Di perpustakaan, aku melihat seorang wanita berwajah sembab tengah membaca dengan wajah yang terlalu dekat-mungkin hanya sepuluh senti jaraknya-dari buku.
Baru sepersekian detik aku melewatinya, aku mendapati ada yang aneh dalam diri wanita itu yang tertangkap oleh ekor mataku, dan baru terpikir setelahnya. Akhir-akhir ini dunia memang penuh dengan orang-orang sok aneh, yang menganeh-anehkan dirinya agar diperhatikan orang lain, atau setidaknya merasa unik, dan karena itu lebih pintar dari orang lain.
Wanita itu menatapku dengan tajam.
“Tuan Muiz!” dentingnya nyaring, sebelum aku bisa bersikap. Aku menoleh, bukan karena aku bernama Muiz, melainkan karena peranku di pertunjukan musim ini yang bernama Muiz; seorang tampan yang keras kepala.
“Nona memanggil saya?”
“Tentu, Tuan Muiz. Ternyata anda yang di atas panggung sama persis dengan anda yang di bawah panggung.” Ucapan wanita itu membuat kami menjadi pusat perhatian petugas perpustakaan dan beberapa pengunjung. “Boleh kita sedikit berbincang di luar?” tanya wanita itu. Ah, sial, menolak wanita muda tidak ada dalam kamusku. Tepatnya, tidak ada dalam kamus seorang Muiz, dan wanita itu sepertinya lebih terkesan kalau aku tetap menjadi Muiz.
Lorong perpustakaan agak mengaburkan wajahnya yang tadi terang, dan kebetulan dia tidak melanjutkan langkah ke sisi yang terang, menuju pintu keluar utama. Dia berhenti, dan geraknya seperti mengomando aku untuk ikut duduk di lorong itu, di bangku besi panjang.
“Aku sungguh terkesan dengan gaya anda di atas panggung. Cara anda melangkah, cara anda mengucapkan ‘Margareth sayang’. Cara anda merayu Angelina, senyum anda pada Laura. Dan hmm…gairah anda pada Eva, walau hanya lewat tatapan mata, tanpa bicara. Tapi oh, sungguh aneh aku bisa melihat tatapan mata anda. Itu ruang yang luas dan aku berada di deretan paling belakang. Ah, mungkin aku merasakannya. Ya, aku tidak melihatnya, melainkan merasakan tatapan mata anda. Aktor yang jenius.”
“Terima kasih, Nona.”
“Sayang sekali. Hari ini aku tidak membawa kamera. Amora pasti tidak percaya aku bertemu dengan anda. Ah, dia saudara kembar yang sangat berbeda denganku. Papa dan Mama kami memang sama, tetapi sepertinya tuhan kami berbeda. Sehingga semua yang kuceritakan, tidak dipercayainya.”
“Maaf, Nona. Saya harus pergi.”
“Ah, tidak apa-apa. Bolehkah kita berpelukan dan berciuman?”
Sorot lampu itu-karena sudah terlalu sering menerpaku-membuatku berimajinasi bahwa itu bukanlah lampu sorot untuk pementasan, melainkan lampu sorot di dalam ruang pemeriksaan yang menggantung dan bergoyang-goyang mencari kebenaran pada setiap pengakuan seorang pesakitan. Dan ya, aku di sini. Tak ubahnya seperti pesakitan itu. Tempat orang-orang mencari kebenaran tentang apa itu keindahan dalam penciptaan, sekaligus memuaskan mereka yang moralis dalam mencari kejujuran lewat sandiwara. Di antara para penonton mungkin sudah ada wanita dengan kembarannya yang bernama Amora itu, dan pastilah banyak juga wanita seperti itu yang menonton pementasan malam ini.
Semakin sering aku membaca dialogku, semakin dalam pemahamanku atas tokoh Muiz, dan karenanya semakin dangkal pula aku melihat Muiz dan wanita-wanita yang ada di sekitarnya. Seorang aktor adalah orang yang cerdas? Cuih! Boneka-boneka! Setelah selesai dengan kontrak terakhir, aku akan pergi dari kelompok teater sialan ini.
“Kenapa melamun? Lima belas menit lagi pertunjukan dimulai, sebaiknya kau kembalikan kesadaranmu. Ha ha ha,” Margareth, yang kusayangi di atas panggung, menggodaku.
“Siapa bilang aku melamun? Aku sedang berkonsentrasi.”
“Nanti ikut pesta?”
“Mana mungkin kita bisa ikut. Besok pentas terakhir kita. Kita harus mempersiapkan diri.”
“Tadi Bos Besar mengajakku.”
“Itu cuma mulut manis, orang seperti dia memang senang menawari seseorang yang tidak punya kemungkinan.”
“Ha ha ha. Aku hanya menggodamu, Muiz.”
Kucium Margareth di perut, lalu berlalu mengambil air putih.
***
“Ini semua tidak seperti yang kalian lihat. Tetapi kalau kalian lebih suka menghakimiku, silahkan saja,” ucapku di panggung.
“Akuntan publik sudah menyelidikinya, Muiz. Kau terbukti bersalah menggelapkan uang perusahaan.” Laura menunjuk dengan jari dan dadanya yang sama-sama merah.
“Aku jujur pada kalian semua. Memang ada satu dua tiga empat lima enam nota perusahaan yang lupa aku masukkan. Juga beberapa retur barang yang aku lupa. Lupa itu alami, kalian tahu itu kan?”
