Udara panas mengerubungi tubuh Nini hingga basah. Kelopak mata kecilnya terbuka, memperlihatkan mata sipit sebening bola kristal yang mengedarkan pandangan ke sekitar. Dilihatnya punggung orang dewasa di sebelah kirinya. Tubuh seperti gitar biola itu membelakanginya. Nini tidak tahu kenapa orang itu tak membangunkannya, karena hari sudah mulai gelap. Terlihat jam dinding mengarah pukul lima. Meskipun Nini belum mengerti bagaimana jam bekerja, dia tahu tidur siangnya sudah melampaui batas.
“Mama…,” ucapnya lirih.
Kata itu adalah salah satu dari lima kata setelah Mimi, Mamam, Bobo, dan Pup yang diketahui Nini selama empat tahun. Selebihnya, orang dewasa yang kerap dia panggil Mama belum mengajari lebih banyak kata lagi. Tidak tahu kenapa selama empat tahun Mama tak ingin mengajarinya lagi. Padahal dia begitu senang menghapal kosa kata baru setiap harinya. Dia selalu tidak sabar diajarkan kata baru dengan gerakan tubuhnya yang berjingkrak-jingkrak tatkala Mama menunjuk poster huruf abjad padanya.
Satu-satunya suara yang ada di sekitar ruang kamar hanyalah kipas angin listrik yang menempel di dinding. Nini tidak tahu cara mematikannya dan tidak ingin mematikannya karena masih kegerahan. Ditatapnya jendela kamar yang tingginya dua kali lipat dari tinggi badannya. Dia berharap bisa membuka jendela itu seperti Mama melakukannya. Supaya angin petang bisa masuk mendinginkan suhu kamarnya.
Tangan kecil Nini mengelus punggung Mama. Berusaha membangunkannya untuk segera memandikan tubuhnya yang sedikit berkeringat. Nini tidak tahan panas. Meski rambut hitamnya dipotong pendek tadi pagi oleh Mama, Nini tetap kegerahan. Sesekali dia usap dahinya yang berkeringat, lalu ke bagian matanya, lalu ke mulutnya, lalu ke lehernya. Nini bangun dari posisi tidur. Suara lantunan orang dari toa masjid mulai terdengar. Biasanya Nini sudah mandi, lalu dipakaikan baju bersih dan wangi oleh Mama, sebelum akhirnya memakan buah-buahan seperti stroberi, pisang, melon, yang dipotong-potong kecil dan dimasukkan ke mangkuk khusus miliknya, sembari menonton serial kartun favoritnya. Tapi sekarang tidak.
Nini berjalan pelan menuju jendela yang hordengnya masih terbuka. Kakinya berjinjit, tangannya berusaha meraih hordeng yang panjangnya melebihi jendela, sehingga dia pikir akan mampu menutupnya. Ketika tangannya berhasil meraih hordeng di sisi kanan, dia berusaha menariknya ke tengah, tapi dia gagal. Tidak menyerah, dia tarik lagi dengan sekuat tenaga hingga akhirnya hordeng sisi kanan berhasil melebar hingga ke tengah. Nini tersenyum melihat aksinya berhasil. Lalu melanjutkan pada hordeng sisi kiri. Kakinya berjinjit supaya tangannya meraih hordeng satunya. Setelah berhasil mencengkram ujung hordeng, dia menarik seperti sebelumnya. Otot-otot wajahnya terlihat.
Matanya yang sipit semakin tertutup tatkala dia menarik sekuat tenaga. Ujung hordeng yang menyangkut di bagian atas putus. Menyisakan hordeng yang bergelantung jatuh ke lantai. Nini mulai takut kalau Mama tahu dan akan memarahinya. Kakinya berjalan mundur beberapa langkah. Melihat jendela yang hanya terutup setengah. Membuat Nini tidak hanya takut kepada Mama, melainkan hantu malam yang kerap mampir di mimpinya. Nini takut hantu yang biasa Mama tonton ketika ia terlelap tidur, atau ketika ia bermain boneka panda kesayangannya. Pikirannya selalu terbayang-bayang oleh sosok hantu setiap kali Mama baru selesai menonton.
