
Namaku sudah “digaris” oleh negara, Ibu memberitahukannya padaku. Semua bermula ketika aku berusia empat tahun, saat bapak diangkut ke sebuah truk dan dibawa entah ke mana bersama banyak orang. Kata ibu, mungkin bapak sudah dibunuh atau dicuci otaknya lalu dibiarkan tersesat di tempat yang jauh dari jangkauan kami. Bapak dituduh sebagai komunis. Simpang siur kebangkitan komunis terus beredar, setidaknya demikianlah yang kudengar sampai sepuluh tahun sebelum Pak Harto diturunkan. Dan bapakku, adalah salah satu orang yang dituduh turut terlibat bersama komunis dalam rencana kudeta.
Setelah bapak diculik – ya, kami menganggapnya begitu – akhirnya ibu berinisiatif mengambil alih profesi bapak. Saban hari, ibu mencari peruntungan di kebun binatang. Kadang bernasib baik, tapi lebih sering sebaliknya. Bersaing dengan para tukang foto pria membuat ibu harus lebih berusaha keras.
Ibu sempat mengabadikan momen bersejarah ketika rombongan massa berhambur ke tengah kota untuk melakukan protes pada tahun 1998. Sekarang, kamera yang telah membantu hidup keluargaku itu sudah berada di tanganku. Tapi sedikit sekali momen yang bisa diabadikan lagi. Film kuhabiskan cuma buat menjepret pacarku. Setiap hari ia mengunjungiku, barang membawa makan siang atau sekadar melaporkan wajah murungnya.
“Tidak beli alat yang lebih canggih saja?” tanyanya suatu ketika.
“Jangankan membeli alat, biaya berobat ibu dan menabung untuk pernikahan kita saja semakin sulit,” jawabku mengiba.
“Tapi beberapa temanmu sudah mampu beli, kenapa kamu tidak?”
“Mereka itu yang sering menjepret rombongan dinas. Sedangkan aku tak punya kenalan di sana.”
Kemudian kalau sudah bosan mengobrol sambil melihat kendaraan melintas di jalan, sedih melihat betapa sepinya mesin cetak foto milik bersama, atau capai meladeni guyonan cabul para supir yang mengantar rombongan pengunjung, kami biasanya akan masuk ke dalam kebun untuk mencari kesenangan-kesenangan kecil.
*
Pertama-tama, kami pergi melihat kuda nil, kemudian monyet, kemudian buaya, kemudian kami lari ke bagian belakang mencari tempat berciuman. Tapi tidak dengan hari ini. Tempat yang biasanya kami gunakan sedang dipakai oleh pasangan remaja berseragam sekolah.
“Sepertinya kita sedang diikuti oleh seseorang,” pacarku berbisik.
“Benar kah?” tanyaku sambil menengok ke belakang.
Ternyata seorang pria berkepala gundul memang terlihat sedang mengikuti kami. Tubuhnya ramping seperti tidak suka makan. Mengenakan celana pendek selutut, dan kaus warna putih. Kami sengaja berjalan agak cepat dengan arah yang tidak menentu untuk membuktikan bahwa pria itu memanglah sedang mengikuti kami.
Setelah yakin betul bahwa pria itu benar-benar terus berada di belakang kami, aku langsung berbalik badan lantas bertanya pada pria yang menguntit itu: “Apakah bapak sedang mencari seseorang?”
Wajah pria itu mendadak menjadi kikuk sambil menghadap ke langit setiap kali kuajak bicara.
“Apakah bapak tersesat?” tanya pacarku.
“Saya mau dijepret,” kata pria itu menunjuk tas selempangku yang berisi kamera.
Aku dan pacarku cukup terkejut mendengar permintaannya.
“Tolong jepret saya. Tolonglah. Saya punya uang,” pria itu mengiba seraya mengais isi kantung celananya dan menunjukkan sejumlah uang.
Karena malas mencari perkara, lebih-lebih hari ini belum ada pemasukan, aku segera menyiapkan alatku. Pria itu mengajak kami berkeliling ke tempat-tempat yang sudah kami lalui sebelumnya: kandang kuda nil, kandang monyet, kandang buaya. Perilakunya menjadi sama sekali berbeda. Ketimbang sebelumnya, sekarang dia terlihat lebih ceria dan banyak gaya.
“Sebentar,” kata pacarku saat kami hendak beralih ke kandang ular.
Kami bertiga pun berhenti.
“Bapak, saya rasa bapak terlihat mirip dengan seseorang,” ucap pacarku pada pria itu. Pacarku mengernyitkan dahi. Meneliti wajah pria itu, lalu seakan menyadari sesuatu: “Benar! Kalian berdua terlihat mirip. Kenapa saya baru menyadarinya!”
Mereka berdua tertawa sementara aku merasa canggung dengan situasi ini. Meski aku juga mengakui, sekilas wajah pria itu tampak mirip denganku. Kalau saja aku gundul, pasti kami bakal dikira kembar. “Mungkin kebetulan saja,” kataku.
Setelah selesai dijepret, pria itu memberikan sejumlah uang padaku. Dia menguras isi kantung celananya: sejumlah uang yang terlalu banyak dari yang semestinya diberikan. “Ini terlalu banyak, Pak,” kataku sambil menghitung uang yang diberikannya.
Pria itu tersenyum, dan membalas: “Ambil saja semuanya. Berikan juga untuk ibumu di rumah.”
Pria itu pergi meninggalkan kami yang termangu. Dia berlari-lari riang sambil melompat seperti orang gila, lalu menghilang di antara kerumunan pengunjung.
“Kenapa pria itu pergi? Padahal fotonya belum dicetak,” kataku.
Pacarku hanya menggeleng.
***
Penulis, Robban Abel Ramdhon, adalah Cerpenis juga esais asal Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media cetak dan daring. Kini mengelola Aroo Creative Space dan turut bergiat di Komunitas Akarpohon Mataram.
Media Sosial: Robbyan Abel R (Facebook) / Robbyanabel (Instagram/Twitter)
- Festival Tanah Ombak: Pelatihan Sastra Anak “Melatih Nalar Sejak Dini” - 18 September 2023
- Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar | Siregar - 16 September 2023
- Cerpen Hasbunallah Haris | KKN Konciang - 9 September 2023
Discussion about this post