Sebuah Rangkuman Suka Cita Proses Film Pendek Produksi Marewai’N Co
Proses kreatif di dalam kerja-kerja komunitas sangat beragam. Ada yang berproses beribu-ribu tahun sampai bertungkus lumut, ada pula yang hanya hitungan bulan. Komunitas tumbuh sebagaimana hari-hari; ia akan selalu ada meski cuaca buruk sekalipun. Proses kreatif tak sama dengan kerja kolektif, proses kreatif lebih dari kerja-kerja nyata, ia hadir jauh lebih dalam dari yang nampak. Sedang kerja kolektif hanya sebuah simbol, bahwa proses kreatif ada. Tentu saja tak semua proses kreatif dieksekusi dengan cara kerja kolektif. Ada banyak alternatif, salah satunya kerja-kerja secara komunal yang melibatkan satu pemikiran. Paling tidak untuk saat itu.
Berbeda dengan kerja kolektif, proses kreatif agaknya lebih jauh menyentuh personal masing-masing. Misalnya dalam sebuah garapan agenda, secara kolektif, sudah jelas orang-orang dalam garapan itu sejalan. Namun secara proses kreatif tentu sangat berbeda. Tapi, kerja semacam itu bisa saja dilakukan berulang-ulang. Walau pada akhirnya menemukan keterbatasan. Meski begitu, kita perlu memisahkannya satu-satu, antara kerja kolektif dan proses kreatif. Dua hal ini tentu punya kesamaan, yakni persoalan finansial. Sebagaimana kerja kolektif yang selalu identik dengan kolaborasi, dan proses kreatif identik dengan perjalanan.
Lebih dari itu, agaknya dua hal tersebut kerap menjadi batu sandungan. Dibeberapa kejadian, proses kreatif dan kerja kolektif nampaknya sulit dipadu padankan menjadi satu konten konsistensi. Pada akhirnya dua bagian itu bakal bersebrangan secara gagasan dan alur. Tapi, tentu saja bisa.
Lima tahun belakangan saya terbilang rutin menghadiri diskusi dua hal di atas tadi; kerja kolektif dan proses kreatif. Paling tidak dalam skala kecil. Saya meraba-raba dan menyimak-nyimak para pegiat yang begitu total dalam bidangnya. Mulai dari pegiat bertungkus lumut, sampai pegiat simsalabin. Ini agaknya terjadi di bidang lainnya juga. Tentu saja halhal serupa perlu dituliskan, dialihkan sebagai bahan bacaan yang seimbang, bukan semata berita semata, atau sekilas info. Sudah sangat sulit rasanya menemukan ulasan terkait kerja-kerja kreatif dan kolektif dan permasalahan itu kadang menjadi kegamangan pula. Orang-orang punya cara sendiri untuk menunjukkan apresiasinya, misalnya dengan cara mengulas dan mengkritik hasil kerja kreatif seseorang, hingga menghasilkan sebuah renungan atau katakanlah rangkuman yang tak nampak oleh pelaku itu sendiri. Tapi masalahnya adalah, orang yang hadir sebagai pembeda itu tak jarang juga malah dijadikan rival, sehingga yang mencuat hanya sentimen. Seolah ulasan yang disertai kritikan itu ditanggapi sebagai sebuah serangan dari ketidaksukaan. Begitu juga sebaliknya, si pembuat ulasan kadang kerap kalap pula ia sedang melakukan kerja kreatif dalam upaya apresiasi. Baik itu tulisan ataupun karya lainnya.
Tapi yasudahlah, ya. Tetekbengek itu akan selalu ada sampai kapanpun. Sebagaimana proses kreatif dan kerja kolektif adalah sebuah perjalanan, mereka tetap jadi dua proses yang berbeda dan punya tujuan masing-masing. Meminjam kata seorang bijak dari negeri paling beradat, “kita tidak akan bisa bekerja bersama, karena kita harimau. Tapi, paling tidak untuk sesuatu yang baik, kita bisa menjadi segerombolan singa.” Waw.