Kepalanya menoleh pada punggung Mama. Lagi dan lagi, orang dewasa itu belum juga bangun. Nini mulai berjalan keluar kamar. Berharap pintu itu tak dikunci oleh Mama. Saat tangannya memegang dan menarik gagang pintu, itu langsung terbuka. Nini membukanya selebar mungkin. Dari posisinya, dia bisa melihat wajah Mama yang masih tertidur pulas dengan tangan kiri yang menggantung di pinggir kasur. Nini berlari kecil menuju kamar mandi. Tidak tahan ingin mencelupkan kepalanya ke dalam ember seperti Mama melakukannya. Dia membuka pintu kamar mandi seperti membuka pintu sebelumnya. Berhasil. Udara lembab menyelimutinya. Raut wajahnya kesenangan tatkala matanya melihat ember putih kesukaannya.
Pada awalnya, Nini selalu ketakutan, menggigil, menangis, lalu berteriak kala Mama mencelupkan kepalanya ke dalam ember bersisi air penuh. Tetapi lama-lama Nini terbiasa dan malah kegirangan tiap kali masuk ke ruang sempit itu. Tanpa membuka baju karena kesulitan, kedua tangan Nini memegang kedua sisi ember, lalu menceburkan kepalanya ke dalam air. Mulutnya sengaja dibuka. Ingin membuat bunyi gelembung. Nini mampu bertahan di dalam ember selama lima belas detik. Hingga wajahnya muncul ke permukaan air lagi. Dia mengulanginya lagi hingga tubuhnya sudah merasa tidak panas.
Setelahnya, Nini menyadari kalau bajunya basah. Tangannya berusaha menarik baju dari bagian bawah seperti yang biasa Mama lakukan. Tetapi tetap saja Nini tidak bisa membukanya. Dia lelah, perutnya lapar, kepalanya mengintip dari kamar mandi. Takut-takut kalau Mama muncul dan melihat perbuatan nakalnya. Bisa-bisa dia dipukul lagi dengan benda panjang yang biasa digunakan Mama untuk membersihkan susu Nini yang tumpah, atau benda cair lainnya yang melengketkan lantai. Tapi yang dia dapat hanya kekosongan sehingga dia berjalan menuju area dapur. Dia melihat benda persegi panjang berwarna hitam. Benda itu memiliki dua pintu seperti lemari. Bedanya, terdapat pintu bagian atas yang lebih kecil dibanding bagian bawah. Nini tidak sanggup untuk membuka pintu bagian atas karena tubuhnya terlalu pendek. Dia hanya mampu membuka pintu bagian bawah, seperti yang biasa Mama lakukan.
Nini kesenangan kala suhu dingin langsung menyerang wajahnya. Matanya berkedip-kedip karena melihat buah-buahan yang biasa ia makan tersusun rapi di dalam. Warnanya sedikit kehitaman membuat Nini tidak tahan untuk langsung memakannya. Meskipun awalnya Nini tidak suka buah-buah itu karena bau tak sedap mencerap hidungnya, tapi Mama selalu memotongnya kecil-kecil, menaruhnya di mangkuk, dan mencekoki ke mulutnya hingga habis. Waktu pertama kali mencoba, Nini langsung memuntahkannya dan Mama mencubit pahanya berulang kali meskipun dia sudah menangis. Di dalam lemari dingin, terdapat empat susun. Ketika dia baru mengambil buah-buahan yang sedikit menghitam di bagian bawah, matanya tergiurkan oleh buah serupa yang ada di tangannya dengan warna yang lebih segar tersusun di bagian paling atas. Ada warna merah dan hijau. Tetapi buah berbentuk panjang tidak ada di sana. Nini tidak peduli dan mengambil semua buah dan diletakkan di lantai, kemudian dia menutup kembali lemari dingin itu.
Nini tidak peduli buah yang menghitam atau tidak, mulutnya seperti anjing kelaparan yang langsung mengunyah. Dia begitu lapar karena sejak siang, Mama tidak memberinya makan seperti biasa. Nini tidak tahu kenapa. Setelah menerima selembar kertas dari tamu yang berkunjung di depan pintu rumah, Mama tidak bicara lagi.
Nini tidak sanggup menghabiskan semua buah. Menyisakan kedua tangannya, area mulutnya, serta lantai menjadi kotor. Sekali lagi Nini menoleh ke arah pintu kamar terbuka. Memastikan bahwa Mama belum bangun. Kembali Nini membersihkan wajah serta tangannya di dalam ember yang sebelumnya ia gunakan untuk merendam kepalanya.
