
Terlebih dahulu sedikit penerangan dalam lembaran pendek ini, bahwa PUNKDIKBUD tidak bermaksud untuk menimbulkan perdebatan-kusir mengenai topik usang tentang asal-usul atau siapa yang mensterilkan punk ke dalam ranah budaya populer. Tetapi lebih kepada mengajak kawan-kawan yang tengah bertahan di jalanan dan di manapun untuk memeriksa kembali posisi/peran serta keberadaan punk dalam relasinya dengan masyarakat di sekelilingnya.
Dan juga mendiskusikan perihal konflik-klasik guna mempelajari kembali suatu kondisi di mana masih terjadi ketimpangan dan kesalahpahaman yang mungkin hingga menit ini masih saja menjadi acuan kerangka berpikir antara masyarakat dan punk.
Punkdikbud menyatakan sikap sepakat bahwa :
Keberadaan punk bukanlah untuk dikasihani, karena ia bukanlah pengemis.
Keberadaan punk juga bukanlah untuk ditakuti, karena ia bukanlah wujud dari kejahatan.
Jejak Langkah
Sebagai sub-budaya yang telah hadir dalam skena kehidupan sejak paruh akhir abad ke-20, maka keberadaannya sendiri merupakan bagian yang integral di dalam kehidupan masyarakat. Dunia memanggilnya dengan sebutan Punk
Sekiranya kita mundurkan waktu ke setengah abad yang lalu atau di sekitar akhir tahun 60-an, akan kita temukan bahwa para sesepuh punk melancarkan manuver awalnya pada dunia dalam medan permusikan.
Melalui praktik progresifnya yang telah mengubah struktur dalam gaya permusikan konvensional pada waktu itu, dengan menempelkan isu-isu ketimpangan sosial dan kegelisahan diri terhadap segala sesuatu di dalam jiwa semangat-nan-muda (quarter life crisis) pada lirik-liriknya. Akibat yang diciptakan adalah justru melahirkan warna baru yang lusuh dalam dunia permusikan. Namun sebelum menempuh pada rel-permusikan tersebut, punk terlebih dahulu lahir dari rahim- jalanan.
Entah dari siapa dan dari tempat mana punk-punx-pang itu muncul, tetapi pada hakikatnya ia adalah suatu ode atau persembahan untuk jiwa pembangkang di seluruh dunia. Seorang pembangkang yang belajar untuk menjadi dirinya sendiri, dan menentang sesuatu hal atas dasar kesadarannya yang kritis ketika dihadapkan dengan kepincangan kondisi sosial di sekelilingnya.
Punk yang selama ini berelasi di sekeliling masyarakat sedikitnya bisa dicermati dan dimaknai sebagai suatu sikap dalam kerangka berpikir, gaya hidup, karya (seni), dan yang bahkan juga telah diperkosa oleh korporat untuk berubah menjadi komoditas yang puncak-orgasmenya adalah menghasilkan nilai-lebih (uang) melalui arus komersial.
Bukankah komersial adalah jasa penghancur jiwa? Seperti yang telah lama diperangi oleh mereka yang mengimani Do It Yourself, dalam perlawanannya terhadap Do With Corporate.
“Yes that’s right,punk is dead It’s just another cheap product for the consumers’ head”
(CRASS-PUNK IS DEAD)
Sosial-Sosial & Fashion
Sekali lagi, punk adalah bagian dari sendi-sendi sosial yang menyatu bersama masyarakat kampung-kota-negara, persisnya kelas bawah yang tertindas. Kesadaran akan ketertindasan inilah yang mengantarkan punk untuk saling terhubung dalam tugas-tugas perjuangan kelas bawah seperti memperkuat jejaring solidaritas bersama kelas tertindas, hingga praktik-praktik lainnya dalam perlawanannya terhadap sistem yang merampas dan menindas rakyat dan alam.
Kita tahu, perampasan dan penindasan terjadi karena adanya sistem. Sistem busuk yang menghasilkan nanah dan darah, akan selalu dikemudikan di balik layar negara oleh kelompok yang bernama kerakusan, dengan wujudnya seperti bangkai yang hidup.
Di dalam jiwa dan akal bangkai hidup yang rakus ini, sudah tidak lagi la mengenal kalimat bahwa “tugas mendasar manusia adalah saling memanusiakan manusia”.
Apakah Masih Relevan Untuk Merayakan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab atau Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat?
Kesadaran bahwa segala yang melekat di tubuh seorang punk yang tampak angker dan menakutkan bagi masyarakat umum, tentu tidak bertujuan agar ditakuti (toh kita bukan setan), melainkan atas dasar sebuah ekspresi kebebasan. Meskipun ada banyak pengertian atau makna-makna di balik pakaian punk, secara genealogis kadang dimaknai berbeda-beda di setiap generasi dan tempat, namun ia lebih pada merupakan bentuk dari manifestasi kebebasan serta kritik sosial.
