
Penangkapan empat mahasiswa Indonesia di Belanda pada tahun 1927 menjadi peristiwa yang menghebohkan publik Belanda, tidak hanya di kalangan pemerintah kolonial tetapi juga di kalangan masyarakat dan pers. Berbagai rumor berkembang, mulai dari dugaan penyelundupan candu hingga kepemilikan senjata ilegal. Keempat mahasiswa yang ditahan adalah Mohammad Hatta, Nazir St. Pamuntjak, Abdulmadjid Djojoadiningrat, dan Ali Sastroamidjojo, yang saat itu tengah menempuh pendidikan di Belanda pada usia sekitar 20 tahun.
Ali Sastroamidjojo kemudian mendokumentasikan kejadian ini secara rinci dalam bukunya “Empat Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda Tahun 1927”. Buku tersebut menjelaskan secara sistematis penyebab penahanan, proses penggeledahan dan penangkapan, jalannya sidang pengadilan, serta dampak politik dan sosialnya, baik di Belanda maupun di Indonesia.
Peristiwa ini bermula pada 10 Juli 1927, ketika rumah Ali Sastroamidjojo di Wasstraat No. 1, Leiden, digerebek oleh kepolisian Belanda sekitar pukul 10 pagi. Tanpa izin atau peringatan, polisi mendobrak pintu rumah dan mengacungkan senjata kepada para mahasiswa yang berada di dalamnya. Rumah tersebut dihuni oleh tujuh mahasiswa Indonesia, termasuk Ali Sastroamidjojo beserta istri dan anaknya. Penggerebekan serupa juga dilakukan di beberapa rumah mahasiswa Indonesia lainnya, khususnya di Den Haag.
Meskipun alasan penggeledahan tidak segera diungkapkan secara resmi, kemudian diketahui bahwa tindakan ini dilakukan dalam upaya mencari dokumen kesepakatan antara Mohammad Hatta dan Semaun, seorang tokoh komunis Indonesia yang pernah bertemu Hatta di Den Haag. Perjanjian tersebut mencerminkan kesediaan Semaun dan gerakan komunis Indonesia untuk mendukung perjuangan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang saat itu diketuai oleh Hatta.
Dokumen kesepakatan ini hanya dipegang oleh dua orang, yakni Semaun dan Hatta sendiri. Mengingat signifikansinya, Hatta tentu tidak menyimpannya di tempat yang mudah ditemukan, seperti di kediamannya. Akibatnya, meskipun kepolisian tidak menemukan dokumen tersebut, mereka tetap menahan empat mahasiswa Indonesia dengan tuduhan memiliki keterkaitan dengan gerakan komunis.
Pada 23 September 1927, keempat mahasiswa itu resmi ditahan. Mohammad Hatta ditempatkan di sel nomor 1, Nazir St. Pamuntjak di sel nomor 7, Abdulmadjid Djojoadiningrat di sel nomor 55, dan Ali Sastroamidjojo di sel nomor 14. Karena sel mereka berjauhan, komunikasi di antara mereka menjadi sulit.
Yang menarik dari pengalaman penahanan ini adalah bagaimana Ali Sastroamidjojo lebih mengkhawatirkan kelangsungan studinya daripada kondisi di dalam penjara. Pada saat penangkapannya, ia telah menerima surat panggilan untuk mengikuti ujian akhir di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Jika ia tidak dapat mengikuti ujian tersebut, bertahun-tahun perjuangannya dalam menempuh pendidikan di Belanda akan sia-sia, terlebih tabungannya sudah hampir habis.
Keberuntungan berpihak kepadanya ketika dua pengacara, JEW Duys dan Tj. Mobach, menawarkan bantuan hukum secara cuma-cuma. Duys, yang merupakan anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis Demokrat (SDAP), dikenal sebagai seorang kritikus tajam terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Awalnya, Ali Sastroamidjojo merasa curiga terhadap motif bantuan tersebut, tetapi karena teman-temannya telah lebih dulu menerimanya, ia akhirnya menyetujui pendampingan hukum tersebut.
Salah satu permintaan pertama yang diajukan Ali kepada Duys bukanlah kebebasannya, tetapi izin untuk mengikuti ujian akhirnya. Berkat lobi hukum yang kuat, pihak keamanan akhirnya mengizinkan Ali Sastroamidjojo menghadiri ujian dengan pengawalan ketat. Universitas pun menyesuaikan jadwal ujian dengan memajukannya guna menghindari aksi solidaritas mahasiswa Indonesia yang telah berencana menyambutnya di depan gedung fakultas.
Saat ujian berlangsung, kehadiran dua polisi bersenjata di ruang ujian menambah ketegangan. Biasanya, ujian di Leiden terbuka bagi mahasiswa lain, tetapi kali ini, ujian dilakukan secara tertutup. Meskipun demikian, para penguji tetap menjalankan proses akademis dengan objektif. Ali Sastroamidjojo mengakui bahwa ujian berlangsung selama dua jam dengan pertanyaan-pertanyaan yang sepenuhnya berbasis akademik, tanpa bias terhadap statusnya sebagai tahanan politik. Ia bahkan sampai lupa bahwa di belakangnya ada dua polisi yang terus mengawasinya. Akhirnya, ia dinyatakan lulus dan memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum), sebuah pencapaian yang memberinya ketenangan sebelum kembali berhadapan dengan kasus hukumnya.