Lampu area dapur, kamar mandi, dan ruang tengah tidak pernah mati. Tetapi ketika Nini menuju kamar untuk melihat Mama, itu gelap. Membuatnya sedikit ketakutan karena dengan begitu hanya ada penerangan dari jendela yang hordengnya belum tertutup. Nini memutuskan untuk pergi ke ruang tengah biasa dia dan Mama menonton. Mendekati layar TV untuk mencari tombol yang biasa Mama tekan agar TV menyala. Tangannya menekan tombol yang ukurannya paling besar dan layar terang perlahan muncul. Kali ini Nini menonton sendirian. Tanpa Mama yang biasanya suka mencubit paha atau punggungnya kala film yang ditonton membangkitkan emosi.
Nini tidak menangis apalagi memarahi Mama, karena sudah biasa dan jelas dia tidak bisa berbicara lebih dari lima kata tadi. Yang dilakukan Nini hanyalah menatap Mama dengan mata berkaca-kaca, memeluk boneka pandanya, lalu kembali menatap layar. Tapi sekarang, Nini bisa melakukan apapun di sofa panjang empuk berwarna abu-abu. Tidak lagi harus duduk tegap. Dia bisa berbaring, jungkir balik, berbaring dari sisi kanan ke sisi kiri. Berdiri di atas sofa, menginjak-injaknya hingga membuat suara, dan tertawa karena film mulai pada bagian lucu. Tidak ada yang memarahinya lagi, tidak ada yang mencubit paha dan punggungnya lagi. Nini bebas melakukan apapun malam itu. Sampai perutnya mulai menginginkan susu yang biasa Mama beri ketika menjelang tidur.
Nini kembali membuka lemari dingin. Matanya melihat susu yang ditaruh di botol besar ketika ia mengambil buah. Meski susah payah dia membukanya, tapi pintunya tetap terbuka. Nini kegirangan melihat botol susu yang tersisa setengah. Dia berupaya mengangkatnya dan meletakkannya di lantai. Cukup berat tapi dia mampu melakukannya. Kemudian matanya jeli mencari botol susu kecil miliknya di atas meja makan. Tetapi ketimbang botol susu, dia lebih tertarik pada tumpukan roti yang biasa Mama makan. Sebenarnya Nini ingin sekali mencicipi makanan itu, tapi Mama tak pernah membaginya meskipun dia merengek dan mengoceh tak jelas. Semakin lama dia merengek, pukulan telapak tangan Mama semakin kencang di bagian pantatnya. Kalau sudah begitu, Nini tidak berani merengek dan mengoceh lagi.
Nini menaiki kursi makan. Merangkak di atas meja untuk bisa mengambil setumpuk roti yang tersisa setengah. Lalu menjatuhkan roti ke lantai. Dia tidak lagi menginginkan botol susu seperti awal. Perlahan ia turun dari meja ke kursi, lalu kembali ke lantai mengambil roti. Dia melihat selai roti di sebelah botol susu besar di dalam lemari pendingin yang masih terbuka. Tangan kecilnya mengambil botol selai berwarna merah. Botol itu tertutup rapat sehingga dia kesulitan membukanya. Tak berhenti di situ, dia berusaha keras untuk membukanya. Dia tahu betul bagaimana cara membuka selai itu, karena setiap pagi Mama selalu membukanya dengan mudah.
Setelah bermenit-menit lamanya, Nini berhasil membuka tutup selai dan langsung mengambil isinya menggunakan tangan. Meskipun dia tahu Mama tidak melakukannya dengan cara begitu, dia sudah tidak sabar mencicipi rasa selai yang ternyata adalah rasa stroberi. Tetapi lebih menyegarkan ketimbang buah stroberi yang ia makan karena rasanya sedikit pahit. Diambilnya sehelai roti dengan tangan kirinya, kemudian tangan satunya mengambil selai dan ditaruh di atas roti. Dia benar-benar melakukan seperti Mama melakukannya. Lantas melahap roti tersebut sampai mulutnya penuh.