Diberbagai kegiatan bertemakan kebudayaan, hal ini sering disinggung. Antara keterbatasan finansial pengurus, pembagian anggaran, buta map peraturan, dan lainnya yang sekiranya sudah tidak rahasia lagi. Di ruang-ruang ber-ac yang dipenuhi aroma kebudayaan, otak peserta sudah digerogoti hal-hal yang sifatnya ketidakpastian. Bagi yang sudah paham peta, jelas ini hanya hiburan semata. Bagi mereka yang baru mulai membaca peta, ini adalah sesuatu harapan. Bahkan, ada yang bela-belain datang dari negri jauh untuk mendengar para pegiat kebudayaan bicara, pembicara yang sporadis, patriot dan sarat dengan istilah-istilah ilmiah alakadar bin mubasir secara bahasa. Padahal kebudayaan tak melulu soal lestari-lestari karena ia sudah ada sejak lama, dan tidak akan pernah sanggup untuk dilestarikan. Meski embel-embel ambang kepunahan santer terdengar. Lagu lama itu.
Kebudayaan yang nampak saat ini hanyalah adu dialetika, tanpa tau penempatan estetikanya. Kebudayaan dipadu padankan menjadi asumsi pribadi. Sentimen dijaga dari kelompok ke kelompok menimbulkan sensitivitas yang kebablasan, “kalau tak sama, berarti berbeda”. Oke.
Setelah bertele-tele sejak awal paragraf tulisan ini, penulis malah bingung mau menyampaikan apa pada tulisan ini. Sebagaimana iklim berkesenian dan berkebudayaan Sumatra Barat yang sedang bagus-bagusnya, festival di mana-mana, karya-karya bermunculan bagai doa terjabah. Tak dapat diakal, pegiat-pegiat kreatif saling bersinergi, kekompakan dengan seni gotongroyong antar komunal. Tidak seperti yang sudah-sudah, “rumah siap palu berbunyi”. Ini waktunya kita satukan semangat, sudah saatnya kita berbagi, kolaborasi antar lini dan menyumbangkan semangat serta gagasan-gagasan yang kelak akan kita pakai. Meski tak dibawa ke dalam gelanggang, paling tidak kita bisa menonton: mana yang kalah angkat, mana yang dapat nama. Mantap.
Iklim demikian juga dimanfaatkan oleh komunitas kecil, mulai dari komunitas gabut yang kerjanya hanya senda gurau-bersuka cita dari kafe ke kafe, sampai komunitas serius mengubak sejarah alam semesta. Tentu ini sangat bagus. Sama halnya dengan Komunitas Serikat Budaya Marewai, tempat tulisan ini tayang dan penulisnya redaksi marewai.com. Salah satu media alternatif, media mainstream bukan, anti mainstream juga bukan. Media yang dibuat sedemikian rupa, diperhitungkan sampai usali ini sudah sanggup pula produksi film fiksi. Setelah dua film dokumenter sebelumnya yang kriteria berhasilnya adalah diulas oleh redaksi marewai.com, kali ini mereka membuat film pendek. Film fiksi yang ditulis dan disutradarai langsung oleh Rori Maidi Rusji. Seorang teaterawan merangkap penyair yang memiliki pemikiran visioner tentang daya upaya meminimalisir penggabungan antara kerja kolektif dan proses kreatif. Ia punya formula yang beragam agaknya, menghasilkan banyak gagasan dan ide-ide cemerlang. Bak gayung bersambut, Badrilhs selaku Director of Photography merangkap segala bisa dalam persiapan film terbaru ini nampaknya kerap mendapatkan mukjizat dari kejeniusan kawan-kawannya. Keniscayaan itu tentu saja datang dari akal kelewatan seorang astrada sekaligus talimen, Harry Kurniawan. Kenisbian itu nampaknya hanya dapat ditangkap oleh mereka-mereka yang ideologinya 3T semacam Uyung Hamdani dan Rori Maidi Rusji. Dua pilar yang buah pikirannya mengalahkan kecepatan waktu, bahkan pergantian hari tak sanggup melewatinya.