Keempat mahasiswa ini dihadapkan pada tuduhan sebagai “antek komunis” akibat perjanjian antara Hatta dan Semaun. Pemerintah kolonial Belanda sangat represif terhadap gerakan komunis sejak pemberontakan komunis di Jawa dan Sumatra pada tahun 1926-1927, meskipun pemberontakan ini sebagian besar mengalami kegagalan. Dampaknya adalah penangkapan dan pembuangan banyak aktivis pergerakan ke Digul, Papua, dan wilayah terpencil lainnya.
Namun, penangkapan ini tidak menyurutkan semangat mahasiswa Indonesia di Belanda. Perhimpunan Indonesia, yang menjadi cikal bakal Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), terus menyuarakan perjuangan kemerdekaan melalui berbagai media, salah satunya majalah Indonesia Merdeka yang diterbitkan dalam bahasa Belanda di Den Haag. Strategi ini memungkinkan kritik terhadap kolonialisme Belanda menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk masyarakat di Indonesia.
Secara internasional, Perhimpunan Indonesia aktif dalam berbagai forum anti-kolonialisme, termasuk Kongres Internasional Demokratis untuk Perdamaian di Bierville, dekat Paris, pada Agustus 1926, di mana Bung Hatta memperkenalkan gagasan kemerdekaan Indonesia kepada dunia internasional. Forum ini menjadi arena bagi Hatta untuk mengkritik narasi Belanda yang menggambarkan diri sebagai administrasi kolonial terbaik (the best colonial administration), yang diklaim membawa kemakmuran dan keadilan bagi Indonesia.
Keaktifan mahasiswa Indonesia dalam forum internasional semakin membuat pemerintah kolonial khawatir. Pada Agustus 1927, Perhimpunan Indonesia juga menghadiri pertemuan Liga Anti-Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Brussel, yang mempertemukan tokoh-tokoh gerakan anti-kolonial dari berbagai negara, termasuk Nehru dari India dan perwakilan dari Cina, Inggris, Jerman, serta Amerika Latin.
Pemerintah Belanda berupaya mengaitkan aktivitas mahasiswa Indonesia dengan komunisme, tetapi tuduhan ini melemah ketika Moskow sendiri mengecam Semaun karena mendukung kerja sama dengan kelompok nasionalis. Bahkan, Komintern (Komunis Internasional) secara resmi memecat Semaun dari kepemimpinannya.
Pada persidangan di Arrondissements Rechtbank di Den Haag, jaksa menuntut hukuman tiga tahun penjara bagi Hatta, 2,5 tahun bagi Nazir, serta dua tahun bagi Ali dan Abdulmadjid. Namun, Duys sebagai pembela berhasil membongkar kelemahan tuduhan tersebut, memperkuat argumentasi bahwa Perhimpunan Indonesia adalah gerakan nasionalis, bukan komunis.
Hatta menyampaikan pledoi berjudul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka), yang berlangsung selama tiga jam, diakhiri dengan kutipan puisi Rene de Clercq, seorang penulis kelahiran 14 Nov 1877 Deerlijk, Belgia mengenai perjuangan yang berbunyi: “Hanya ada satu negeri yang bisa menjadi tanah airku. Yaitu negeri yang berkembang karena perbutan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku.”
Setelah dua jam bermusyawarah, majelis hakim yang dipimpin oleh Cost Budde kembali membuka sidang. Dalam putusannya, hakim mengabulkan permohonan Duys dan memerintahkan kejaksaan untuk segera membebaskan keempat mahasiswa tersebut.
Kita dapat mengambil kesimpulan, bahwasanya peristiwa penangkapan empat mahasiswa Indonesia di Belanda pada tahun 1927 merupakan titik krusial dalam sejarah gerakan nasionalisme Indonesia di kancah internasional. Tuduhan keterlibatan dengan komunisme, yang dijadikan dasar penahanan, terbukti tidak memiliki legitimasi hukum, sebagaimana dikuatkan oleh pembelaan hukum yang rasional dan argumen akademik yang diajukan. Perjuangan intelektual yang ditempuh Mohammad Hatta dan kawan-kawan menunjukkan bahwa wacana kemerdekaan Indonesia tidak hanya bertumpu pada perjuangan fisik, tetapi juga pada diplomasi, hukum, dan intelektualitas. Kemenangan ini sekaligus memberitahu rakyat Indonesia bahwa kolonialisme dapat dilawan dengan kekuatan argumentasi dan solidaritas internasional yang berbasis keadilan dan kebebasan.
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Mi
- Menimbang Minangrantau | Muhammad Nasir - 9 Maret 2025
- Esai – Punkdikbud | Wallcracks - 9 Maret 2025
- Esai – Tenang, Senang, dan Menang | Reo Chandrika - 8 Maret 2025
Discussion about this post