“Maek tidak hanya nagari kecil yang secara geografis dikelilingi oleh perbukitan sehingga membuatnya cukup terisolir, tapi juga dikelilingi beragam asumsi tentang sejarahnya yang tak kunjung terang. Hingga kini, Maek masih penuh misteri, belum terpecahkan tapi tidak juga terlupakan.”
Suatu sore yang cerah di penghujung bulan Agustus tahun 2014, saya dan Agus berkunjung ke Nagari Maek di Kabupaten Limo Puluh Kota. Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Nagari seribu menhir ini setelah sekian tahun hanya membacanya melalui beberapa artikel.
“Ini namanya Situs Bawah Parit. Di sini ditemukan sekitar 300-an menhir, sebagian masih berdiri tapi kebanyakan sudah rebah,” cerita Pak Jusman, warga lokal yang menemani kami sore itu. “Sekitar 2 km ke arah timur sana juga ada Situs Balai Batu,” lanjutnya. “Tapi jumlah menhir di situ hanya 30-an saja. Di sana ada balai batu yang dibuat oleh kelompok manusia kedua.”
Pak Jusman lalu mengajak kami masuk ke dalam situs seluas hampir lapangan sepakbola itu. Ia menunjuk beberapa menhir yang memiliki ukiran hampir mirip dengan ukiran di rumah gadang.
“Kalau Balai Batu itu dibuat kelompok manusia kedua, lalu bagaimana dengan menhir-menhir ini, Pak, apakah dibuat mereka juga?” tanya Agus.
Agus teman saya yang unik. Anak muda yang tumbuh di keluarga yang masih memegang teguh tradisi Minang ini cukup rajin membaca laporan penelitian, tapi juga mengagumi dunia mistis dalam mengungkap sejarah Minangkabau.
“Bukan, jawab Pak Jusman. “Kalau menhir ini dibuat oleh manusia kelompok pertama,” lanjutnya. Ia kemudian menunjuk jauh ke arah barat, “Nah, kalau di Situs Padang Ilalang Jorong Ronah sana ada batu nisan seorang ulama, itu dibuat oleh manusia kelompok ketiga, leluhur kami.”
“Loh, jadi sebenarnya ada berapa kelompok manusia yang hidup di sini, pak, sejak kapan manusia pertama tinggal di sini dan seperti apa kehidupannya dulu?” pertanyaan Agus bertubi-tubi, tanpa memberi kesempatan Pak Jusman menjelaskan.
Semangat yang membara dari Agus sebenarnya beralasan. Ia datang ke Maek dengan membawa satu misi khusus, mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang diajukan temannya tempo hari di Kota Padang. “Pertanyaan dia berbau menggugat tambo,” cerita Agus suatu kali sebelum kami berangkat ke Maek. “Mengapa Limo Puluh Koto disebut luhak paling bungsu dalam adat Minangkabau, padahal memiliki tinggalan menhir yang berusia 6000 tahun. Sedangkan Tanah Datar yang disebut luhak yang tua hanya memiliki tinggalan prasasti berusia sekitar 700-1000 tahun?” Pertanyaan Agus semakin panjang dan tajam. Pak Jusman hanya tersenyum. “Kalau itu kita tidak juga, ya”, jawabnya pendek.
Belum mendapatkan jawaban yang memuaskan, Agus lalu berjalan ke tengah-tengah situs, memegang satu per satu menhir yang ada. Entah apa yang dilakukannya, sesekali pandangannya menerawang ke Bukit Posuak. Ia seakan sedang berusaha menemukan jawaban dengan caranya sendiri. Sebagai anak muda yang mewarisi tambo dan menerima warih nan bajawek, Agus cukup dilema. Sumber bacaannya tentang Maek dari mbah google jauh berbeda dengan apa yang ia terima secara adat. Lebih tua mana sebenarnya Luhak Limo Puluh Kota dengan Tanah Datar? Tak ayal, satu pertanyaan sulit itu sudah cukup baginya untuk memaksa saya untuk menemaninya berkunjung ke Maek.