“Bertahun-tahun kami mempercayaimu, Muiz. Tapi apa? Kau malah merayu saudara-saudaraku.” Laura, Eva, dan Margareth melirik ke sumber suara, tidak terima kalau saudara mereka, Angelina, tidak mengakui juga bahwa Muiz membuatnya jatuh hati. Malah, dialah yang sebenarnya paling agresif.
“Kau melempar sepatu terlalu keras, dan yang terakhir sampai mengenai mataku,” ucapku di belakang panggung pada Angelina.
“Itulah upah bagi akuntan perusahaan sepatu kulit yang menipu, Muiz sayang.”
“Hai, Muiz!” Sebuah suara terdengar dari jauh, tubuhku langsung waspada.
“Hai,” jawabku seperti biasa, seperti kepada para penggemar, terutama wanita-wanita bodoh itu.
“Masih ingat padaku?”
“Hmmm…” Aku mengingat sambil tersenyum.
“Miana!”
“Miana?”
“Miana!”
“Maaf, aku benar-benar lupa.”
“Wanita di perpustakaan.”
“Oh…”
“Waktu itu memang kita tidak berkenalan. Tetapi aku sangat mengenalmu. Nah, Amora, inilah Muiz.” Dia memperkenalkan aku pada seseorang. Tetapi dari mana mereka mendapat akses untuk masuk ke sini? Bukankah ini ruang khusus aktor?
“Amora kupaksa ikut agar bisa melihat apa itu kesenian. Dan terbukti, tadi dia tidak berkedip melihat pertunjukanmu.”
“Terima kasih,” jawabku. Ah, aku capek sekali. Betul-betul ingin merebahkan diri di kasur bersama Eva.
“Kami ingin berfoto, bolehkah?”
***
“Kenapa lama sekali masuk kamar? Besok kita masih ada pentas lagi.”
“Melayani permintaan berfoto kan bagian dari pekerjaan juga.”
“Memang. Tetapi apakah Bos Besar tidak akan marah padamu?”
“Ah, rupanya banyak yang harus aku pikirkan.”
“Tetapi tidak akan banyak lagi mulai besok lusa, itu akan jadi hari yang sangat cerah. Akhirnya kita bisa pergi dari pementasan terkutuk ini. Membeli kebun apel dan bertani.”
“Jangan senang dulu, kita tidak tahu tabiat mereka.”
“Tabiat apa? Sudah jelas kan di kontrak kerja. Kita boleh pergi besok lusa, bahkan pergi ke ujung dunia juga boleh. Uangmu ditambah uangku sama dengan kebun apel. Ayah dan Ibu di surga pasti bahagia, melihat anak-anaknya kaya raya tapi tidak terkenal.”
“Sudahkah kau membersihkan riasanmu?”
“Wajahku akan tetap cantik sampai dua puluh tahun mendatang. Aku baru lima belas tahun, Muiz.”
“Kau tidak tahu apa yang mereka campur ke dalam riasan itu. Satu-satunya alasan mereka menjual bedak, gincu, dan sebagainya itu adalah karena mereka tidak sudi membelinya, apa lagi memakainya.”
“Grooog..grooog…grooog.”
Eva pura-pura tertidur dan mengorok, dia mengejekku.
***
“Tidakkah kalian berniat mengurungkan rencana kalian untuk pergi? Mereka sungguh mengharapkan kalian tetap ikut bermain. Terutama kau, Muiz. Di mana lagi aku bisa mendapatkan orang sepertimu? Aku tahu, upahmu tidak kunaikkan selama setahun ini. Dan itu masih wajar bukan? Mana ada wanita berupah setinggi dirimu?”
“Ini bukan tentang upah, Bos. Aku memang berencana pergi. Sudah kubicarakan dengan Eva selama setahun belakangan ini. Hidup kami di panggung memang sampai di sini.”
“Masa depan memang indah ketika belum ditapaki. Apa lagi kalian masih muda. Bila kalian ingin beristirahat sejenak, istirahatlah di rumahku.”
“Tidak, Bos,” kali ini Eva menimpali. “Kami sudah punya rencana.”
Tiba-tiba pintu dibuka tanpa ada yang mempersilahkan. Wanita itu lagi, dengan saudara kembarnya. “Papa, kami mau pergi belanja tetapi kekurangan uang. Oh, maaf, rupanya ada tamu.” Pandangannya menoleh kepadaku. “Ah, Muiz. Cantik sekali kau hari ini. Papa, maaf aku lancang. Amora dan aku kekurangan uang. Kami berencana membeli kain beludru dan menjahitnya untuk pesta dansa.”
“Tentu, Nak. Tetapi tunggu dulu. Papa selesaikan urusan. Kita bertemu di saat makan siang.”
“Ah. Baiklah. Ayo Amora. Ah, oh ya, ini hari terakhirmu di sini Muiz?” Wanita itu mendekat ke arahku dan berbisik, “Pasti kau rayakan dengan tidur bersama papaku yang buncit. Bukan begitu? Wahai lelaki cantik kekasih gelap lelaki tua?”
Miana dan Amora berlalu. Eva menatap mereka, tetapi tak bisa berbuat apa-apa.
***
Gang Metro, 9 Januari-3 September 2021
Bulan Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Pernah memimpin Teater Koin di almamaternya. Cerpen-cerpennya terbit di pelbagai media, baik cetak maupun digital. Kini ikut bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post