Satu roti habis, dia mengambil roti lagi dan melakukan hal serupa secara berulang. Sampai perutnya benar-benar merasa penuh. Tak sadar, rotinya tertinggal sepotong. Buru-buru dia menaruhnya kembali di atas meja makan. Berjalan menuju kamar yang gelap untuk memastikan Mama tidak menyaksikan perbuatannya. Meskipun tidak ada yang tinggal di tempat itu selain mereka berdua, pasti Mama tahu bahwa itu perbuatannya. Nini tidak peduli karena dia sudah biasa dipukul pantatnya dengan tangan Mama, atau alat pembersih, atau remot, atau benda keras apapun yang berada di sekitarnya. Setidaknya dia sudah tahu bagaimana rasanya melakukan hal apapun tanpa diawasi Mama.
Sisa makanan di dekat lemari pendingin berserakan. Berbagai jenis kotoran tercampur di sana. Termasuk susu yang diminum Nini langsung dari botol besar. Susu yang awalnya selalu dimuntahi oleh Nini karena perutnya merasa mual dan rasanya tidak enak di lidah. Tetapi Mama terus-menerus mencekokinya hingga susu itu habis. Hingga hari-hari berikutnya sampai Nini berusia empat tahun mulai terbiasa dengan rasa susu aneh itu.
Nini beniat untuk merapikan semua itu sebelum Mama bangun. Walaupun sepertinya sangat sulit karena alat-alat bersih itu terlalu berat dan besar untuk ukuran tangannya. Tetapi dia tetap mencoba dengan mencari alat yang biasa Mama gunakan untuk membersihkan lantai. Mata sipitnya mengedarkan pandangan ke sekitar. Sampai dia berhasil menemukan alat yang biasa digunakan Mama untuk memukulnya. Ketika tangan kecilnya meraih benda itu, terdapat serangga yang paling ditakuti oleh Nini. Kecoa. Dia nyaris berteriak sebelum kedua tangannya berhasil menutup mulutnya. Dia berlari menjauh. Melihat serangga itu berjalan di sekitar alat pembersih. Nini benar-benar takut, melebihi takutnya pada hantu, tapi sama seperti takutnya pada Mama.
Setiap kali Nini atau Mama melihat serangga itu, Mama langsung mengambil alat yang disemprot di area serangga itu berada. Beberapa menit kemudian binatang menjijikan itu mati. Nini kagum pada alat yang digunakan Mama untuk mematikan serangga tersebut. Tempat tinggalnya selalu didatangi serangga itu. Bisa tiga kali dalam sehari Mama selalu menyemprot area dapur yang selalu dihinggapi kecoa. Seminggu sekali pula Mama selalu menuangkan cairan ke dalam alat hebat itu. Nini selalu memerhatikan apa yang dilakukan Mama termasuk bagaimana cara menuangkan cairan ke dalam alat semprot, lalu menyemprotkannya pada serangga. Bahkan alat dan cairan itu berada, dia pun tahu.
Rasa takut dan benci Nini pada serangga itu sama seperti rasa takut dan benci pada Mama yang selalu membuatnya berteriak dan menangis. Maka itu, Nini mencoba untuk membuat Mama tergeletak tak berdaya seperti yang dilakukan Mama pada kecoa menggunakan cairan itu. Sebelum tidur siang, ketika Mama mengobrol dengan tamu di depan pintu, Nini secara sengaja mengambil cairan serangga dan menuangkannya pada cangkir kopi yang sebelumnya diminum sedikit oleh Mama. Dia hanya ingin tahu, apakah Mama tergeletak lemas seperti kecoa setelah diberi cairan tersebut atau tidak.
Nini baru menyadari dan berjalan ke arah kamar. Menatap Mama yang tergeletak di atas kasur seperti ketika kecoa itu tergeletak di lantai dapur. Sekarang dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia tidak tahu bagaimana cara menggerakkan Mama kembali, karena dia tidak pernah melihat kecoa yang tergeletak, bergerak lagi.
BIODATA PENULIS
Putri Oktaviani lahir di Tangerang pada tahun 2000. Penggemar fiksi thriller & misteri Jepang ini senang mendengar radio dan cerita horor. Tulisannya tersebar di berbagai media; daring, koran, dan majalah. Cerpennya berjudul “Menjelang Kiamat” terbit di Majalah Sastra Kandaga Provinsi Banten Edisi April 2024. Bisa disapa di IG @putri.oktavn
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post