Bagi Agus sejarah hanya hitam dan putih. Jika ada daerah yang memiliki tinggalan paling tua, “mungkin di sanalah awal mula nenek moyang orang Minangkabau”, katanya. Sedangkan daerah lain baginya baru muncul kemudian tanpa sejarah dan peradaban apa pun.
Bukit Posuak yang dikaitkan masyarakat Maek dengan legenda seorang pengembara sakti (Dok: Maekfestival)
Agus mungkin lupa kalau hujan tidak sekali turun, bajalan indak sakali sampai, mancancang indak sakali putuih. Mamangan adat itu memberi makna bahwa masyarakat Minangkabau dulu melihat segala sesuatu yang terjadi mengalami proses yang dinamis. Dalam konteks sejarah, peradaban Minangkabau itu tidak sekali muncul, melainkan bisa tumbuh dari beberapa daerah secara bersamaan. Adat tidak sekali dibentuk dan agama juga tidak sekali datang.
Dulu sekali adat dan budaya nenek moyang kita lebih banyak dipengaruhi oleh kepercayaan pada hal yang gaib, seperti roh leluhur, unsur-unsur alam dan kekuatan supranatural lain di luar manusia. Sekian abad berlalu, setelah mereka menganut agama Islam secara menyeluruh maka terjadi perubahan yang besar. Adat dan budaya Minangkabau disepakati harus berlandaskan kepada ajaran Islam (syarak). Pepatahnya menyebutkan, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. Alhasil, berbagai tradisi yang berdasarkan pada kepercayaan sebelumnya secara perlahan diubah dan diganti sesuai ajaran Islam.
Hampir di seluruh wilayah Minangkabau kita menemukan rumah gadang, tapi dalam lingkup nagari, rumah gadang paling banyak ditemukan di Padang Ranah Sijunjung dan Koto Baru Solok Selatan. Pemerintah kita kemudian menjuluki kedua nagari tersebut sebagai nagari seribu rumah gadang. Lalu apakah kedua nagari itu dapat disimpulkan sebagai tempat pertama lahirnya peradaban nenek moyang orang Minangkabau yang menggunakan rumah gadang? Tentu tidak. Begitu juga dengan Maek. Ribuan tinggalan menhir di sana tidak langsung menjadikannya sebagai pusat peradaban dan awal mula nenek moyang orang Minang, karena hampir di semua daerah di Sumatra Barat juga ditemukan tinggalan menhir. Dalam perjalanan dari Sijunjung ke Maek saja contohnya, kami melewati Sumanik, Saruaso, Pagaruyung, Sungayang, Suliki dan Guguak Gadang. Daerah-daerah itu juga memiliki tinggalan menhir seperti halnya Maek.
Misteri Peradaban Maek
Maek, salah satu nagari yang terpencil di Kabupaten 50 Kota. Lokasinya berada sebuah lembah di dataran tinggi yang di kelilingi Bukit Barisan. Di Maek, kemanapun kita menghadapkan kepala, yang terlihat hanyalah bukit-bukit tinggi. Bukit-bukit yang seakan menjadi benteng alami, mengurung Maek selama ratusan ribu tahun, sehingga membuat kita yang awam ini berpikir, tidak mungkin rasanya peradaban bisa masuk ke tempat yang terisolir seperti ini. Tentu saja keraguan itu langsung terjawab dengan kenyataan ditemukannya ribuan menhir di nagari seluas 122 km itu. Hampir di setiap sudut kampung, menhir-menhir dengan berbagai bentuk dan ukuran dapat ditemukan dengan mudah. Itu semua menjadi bukti bahwa peradaban pernah ada di sini dan mungkin salah satu peradaban yang memiliki pengaruh besar dalam perjalanan sejarah Minangkabau maupun Indonesia.
