“Nak, yang terpuncak dari hidup adalah kebahagiaan.” Kata ayahnya, sambil duduk di beranda, ditemani dua cangkir kopi, berduaan.
“Tapi Ayah, mengapa kebanyakan orang begitu rakus, bila mereka berkeinginan, Yah?”
“Itulah sebabnya, Nak. Ayah memberitahumu, bahwa puncak dari kehidupan tidak lain adalah semata-mata untuk bahagia.”
Ketika mereka berbincang, terlihat dua ekor kucing sedang berebut ikan asin satu sama lain.
“Tapi mengapa, mereka mengambil kebahagiaan orang hanya demi untuk bahagia dirinya.” Tanya Niko kepada ayahnya.
“Yang kamu sebutkan, bukanlah kebahagiaan, Nak. Itu adalah kesenangan semata, yang diperolehnya dikemudian hari bukanlah kebahagiaan sejati, justru mereka akan terperosok dalam ilusi bahagia. Dan mereka sebetulnya salah jalan, dalam mengambil tindak untuk kebahagiaan.”
“Namun, apakah tujuan hidup jugalah untuk kebahagiaan?”
“Niko, semakin hari ayah berbincang denganmu, kian hari nian skeptis dirimu. Tapi Ayah bangga padamu. Ayah mau bersiap-siap, hari ini ada acara. Mungkin engkau bisa temukan jawabannya hari ini juga.”
Ayahnya beranjak dan masuk ke rumah, untuk kemudian pergi. Niko masih terbengong sebab perkataan ayahnya. Entah ia kebingungan, ataukah ia putus asa sebab ayahnya tak menjawab, hanya Niko yang tahu.
Hari itu juga. Niko, dengan satu temannya, Alan, mengayuh sepeda pada saat pagi bercahaya berselimut embun tiba. Dan pagi itu, mereka menuju tempat yang entah. Sebab bagi mereka, bersepeda di pagi hari menyenangkan, dan memiliki efek yang sehat bagi tubuh. Ada orang yang melambaikan tangan balik kepada Niko, ketika Niko sebelumnya melambaikan tangannya. Mereka sedang tidak balapan, dan karenanya dengan tabah, santai, dan hati-hati mereka menyusur sepanjang jalan berliku. Inilah salah satu wujud dari kebahagiaan, pikir Niko sambil terus saja mengayuh.
Berhenti mereka mengayuh. Sampailah mereka pada sebuah pasar tradisional, yang di setiap paginya ketika ayam berkokok, pun pasar tersebut telah ramai pedagang. Seorang nenek tua menggendong sebuah karung sarat sayur di punggungnya, melintas di depan mereka. Niko, memandanginya cermat, dan berkesimpulan; apakah ini hanya demi kebahagiaan, pikirnya. Orang-orang lalu-lalang di pasar itu. Ada yang berbicara sambil tertawa, ngopi di sudut kios, sendirian. Dan pada pedagang ada yang berbisik satu sama lain sambil melirik pedagang yang di seberangnya. Dalam pikiran Niko dari keseluruhan pasar hanyalah tentang kebahagiaan. Ia tak terbesit sedikit pun, akan membeli atau sekadar tawar-menawar.
“Al, lihat!” Niko katakan pada Alan waktu lima ekor burung gagak terbang sayup-sayup di atas pasar yang berkerumun itu, membentuk lingkaran, seperti lingkaran kecil ketika dulu di sekolah SD diajarkan oleh guru penjaskes.
“Al, rasanya aku tak tahan berlama-lama di sini, ayo kita pergi.” Niko mengajak.
“Tunggulah sebentar, Nik. Aku ingin mencari sesuatu di sini.”
Percakapan mereka belum usai, dan gemertak salah seorang dari pedagang, kiosnya agak di ujung, berteriak “Maliiing!!!”
“Maling, kau!” tuduh seorang pembeli kepada pemuda.
Pemuda itu angkat tangan. “Bukan aku, aku orang baik.” Jawabnya
“Maling? Mana?” Tanya seorang yang kebingungan.
“Itu!!!”
“Kejar!”
“Tangkap! Binasakan!” kata orang-orang, serentak.