Apakah masyarakat umum yang kerap memandang punk melalui sebelah mata menyadari, bawah keberadaan punk yang berpenampilan lusuh itu justru dapat memantik sebuah pertanyaan sengit bagi kita semua, apakah roda demokrasi berjalan seimbang di atas rel-negara? Karena itu seperti pada jenis rambut, jaket, celana yang lusuh, emblem, rantai, tindik, tato, bot dan lain sebaginya, tentu. mengandung nilai dan tujuan. Bukannya dilihat, dimaknai dan dikenakan hanya sebagai suatu ajang konsumtif dan fashion show belaka.
“Punk narcissism was a social napalm”
(CRASS-PUNK IS DEAD)
Pada akhirnya, nilai-nilai yang melekat pada pakaian punk telah menjadi sebuah senjata. Maka, simbol dan kata adalah peluru bagi kita, jika semua itu dikenakan atas dasar kesadaran kelas dan perlawanan. Barangkali ada baiknya untuk menyadari nilai-nilai ini, jika tidak ingin (punk) dipandang dan diwartakan oleh masyarakat dengan sebelah mata.
“Can you prove that you exist to apopulation who insist you’re just a bunch of fakes?”
(SUBHUMANS-WORK-REST-PLAY-DIE)
Hiii Punk
Bukankah punk adalah suatu proses pembelajaran untuk menjadi diri sendiri dan mempertajam kesadaran berpikir untuk tumbuh dan bertindak, dalam perjuangan melawan sistem yang telah lama rusak dan uzur ini, kapitalisme! Sistem dan mesin kapitalisme ini telah dikutuk sejak tahun kelahirannya, dan ditugaskan oleh jiwa keserakahan untuk terus memproduksi dan mengakumulasi kepincangan ekonomi-sosial-politik di planet bumi, sehingga menyisakan gelanggang pertarungan kelas. Mereka yang menindas dan mereka yang tertindas.
Karena itu, perjuangan panjang bersama kelas tertindas untuk menentang dan melawan sistem yang paling amis kezalimannya ini, telah lama dan akan selalu ditunaikan oleh mereka yang terpanggil; menunaikan turun aksi ke jalan dalam berdemonstrasi menentang kebijakan sistem negara yang dinilai pincang-keadilannya, mengadakan dapur rakyat untuk membagikan makanan/pakaian secara gratis kepada masyarakat sebagai bentuk protes, berkeliaran di jalanan untuk menyebarkan buku-buku ilmu pengetahuan kepada mereka yang mungkin tak dapat sekolah karena akses dan biaya yang mahal, hingga membangun rumah kolektif sebagai tempat untuk menciptakan iklim yang mandiri seperti menerapkan sekolah pendidikan alternatif dan memproduksi bermacam-macam barang/karya yang dapat menjadi alat untuk berkomunikasi dengan masyarakat, yang ke semua itu ditunaikan atas dasar cita-cita untuk menciptakan perubahan yang baik dan progresif dalam kehidupan melalui semangat dari rakyat untuk rakyat.
Hai punk! jangan menyerah. Dengar kata perubahan. Hai punk! jangan bercinta. Dan main band saja. (SOSIAL SOSIAL-HI PUNK)
Membentuk dan mempersenjatai kesadaran lewat praktik-praktik dalam merespon kondisi-kondisi sosial yang mengancam nyawa rakyat kelas bawah, apapun jenis kategori skenanya atau sekecil apapun bentuknya adalah langkah pertama perlawanan. Ketika api perlawanan kelas tertindas absen dari kesadaran hingga dibiarkan menjadi padam, maka serangan dari sistem gurita yang rakus ini akan terus berjalan di atas rel-eksploitasinya, selama kemudi negara masih berada di tangan kanan kelas penguasa yang haus akan penghisapan ALAM & MANUSIA.
“You cannot change the system until you change your own restrictions”
(SUBHUMANS-WORK-REST-PLAY-DIE)
Penulis, Wallcracks yang terdaftar sebagai warga sipil distopia di tanah Indoceania, Bukittinggi RT 0 RW 0. Alhamdulilah Alhamdulillah Alhamdulillah, semenjak 2014/2015 hingga sekarang masih bisa bernafas, berkomunikasi bersama kawan dan lawan yang saya hormati secara luring/daring, mengunyah sala lauk, minum kopi lapau, singkatnya bertahan hidup seperti binatang lainnya. Sisanya berkeliaran dalam isu-isu “adil sejak keluar rumah dan alam akal”. Akhirul Kalam, FTP
- Menimbang Minangrantau | Muhammad Nasir - 9 Maret 2025
- Esai – Punkdikbud | Wallcracks - 9 Maret 2025
- Esai – Tenang, Senang, dan Menang | Reo Chandrika - 8 Maret 2025
Discussion about this post