengakuannya pada Laura Miller saat wawancara, Murakami melakukan riset, meski hanya sedikit, untuk bukunya The Wind-Up Bird Chronicle. Saat itu Murakami berada di Princeton, di sana terdapat perpustakaan yang besar. Ia pergi ke perpustakaan setiap hari, membaca buku, kebanyakan buku sejarah. Murakami menulis hari demi hari, butuh waktu yang sangat lama untuk sampai pada tahap itu. Murakami meyakini kemampuan untuk berkonsentrasi adalah bumbu yang paling penting bagi seorang penulis. Karena hal itulah dirinya berlatih setiap hari. Faktor selain lingkungan: riset, konsentrasi, dan kerja keras tiap hari!
Haruki Murakami, bukan hanya penulis Jepang paling eksperimental yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, tetapi juga yang paling populer. Dia memenangkan hampir setiap penghargaan sastra di Jepang, termasuk yang terbesar Yomiuri Literary Prize. Murakami juga penerjemah yang aktif, memperkenalkan nama-nama seperti Raymond Carver, Tim O’brien, dan F. Scott Fitzegrald kepada publik Jepang. Faktor lain: terus belajar!
“Saat berusia 29 tahun, aku baru mulai menulis novel. Aku ingin menulis sesuatu, tetapi tidak tahu caranya. Jadi aku meminjam gaya, struktur, dan berbagai hal-hal lainnya dari buku-buku yang aku baca, buku-buku Amerika dan Barat,” akunya saat diwawancarai John Wray.
Istrinya sangat membantu dalam menulis, setelah selesai, Murakami akan meminta sang istri membaca dan mengoreksinya, lalu menulis ulang dan ulang. Dia bangun pukul empat pagi, menulis selama empat atau lima jam pada pagi hari. Menghabiskan enam bulan untuk menulis draft pertama, lalu menghabiskan tujuh atau delapan bulan untuk menulis ulang. Tak lekas puas dengan hasil pertama, terus memperbaiki, dan didukung oleh orang yang tepat, sekian pondasi yang membangun diri Murakami dalam menulis!
Pada sore hari, Murakami biasa berlari, lalu membaca dan mendengarkan musik. Mempelajari sesuatu dari buku yang ditulis oleh penulis-penulis yang beberapa karyanya telah dia terjemahkan. Membaca karya-karya tersebut secara intens, dan mengorek rahasia-rahasia di dalamnya.
Murakami sudah mendengarkan musik jazz sejak umur 13 atau 14 tahun. Musik memiliki pengaruh yang sangat kuat: akord, melodi, irama, dan perasaan blues sangat membantu ketika dirinya sedang menulis. Bagi Murakami menulis buku itu selayaknya bermain musik: memainkan tema, kemudian berimprovisasi, lalu ada kesimpulan, dan sebagainya. Dia tak pernah bosan menulis dan selalu menemukan tujuan-tujuan baru. Karya-karya Murakami dominan merangkum soal kesepian, ketidakhadiran, jazz, kehidupan pelajar dan remaja.
Tak hanya soal sastra dan musik, lebih lanjut Murakami juga tertarik & mengomentari soal kesehatan. Dalam buku memoar What I Talk About When I Talk About Running, Murakami berkeyakinan kekuatan fisik juga sangat penting dalam menulis. Ia menyoroti banyak sekali penulis yang abai pada kesehatan fisik. Misalnya minum terlalu banyak dan merokok tanpa henti. Tak seperti kebanyakan penulis yang senang berkomentar saja, Murakami, konon, rutin berlari sejauh 10 kilometer setiap harinya, kadang ia juga gemar berenang. Kesehatan dan daya tahan menjadi faktor yang membikin ketahanan menulis Murakami begitu kuat!
Dari uraian di atas, dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa bakat ialah kapasitas yang ada pada diri seseorang dalam melakukan sesuatu dipengaruhi oleh latihan yang keras dan konsisten. Bakat juga didukung oleh tingkat pengetahuan yang dilalui (pengetahuan tak mesti berasal dari sekolah), lingkungan sekitar, motivasi, minat, dan lain hal. Bakat bukan air hujan yang tercurah tiba-tiba dari langit dan membasahi sekujur tubuh. Bakat bukan mukjizat yang tiba-tiba merasuki, yang sering disederhanakan banyak orang selama ini!
Yogyakarta, 2021
Catatan: Data wawancara Murakami diolah dari buku Semesta Murakami (2020) terbitan Odyssee Publishing.
Jemi Batin Tikal, kelahiran 1998 silam. Saat ini tinggal di Yogyakarta. Tergabung dalam sindikat Muda, Liar, Ngantukan. Diasuh komunitas sastra Jejak Imaji & Kebun Kata. Kumpulan puisi Museum Kehilangan akan terbit Februari 2022 dalam bentuk stensilan. Bisa dihubungi via instagram: @jemibatintikal, FB: Jemi Batin Tikal, & surel: [email protected]
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post