“Saya bukannya tidak bermoral. Tapi saya ini miskin papa. Selama ini saya tidak mampu hidup tanpa mencuri, sebab latar belakang ekonomi saya tak mencukupi.” Jawabnya
“Hajar saja! Itu alasan kuno bagi para pencuri! Hajar!” Beberapa orang mencoba memberontak dan beberapa lainnya menahannya dan pencuri itu mencoba melindungi dirinya dengan segenap kemampuan.
“Hah? Maling, ada maling!” Gadis-gadis di pasar itu panik kebingungan.
Hanya beberapa detik berselang, sirine pasar berbunyi, tanda akan sebuah musibah. Pasar yang tenang, tenteram menjadi kacau-balau seketika. Seorang pencuri memang pintar membuat kekacauan. Niko dan Alan ikut mengejar pencuri, mereka berdua tenggelam dalam kerumunan orang yang berlarian. Mengapa masih ada pencuri ketika semua orang yang diinginkannya hanyalah kebahagiaan, gumam Niko sambil tergesa-gesa berlari, dalam lubuk hati yang paling dalam.
Akhirnya pencuri itu tertangkap jua, sebab jarang-jarang pencuri akan tertangkap, basah. Pencuri itu kembali ke pasar, tepatnya di pos pasar dengan basah berlumur darah, di kepala dan wajah.
“Pencuri yang berengsek! Apa yang kamu lakukan niscaya melanggar hak dan hukum dalam bermoral. Lalu, mengapa kamu mencuri?” Tanya seseorang di antara kerumunan. Niko dan Alan dan yang lainnya masih terengah-engah kelelahan. Dan mereka menyaksikan keberlangsungan interogasi.
Niko sempat berpikir apakah dengan mencuri termasuk juga mencari kebahagiaan, menurutnya.
“Dunia ini luas, Bung! Kamu bisa mencari rejeki dengan segala cara, tanpa melanggar tata susila, engkau pun sebetulnya bisa. Aku tidak bisa mengadili semua ini di sini,” kata seseorang yang menginterogasinya “Mari kita bawakan saja pencuri ini ke polisi terdekat.” Lanjutnya.
“Tunggu! Aku mau mengajarnya, demi kesejahteraan masyarakat, aku ingin menghajarnya!” Teriak seorang korban, yang dagangannya dicuri, sambil mencoba menerobos orang di depannya. Namun mereka tetap menghalanginya, demi pengadilan dengan cara yang sebaik-baiknya.
Niko dan Alan memilih mundur, bagi mereka urusannya sudah selesai. Dan bagi mereka, membantu dalam pengejaran kiranya telah cukup. Kemudian tampak langit biru cerah seperti biasanya, pasar mulai kembali normal, kekacauan mulai ditelan tenteram. Orang-orang yang berkerumun, menyebar dan melakukan kegiatannya masing-masing.
Mereka kembali mengambil dan mengayuh sepeda. Niko, sambil bersepeda dicobanya merenungkan kejadian sebelumnya. Ia melamun dan menyimpulkan bahwa menurutnya, “kebahagiaan puncak yang dimaksudkan ayahnya, adalah kebahagiaan yang dicapai dengan melakukan kebajikan dan kebaikan. Sebab cara untuk berbahagia adalah berbuat baik. Tanpa berbuat baik, kebahagiaan sejati takkan pernah bisa diraih.” Katanya kepada dirinya sendiri.
“Nik, awas! ” Alan menepuk pundak Niko yang hampir tercebur dalam selokan. Niko pun terkejut dan berterima kasih sebab ia tak jatuh berkat sahabatnya. Mereka berdua menyusur sepanjang jalan bersama sepeda, angin dan dalam benak mereka terasa bahagia. Lantaran mereka mendapat kebenaran yang pada akhirnya bisa mereka percayai. Dan mereka berdua masih melanjutkan perjalanan. Menuju apa yang mereka ingin tuju.
Yogyakarta, 30 Maret 2021
Topik Ismanto, lahir di Magelang 5 Februari. Sedang menempuh pendidikan di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Bergiat di Jogja dengan para Seniman dan Penulis.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post