Dari catatan yang ada, ribuan menhir di Maek telah menjadi perhatian peneliti Indonesia maupun asing dalam 4 dekade terakhir. Para arkeolog dan sejarawan bolak balik mendatangi nagari kecil ini untuk mengungkap peradabannya yang masih misteri. Mereka mengamati ukiran di batu, menggali tanah hingga menemukan tujuh rangka manusia yang terkubur di bawah menhir. Beragam asumsi kemudian dimunculkan. Mulai dari perkiraan menhir-menhir yang berusia hingga 6000 tahun hingga Nagari Maek yang disebut sebagai peradaban tertua di Indonesia
Sayangnya selama lebih empat puluh tahun, belum ada satu pun laporan penelitian yang memberikan bukti atas klaim-klaim di atas. Yang terus bergelinding adalah satu dugaan disandarkan pada asumsi lain yang belum terbukti. Alhasil, Maek tidak hanya sebuah nagari yang secara geografis dikelilingi oleh perbukitan sehingga membuatnya cukup terisolasi, tapi juga dikelilingi beragam asumsi tentang sejarahnya yang tak kunjung terang. Hingga kini, Maek masih penuh misteri belum terpecahkan tapi tidak juga terlupakan. Mengetahui umur menhir atau seberapa tua peradaban Maek hanyalah satu dari tiga tujuan penelitian arkeologi. Dua tujuan lain yang tidak kalah penting adalah mengetahui masyarakat seperti apa yang pernah tinggal di Maek dan bagaimana perubahan cara hidup mereka dari satu generasi ke generasi lainnya, selama ribuan tahun, hingga sampai hari ini.
Pendapat tentang menhir Maek yang berumur hingga 6000 tahun adalah asumsi yang selama ini tidak pernah dibuktikan. Belakangan muncul dugaan baru kalau umur tengkorak yang ditemukan di Mahek lebih tua dari Phitecantropus Erectus,- yang secara bahasa diartikan manusia kera yang berjalan tegak. Benarkah itu nenek moyang orang Minangkabau?
Jika iya, mengapa berita temuan fenomenal Maek ini tidak muncul dari dulu. Bukankah cukup mudah bagi ahli Paleoantropologi untuk mengamati dari bentuk fisik tengkorak, ukuran rahang dan giginya jika itu memang lebih tua dari Phitecantropus?
Dalam bukunya berjudul Megalitik: Fenomena Yang Berkembang di Indonesia, Bagyo Prasetyo memaparkan beragam hasil uji karbon terakhir pada situs-situs megalitik di Indonesia. Menurutnya, umur situs megalitik di Indonesia relatif lebih muda dibandingkan situs di luar negeri. Sejauh ini yang paling tua adalah situs Tatelu di Sulawesi Utara yang berumur sekitar 2500 tahun. Adapun menhir di Guguk Nunang yang hanya berjarak sekitar 35 km dari Maek, berdasarkan uji karbon berumur 700 – 1000 tahun. Situs-situs lainnya, seperti Dusun Tinggi (Jambi) berumur sekitar 1000 – 1600 tahun, Situs Hiligeo (Nias) sekitar 600 – 1000 tahun, dan Situs Pasir Angin (Jawa barat) sekitar 1000 – 1100. Bahkan berdasarkan data uji karbon yang dikumpulkan Bagyo Parsetyo, peneliti senior di Pusat Arkeologi Nasional itu, diketahui bahwa sebagian situs megalitik memiliki pertanggalan abad 19 dan 20 Masehi, seperti di Nias dan Pagar Alam Pasemah (Sumatra Selatan).
Data yang dipaparkan Bagyo memberikan kita pemahaman bahwa budaya megalitik tidak selalu berasal dari masa prasejarah (purba), tapi juga pada abad pertengahan Masehi. Umurnya tidak selalu ribuan tahun tapi juga bisa 100-200 tahun, ketika beberapa agama telah berkembang pesat dan kehidupan manusia jauh lebih maju. Hal ini juga kita temukan pada Situs Ronah di Nagari Maek. Masyarakat mengatakan bahwa salah satu menhir yang berukir adalah batu nisan seorang ulama yang mengajarkan Agama Islam kepada leluhur mereka. Lalu berapa sebenarnya umur menhir-menhir paling tua di Maek? Benarkah mencapai 6000 tahun? Semoga uji karbon yang telah dilakukan pemerintah sejak akhir tahun lalu segera memberi kita jawaban yang pasti.