Sebagaimana gerombolan orang-orang culas dan suka leha leha, Zera Permana hadir sebagai hitam pekat yang mampu menetralisir macam warna itu. Kadang nampak jadi abu-abu, kadang samar-samar. Ia seolah menjelma jadi ahli benteng yang membatasi antara patut dan tidak. Sebagai kelompok yang punya gagasan mungil, bahkan tak terdengar kalau disebutkan pakai toa, Komunitas Serikat Budaya Marewai layaknya dinasti yang mempunyai seorang ahli nujum, Risnandar Tjia. Segala tafsir sudah khatam olehnya, sehingga keberhasilan film ini jelas sudah dikantongi; ia keras, tapi tak bisa dipatahkan, ia lunak tapi tak bisa dileburkan. Waw.
Untuk melengkapi film pendek itu, sebagai suatu kesatuan yang lengkap, tak lupa juga harus ada romeo dan juliet. Maka Chalvin Pratama Putra adalah solusi tepat, penyair plus ahli pangkas ini akan memerankan debut pertamanya sebagai seseorang yang bahkan tak perlu dilatih soal mimik wajah. Ia sudah begitu adanya. Bahkan tanpa ada arahan, ia menangkap semua adegan seperti kehidupan nyata; intimidatif dan bringas. Untuk mengalihkan kisah romantisme sang romeo, kehadiran dua juliet; Arda dan Anjali Sabna adalah jalan satu-satunya. Supaya terpecah trik-trik yang bakal ia luncurkan kepada juliet yang bahkan bicara soal cinta saja masih gamang.
Dilucuti dengan segenggam buah tangan, Rizki Aprima, Budi Irwandi dan Hanif Ega membawa solusi berbeda. Ia datang bak ahli perang dalam segala medan, segalanya boleh berubah kapan saja, mereka telaten layaknya talenta yang sudah dititipkan sejak dalam rahim. Terus ke pangkal, Riska Aroka hadir, membawa beragam bunga-bunga, membawa selasih yang sewaktu-waktu berguna untuk rombongan culas tadi bila-bila pening mendekam; ia sederhana dan ceria. Fajri yang muda belia merangkum catatan semua itu sebagai kematian yang tragis dan ironis. Sedang saya, sebagaimana remah-remah di tengah hingarbingar pesta. Kadang jadi buih di tengah lautan, kadang hanya suara dari gema bebukitan. Begitulah barangkali yang lainnya, tak nampak, tapi doa-doanya sampai: tiada kemurungan sehabisnya.
Tulisan ini hanyalah cara lain dalam mencatat proses, lebih lanjutnya sebagai promosi film pendek berjudul “SIA?” Produksi Marewai’N Co. Melibatkan banyak lini, dari yang nampak sampai tidak nampak. Sebuah upaya alternatif dari kawan-kawan Komunitas Serikat Budaya Marewai menghasilkan karya. Tak berlebihan memang, hanya upaya saja dan meneruskan yang sudah-sudah. Siapa saja boleh membicarakannya. Dibuat dengan suka cita, dibantu tangan-tangan teman yang seperti disebutkan tadi, tak nampak, tapi doanya mujarab. Aih.
- Ketuklah Pintu Itu, 2025, Kami Menunggu dan Siap Melanjutkan - 1 Januari 2025
- Tim Kenal Adat: Progress Awal dalam Mengimplementasikan Project Sociopreneurship Innovillage 2024 di Perkampungan Adat Sijunjung - 14 Desember 2024
- Cakap Pilem: Vedaa, 2024 | Kasta Dalit dan Potret Kehidupan Nyata Perempuan India – Arif P. Putra - 7 November 2024
Discussion about this post