Pada umumnya, masyarakat Indonesia merayakan hari raya dengan berbagai acara-acara yang bernuansa kearifan lokal. Misalnya di Minangkabau identik dengan acara-acara selaju sampan, panjat pinang, permainan tradisional dan lainnya. Acara-acara tersebut barangkali bukan sebagai warisan leluhur yang ditinggalkan berabad-abad. Namun kurun waktu 30 tahun belakang, acara-acara tersebut sudah digelar dan nyaris selalu ada tiap hari raya besar (Idul Fitri). Paling tidak untuk seukuran umurku.
Acara-acara tahunan yang kerap digelar kalau hari raya datang itu berbeda nasibnya dengan tempat-tempat tujuan wisata yang dulunya pusat keramaian sekarang jadi numpang lewat, yang dulunya tempat pertama tujuan perantau pulang, sekarang tempat singgah mengingat kenangan belaka. Acara-acara bernuansa kearifan lokal, atau sebutlah gelaran klasik bila hari raya tiba mempunyai nasib yang nyaris tak nampak menyenangkan, tapi kalau dibuat selalu menghadirkan daya tarik. Sudah lama rasanya saya tidak menyaksikan secara langsung bagaimana remaja-remaja bermain rebana, melantunkan qasidah dengan suara khasnya yang parau, lengking dan sarat makna. Ibu-ibu majelis taklim yang memasang wajah semangat, sumringah dengan pakaian seragam kelompoknya.
Saya coba menelisik sedikit bagaimana perkembangan kesenian ini dan menggabungkannya dengan pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak dulu. Ya, hari raya memang identik dengan kanak-kanak. Sebagian juga pernah celetuk, “hari raya Idul Fitri itu hari raya anak-anak, biarlah mereka bersuka cita. Terlebih kalau puasanya sampai”. Tentu saja celetukan tersebut tak serta merta mengiyakan perbuatan suka cita apapun.
Setelah itu, aku menemukan ragam bentuk acara-acara gelaran Qasidah Rebana. Saya coba ambil beberapa pengertiannya secara umum. Qasidah sendiri memiliki pengertian yaitu (qasidah) adalah bentuk syair epik kesusastraan Arab atau yang dinyanyikan. Penyanyi menyanyikan lirik berisi puji-pujian (dakwah keagamaan dan satire) untuk kaum muslim. Dilain pengertian, Kasidah adalah seni suara yang bernapaskan Islam, dimana lagu-lagunya banyak mengandung unsur-unsur dakwah Islamiyah dan nasihat-nasihat baik sesuai ajaran Islam. Biasanya lagu-lagu itu dinyanyikan dengan irama penuh kegembiraan yang hampir menyerupai irama-irama Timur Tengah dengan diiringi rebana, yaitu sejenis alat tradisional yang terbuat dari kayu, dibuat dalam bentuk lingkaran yang dilobangi pada bagian tengahnya kemudian di tempat yang dilobangi itu di tempel kulit binatang yang telah dibersihkan bulu-bulunya. Awalnya rebana berfungsi sebagai instrumen dalam menyayikan lagu-lagu keagamaan berupa pujian-pujian terhadap Allah swt dan rasul-rasul-Nya, salawat, syair-syair Arab, dan lain lain. Oleh karena itulah ia disebut rebana yang berasal dari kata rabbana, artinya wahai Tuhan kami (suatu doa dan pujian terhadap Tuhan)
paling tidak, lagu kasidah modern liriknya juga dibuat dalam bahasa Indonesia selain Arab. Grup kasidah modern membawa seorang penyanyi bintang yang dibantu paduan suara wanita. Alat musik yang dimainkan adalah rebana dan mandolin, disertai alat-alat modern, misalnya: biola, gitar listrik, keyboard dan flute. Perintis kasidah modern adalah grup Nasida Ria dari Semarang yang semuanya perempuan. Lagu yang top yakni Perdamaian dari Nasida Ria. Pada tahun 1970-an, Bimbo, Koes Plus dan AKA mengedarkan album kasidah modern.
Bila mengingat qasidah bayanganku selalu diantarkan kepada grup Nasidah Ria. Grup musik legendaris itu sampai sekarang pun masih aktif berkarya, sudah berapa generasi pula. Tapi di kampung-kampung, grup qasidah tampil benar-benar natural, hanya ada alat musik rebana dan kecrek. Pakaian penyanyi dan personil lain biasanya berbeda, pakaian penyanyi agak sedikit mencolok guna menampilkan sosok penyanyi yang menjadi pusat perhatian penonton. Atau mungkin saja ada maksud lain.
Di tengah gema orgen tunggal dimana-mana dan sayup-sayup suara pembawa acara melelang singgang ayam. Dilengkapi dengan gaya menggalas tanah abang, pembawa acara akan berulangkali menghangatkan gulai perantau agar segara melayangkan tawaran. Aku meluncur melewati gema speaker orgen dimana-mana, lampu kerlap-kerlip memantul di jalan-jalan, pemuda-pemuda setengah mabuk dengan mata tertutup nampak lihai meliuk-liuk, tanganya satu di atas satu lagi di bawah. Waw. Mabuk berat ini anak, batinku. Tapi aku terus memikirkan festival qasidah rabbana yang diadakan oleh masyarakat di Sungai Liku, Kecamatan Ranah Pesisir, Kab. Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Kecamatan yang dulunya menjadi pusat keramaian di daerah Bandar Sepuluh yang ibukotanya adalah Balai Selasa. Aku ingat betul bagaimana daerah yang identik dengan ikan mungkus ini dulunya. Kalau sudah hari Balai (hari selasa), saya kerap ikut dengan orangtua hanya untuk membeli ikan mungkus. Belum lagi sejarah panjangnya, festival band, pusat keramaian, Pantai Sumedang, Air Terjun Pelangai dan segala keriuhan lainnya. Eh, aku ingat, Balai Selasa menjadi satu-satunya lokasi bioskop pada masa lalu di Pesisir Selatan. Jika ingin menonton bioskop, maka kami (dari daerah kec. Sutera – Lengayang) akan datang ke sana. Jarak tempuh lebih kurang 1 jam. Jika Pasar Kambang punya lapak rental komik, maka Balai Selasa punya bioskop. Betapa canggihnya daerah ini. Semuanya ada di sana; Kantor Pos, Samsat, SMK, STAI dan lainnya. Balai Selasa pada masa lampau menjadi Ibukota dari Kab. Pesisir Selatan Kerinci. Daerah ini punya riwayat panjang. Tapi, STAI Balai Selasa yang dulunya bernama STAI Ilyas Yakub belum bertemu benang merah mengapa namanya diganti atau mengapa dulu diberi nama itu, apakah Ilyas Yakub lahir di daerah ini, atau memang untuk menghormati beliau sebagai satu-satunya pahlawan nasional dari Kab. Pesisir Selatan. Wilayah yang dengan serampangan digelari “Negeri Sejuta Pesona” tapi miskin pengembangan wisata.
Discussion about this post