Yang Berbeda Dari Situs Megalitik Maek
Secara bentuk, tinggalan menhir di Nagari Maek tidak jauh berbeda dengan menhir-menhir lainnya yang ditemukan hampir di seluruh wilayah Minangkabau. Bahkan di Sungai Rimbang, Saruaso, Sungayang dan Pagaruyung, menhir ditemukan dengan ukuran yang lebih tinggi dan bentuk ukiran yang lebih beragam, seperti ukiran flora, fauna, keris, pending hingga bentuk penis manusia. Di Pasemah, Samosir dan Nias, ukiran menhirnya lebih beragam lagi, seperti manusia yang menaiki gajah dan manusia yang menggunakan pakaian adat. Hal itu jelas menunjukkan teknik ukir yang lebih kompleks.
Lalu apa yang istimewa dari menhir-menhir di Maek?
Yang istimewa dari Maek adalah jumlah temuannya yang mencapai seribu lebih di suatu wilayah yang relatif kecil. Ini yang belum pernah ditemukan di tempat lain di Sumatera Barat, bahkan di Indonesia. Mengapa di Maek bisa ditemukan Menhir sebanyak itu? Kelompok manusia seperti apa yang membuatnya dulu dan untuk apa sebenarnya dibuat ? Inilah yang dimaksud dengan tujuan kedua dan ke tiga dari penelitian arkeologi. Mengetahui cara hidup dan proses perkembangan kebudayaan kelompok masyarakat.
Romi Hidayat dalam artikelnya berjudul Bentuk, Fungsi dan Makna Menhir di Nagari Mahat: (Kajian Etnoarkeologi) mengatakan bahwa menhir-menhir di Maek memiliki fungsi utama untuk penguburan dan penghormatan pada roh leluhur. Kesimpulan ini senada dengan pandangan Profesor Herwandi dari Universitas Andalas. Menurutnya, arah hadap menhir yang banyak mengarah ke Gunung Sago semakin menguat dugaan selama ini bahwa bagi masyarakat saat itu leluhur dianggap bersemayam di tempat-tempat tinggi. Bahkan Herwandi juga mengatakan bahwa Gunung Sago awalnya disebut sarugo atau surga oleh sebagian masyarakat (dikutip dari Kompas, 27/10/2021).
Untuk dapat mengungkap lebih banyak seperti apa dan bagaimana kehidupan masyarakat yang membuat menhir, Dominic Bonatz, seorang Profesor Bidang Arkeologi di Jerman menyarankan agar dilakukan penelitian mendalam berdasarkan sumber lokal. “Dalam artikelnya berjudul Megalithic landscapes in the highlands of Sumatra (2015), Bonatz mengatakan bahwa hanya dari daerah di mana menhir-menhir itu berdiri kita akan mendapat lebih banyak informasi”.
Di Minangkabau, sumber-sumber yang dimaksud Dominic Bonatz di antaranya adalah tambo, warih nan bajawek (tradisi lisan), pidato adat dan tradisi upacara adat. Meskipun sumber-sumber tradisional itu telah sejak lama dianggap mitos dan tidak relevan, tapi justru pada hal tertentu memberikan informasi yang signifikan. Dalam sebuah pidato adat yang sering dibaca saat mengadakan kawu, ada beberapa informasi yang bisa digali lebih dalam untuk menelusuri lebih jauh kehidupan nenek moyang orang Minangkabau masa silam. Bakawua adalah tradisi leluhur Minangkabau masa dulu sebelum mengenal agama. Tradisi yang dilakukan pada saat sebelum dan setelah panen ini masih dilestarikan di sebagian nagari dengan beberapa penyesuaian setelah memeluk agama Islam. Dalam pidato kawu, nenek moyang orang Minangkabau digambarkan sebagai berikut:
“…Sungguahpun ambo bapidoto
Mamulangkan kato Niniek kito
Kan itu urang nan ba baju pendek
Nan basirawa kotok
Nan ba baju torok
Nan manogakan batang
Nan marobakan tunggu
Nan moncote aka nan solei
Kan itu urang nan baladieng pontong
Nan babaliong sumbieng
Kan itu urang nan mandaki ka bukik mandi angin
Manurun ka lurah Mara Bono
Mangko maadok ka Gunuang Godang
Mangko dipasang lah niat dengan kawu…”
Ciri-ciri nenek moyang Minangkabau dalam pidato di atas memiliki keterkaitan dengan pengetahuan umum selama ini tenang masyarakat tradisi megalitik.
