Tinggal di hutan atau rimba raya barangkali adalah sebuah pilihan yang menakutkan, tolol, sekaligus di luar nalar untuk sebagian orang, atau barangkali malah kebanyakan orang. Saya seringkali mendengar tetangga atau keluarga yang tinggal di desa telah merantau ke kota, alasannya untuk memperbaiki hidup. Mencari pekerjaan yang layak, atau mencoba peruntungan di tempat baru yang lebih ramai, riuh, dan ingar bingar. Segala yang tidak ada di desa seakan ada dan tersedia di kota. Barangkali begitulah isi kepala tetangga saya yang berlomba-lomba pergi ke kota. Tidak ada yang salah.
Begitupun tidak ada yang salah ketika seorang Antonio José Bolívar Proaño memilih untuk masuk ke hutan, di kedalaman rimba raya, dan bertempat tinggal tepat beberapa meter di depan sungai Nangaritza. Keduanya—Antonio dan tetangga saya—sama-sama menghadapi keasingan. Sebuah tempat baru berarti adalah pelajaran baru, yang barangkali bisa menjadi ancaman atau kesenangan. Dan di sanalah mereka harus meneruskan lelaku. Tentu saja ada kesulitan, orang-orang desa tentu mengalami kesulitan berkomunikasi, cara bersikap, dan tata cara lain yang tidak selaras dengan kehidupan kota. Sering juga mereka tak mengerti cara mengoperasikan alat-alat yang berserak di kota: lift, eskalator, kran di toilet-toilet mall, dan masih banyak lagi.
Sementara itu Antonio José Bolívar pun mengalami perkara yang sama. Ia mengalami keterasingan saat tiba di El Idilio. Suatu tempat yang sama sekali berbeda dengan tempat asalnya, El dorado. Dikatakan di sana di suatu kelokan sungai mereka merapat menggunakan kano. Dan satu-satunya bangunan yang berdiri di sana adalah sebuah pondok besar yang dindingnya terbuat dari seng berombak yang merupakan sebuah kantor, toko perkakas, bibit, sekaligus merangkap hunian bagi para pemukim yang baru tiba.
Keterasingan memaksa Antonio dan Dolores Encarnación del Santísimo Sacramento Estupiñán Otavalo, istrinya untuk memulai segala hal yang mereka bisa. Sebagai pemukim mulanya mereka membangun gubuk, mengolah lahan dan sebagainya. Namun pendatang tentu saja orang awam, pemula akan tempat yang baru ditempatinya. Ia tidak mengerti bagaimana tempat barunya bekerja dan apa yang tersimpan di sebaliknya.
Misalnya lahan yang baru saja mereka siangi rumputnya, esoknya segera bertumbuh kian lebat, saat musim hujan pertama tiba, perbekalan mereka habis. Hewan-hewan kian gesit dan liar, sungai meluap, beberapa pemukim gugur karena memakan buah tak dikenal, terserang demam, lainnya raib ke dalam perut melar seekor Boa. Mengenaskan.
Mereka para perantau orang-orang desa yang datang ke kota pun juga mengalami hal demikian. Tak jarang ketika saya, sedang ngopi di warung desa yang tiap pagi dan sore dipenuhi oleh para orang tua yang hampir uzur dan kekurangan pekerjaan. Mereka kerap membicarakan hidup sial dan beruntung para perantau. Barangkali sebagai kerjaan baru atau pengisi waktu yang kelewat luang.
Beberapa dari mereka yang memulai peruntungan di kota, dengan membuka usaha warung penyetan, pecel lele dan semacamnya yang khas dengan Lamongan. Tak semua diterima di tempat baru mereka. Para orang tua di warung kopi itu segera menyebut nama mereka satu persatu tanpa inisial, sehingga gamblanglah hidup beserta aib para perantau itu di telinga saya. Ada yang kena palak preman setempat, ada yang terjerat judi online, ada juga yang nasinya lekas basi karena kalah dukun dengan pedagan lain. Namun saya yakin tidak sesederhana cerita para orang tua di warung kopi itu, kehidupan mereka di sana.
Mereka mengalami kesulitan ditiap sudut kehidupan rantaunya. Seperti rumah kontrakan yang kelewat sempit dan kumuh jauh lebih baik rumah mereka yang reot di desa, mereka pusing memikirkan barang dagangan yang tak habis, pusing memikirkan jatah makan yang harus dibeli dengan harga kelewat mahal dibanding di desa yang tanpa uangpun mereka masih bisa makan dari ramban sayur di sawah atau kebun. Belum lagi rasa rindu keluarga bagi mereka yang kelewat melankolis. Namun meski kesulitan seakan menjerat dari tiap sisi hidupnya mereka pantang untuk kembali, sebelum berhasil.
Bagitu juga Antonio José Bolívar Proaño dalam novela Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, Luis Sepúlveda. Meski Dolores istrinya telah meninggal karena gagal menghadapi liarnya rimba raya di tempat barunya, Antonio pantang untuk kembali ke tempat muasalnya, sebab kembali dari perantauan adalah aib adalah kegagalan adalah cacian. Sehingga tidak ada pilihan lain selain tetap tinggal dan menghadapi keasingan dan maut yang tersembunyi dibaliknya.
Mereka para perantau pun agaknya demikian. Mereka yang bertahan dan menaklukan keasingan demi keasingan akan menjadi orang kuat sekaligus paling tahu akan tempat itu, sehingga satu dua orang desa yang hendak berkunjung ke kota itu sedikit banyak pasti akan meminta bantuan si perantau itu. Meski hanya sekedar tanya tempat. Antonio pun demikian, ia adalah satu-satunya orang yang mengetahui apa yang tersimpan di hutan, sehingga wajar si Siput Lendir meminta bantuan padanya untuk melintasi hutan dan menghabisi induk macan tutul, meski dalam hati si Siput Lendir berharap Antonio mati diganyang si macan tutul. Paling tidak seseorang akan menganggapmu lebih berpengalaman dibanding mereka yang tidak pernah merantau dan menjamah tempat-tempat baru di luar sana.[]
—Lamongan, Juli 2024
Ihwal Penulis
Fatah Anshori, lahir di Lamongan. Buku puisinya yang telah terbit Hujan yang Hendak Menyalakan Api (2018), Novelnya Melalui Mimpi, Ia Mencari Cinta yang Niscaya (Frase Pinggir, 2021) masuk dalam 20 besar Anugerah Sastra Nongkrong.co 2021. Cerpennya Mencari Marlin Lain yang Pernah Memakan Bunga terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018. Puisinya Mustafa Hanya Tinggal Nama terpilih dalam Nominasi Anugrah Sastra Litera.co 2021. Cerpennya Sepasang Wisatawan Tiba-tiba Tak Bernyawa Setelah Beramalam di Sebuah Desa dimuat Majalah Suluk (DKJT) 2020. Puisinya masuk dalam lima puisi terbaik Payakumbuh Poetry Festival 2022 & 2023. Diundang di Borobudur Writers & Cultural Festival 2023. Beberapa cerpen, puisi dan esainya telah dimuat beberapa media online. Sekarang bergiat di Guneman Sastra Songgolangit Creative Space dan KOSTELA.
Instagram: @fatahanshori // Facebook: Fatah Anshori
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post