“Mereka yang hidup dan beraktivitas antara gunung dan lembah. Menggunakan baju dari kayu tarok dan celana kotok. Menggunakan parang yang pontong dan boliang sumbing. Pada waktu-waktu tertentu mereka mengadakan ritual, mendaki bukit mandi angin, lalu menuruni lembah Mara Bono. Saat itu mereka menghadap ke arah gunung besar lalu berdoa dan memberikan penghormatan pada leluhur atas hasil panen yang diperoleh”
Nenek moyang orang Minangkabau yang memiliki tradisi megalitik juga disebut dalam tambo. Salah satu sumber yang detail menceritakannya adalah Kitab Salasilah Raja-Raja di Minangkabau. Disebutkan bahwa dulu terdapat pusat kerajaan bernama Galundi nan Baselo dan Pasumayam Koto Batu di kaki Gunung Marapi. Raja dan para penghulu duduk di atas batu di dalam istana yang juga berpagar batu. Persidangan juga dilakukan di atas batu yang dapat disaksikan oleh masyarakat banyak. Saat itu ada banyak jenis-jenis batu yang dipergunakan dengan fungsi yang beragam, seperti tempat duduk, makan, dan bertapa termasuk untuk lantai bangunan, nisan dan balai pertemuan. Lebih lengkapnya bisa dilihat pada Kitab-Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau.
Pusat Peradaban di Sumatera Tengah
Perkampungan Maek dibelah oleh sebuah sungai yang diberi nama Batang Maek. Hulunya berada di kaki Bukit Barisan, hilirnya menyatu dengan Sungai Kampar lalu berakhir di Selat Malaka. Memiliki lebar hingga 40 meter dan dialiri air yang jernih, Batang Mahek adalah tipe sungai dangkal yang memiliki batu monolit berlimpah. Selain tempat menggantungkan hidupnya oleh masyarakat, para peneliti meyakini dari sungai ini juga lah ribuan menhir bermula. Jutaan kubik batu diangkut dari Batang Maek lalu dipahat untuk kemudian dijadikan menhir. Sebagian ada juga yang langsung dipahat dari dalam sungai, setelah setengah jadi baru dipotong lalu diangkut ke tanah lapang untuk dipahat lebih halus lagi.
Dalam penelitiannya tahun 2015, Dominic Bonatz dan timnya memotret ‘calon menhir’ yang masih tertempel pada sebuah bongkahan batu monolit besar di pinggir sungai. Tampaknya batu itu gagal menjadi menhir yang entah karena alasan apa. Hingga kini kita belum menemukan jawaban yang jelas, termasuk seperti apa proses selanjutnya setelah batu dipahat dan diangkut dari sungai.
Yang jelas kita dapat mengatakan bahwa tersedianya deposit batu monolit yang berlimpah di Batang Maek maupun sekitarnya adalah salah satu faktor utama mengapa di nagari ini bisa ditemukan ribuan menhir. Faktor lainnya tentu karena kepercayaan, adat dan tradisi yang dimiliki masyarakat Maek dulu. Tampaknya menhir begitu penting bagi mereka, sehingga di daerah lain menhir hanya ditemukan belasan atau puluhan, tapi di sana mencapai ribuan.
Dalam kacamata sejarah yang lebih luas, Maek sebenarnya tidak berdiri sendiri. Ia berada di antara kawasan yang menjadi tempat tumbuhnya beragam peradaban. Batang Mahek yang mengalir ke wilayah timur terhubung ke kawasan Muara Takus. Di sanalah salah satu Candi Budha tertua (abad 6-7 M) di Pulau Sumatra ditemukan. Jarak Maek dan Muara Takus hanya sekitar 50 km, jarak yang relatif sama antara Maek dan Pariangan Gunung Merapi, tempat disusunnya adat Minangkabau untuk pertama kali.
Maek, Muara Takus dan Pariangan, adalah tiga lokasi yang memiliki tinggalan arkeologis yang signifikan sehingga sering disebut pusat peradaban masa lalu. Ketiganya mungkin saja muncul pada waktu berbeda, tapi berkembang pada waktu yang saling beririsan. Ini tentang keragaman kelompok masyarakat yang hidup pada wilayah yang berdekatan dan saling terhubung, tapi dengan konsep kepercayaan dan struktur sosialnya yang mungkin berbeda.
“Selain itu, Bukit Barisan yang berjejer di sepanjang Pulau Sumatera adalah tanah yang subur untuk banyak kebudayaan megalitik. Dari selatan di Pasemah, tengah di Maek-Kerinci hingga utara di Samosir, Bukit Barisan adalah rumah bagi banyak kelompok masyarakat yang meninggalkan tradisi batu-batu besar.
Kepercayaan dan Pengetahuan Astronomi Masyarakat Minangkabau
Dalam kajian Arkeologi Keruangan (spasial), temuan situs arkeologi dalam jumlah banyak dan masif selalu memberikan kita pengetahuan tentang pola, susunan dan tata ruang situs. Pola dan tata ruang itu sering kali disusun berdasarkan kepercayaan, struktur sosial yang mereka miliki dan pengaruh alam sekitar. Ada juga karena pengetahuan tradisional mereka tentang unsur tata surya, seperti Bulan, Matahari dan Bintang.
Indikasi pengetahuan pada tata surya itu telah mulai dikaji dengan ilmu Arkeoastronomi pada situs-situs di Indonesia, seperti Gunung Padang, Candi Borobudur, Mendut dan Pawon. Di luar negeri kajian arkeoastronomi lebih awal dilakukan, seperti pada situs Stoneheng di Inggris, Piramida di Mesir dan Tika peradaban Suku Maya di Guatemala.
Maka menarik untuk meneliti ribuan menhir di Maek dari sudut pandang Arkeoastronomi. Adakah pola tertentu dan pengaturan ruang yang khusus terkait aspek kepercayaan, struktur sosial dan pengetahuan mereka tentang astronomi? Satu pandangan umum yang selama ini dibicarakan peneliti adalah tinggalan megalitik selalu terkait erat dengan pengetahuan masyarakatnya pada tata surya. Bentuk, arah hadap dan pola susunan situs terkait dengan pengetahuan dan kepercayaan mereka pada Matahari, Bulan dan susunan Bintang. Tentu untuk dapat melakukan ini semua kita perlu kembali ke Maek dan menggali sumber-sumber lokal sebagaimana yang disarankan Dominic Bonatz.
Usaha pemerintah mengirimkan sample arang menhir Maek ke luar negeri untuk uji karbon tentu sebuah langkah yang tepat. Agar kita tidak lagi sekedar menerka-nerka, seberapa tua peradaban Maek. Tapi tidak salah juga untuk kembali ke Nagari Maek dan daerah sekitarnya untuk menggali sumber-sumber lokal. Menyusuri sudut-sudut kampung dan nagari. Membaca tambo, mendengarkan pidato adat dan meminta para pemangku adat bercerita tentang warih nan bajawek mereka.
Keterangan dari masyarakat Maek bahwa telah ada tiga kelompok manusia yang mendiami nagarinya adalah pintu masuk untuk menggali informasi lebih dalam. Termasuk orientasi menhir yang mereka sebut banyak mengarah ke matahari terbit. Dari mana mereka mengetahui informasi itu? Lalu bagaimana ciri-ciri kehidupan masing-masing tiga kelompok manusia itu? Pasti ada sumber yang mereka miliki, baik tertulis ataupun lisan. Tidak hanya di Maek, penggalian sumber tradisional juga perlu dilakukan di nagari sekitarnya, karena kita tahu bahwa nagari-nagari di Minangkabau selalu memiliki keterkaitan budaya dan hubungan historis satu sama lain.
“Dengan menggali sumber-sumber lokal dengan analisis arkeologi spasial, barangkali kita akan menemukan rahasia lain yang selama ini tersembunyi dari ribuan menhir Maek. Cara hidup, kepercayaan, dan pengetahuan astronomi tradisional leluhur dahulu. Kini saatnya kembali, setelah sekian lama kita membelakangi sumber-sumber tradisional itu sebagai data sejarah”.
Sumber Poto: instagram @Maekfestival
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post