Hujan lagi, pikir Panjul sore itu, ketika hujan turun semakin lebat pukul empat. Ia hendak pulang ke rumah selepas membeli empat butir telur dan dua bungkus mie instan dari warung seberang rumahnya. Panjul gembira sore itu, sebab anaknya, Mardian, yang lebih suka dipanggil Ajo, baru saja pulang dari pulau seberang untuk berlibur setelah sibuk satu semester berkutat dengan pelajaran di salah satu universitas. Panjul berencana membuat martabak mie kesukaan Mardian, sebagai perayaan atas kedatangan anaknya yang baru sampai di kampung beberapa jam yang lalu itu. Tinggal menyeberang, ucap panjul pada diri sendiri sambil bersiap untuk menyeberang ke rumahnya selepas Komar, tukang cukur rambut kampung, berlalu dengan motornya.
Enam bulan yang lalu, Panjul dengan berat hati melepas Mardian di terminal kota untuk diberikannya kepada nasib di seberang pulau sana. Air mata berlinang di pipi Panjul.
“Elok-elok di negeri orang,” pesan Panjul menjadi kalimat terakhir yang ia ucapkan sebelum Mardian dibawa nasib pergi ke perantauan demi menimba ilmu dan hal tetek bengek mengenai masa depan yang diimpikan setiap orang.
Itulah hari terakhir Panjul melihat rupa anaknya yang pergi dengan rapi, kemeja lengan pendek berwarna hitam polos dengan saku di dada sebelah kiri, dan celana dasar warna hitam pula. Dan sekarang, di ruang tamu, di hadapannya duduk seorang anak yang dulu dilepasnya sudah berambut gondrong, memakai celana jeans biru dongker, dan baju kaos hitam bergambar lidah menjulur berwarna merah, logo Rolling Stones.
Di rumah, sebelum pergi memasak makanan kesukaan Mardian, Panjul bertanya kepada Mardian tentang perkuliahannya, bagaimana kehidupan di pulau seberang, dan bagaimana uang kuliahnya, apakah cukup atau tidak untuk menghidupinya selama sebulan di sana, sebab Panjul hanya penjual nasi goreng di kampung.
Bertanya Panjul perihal perkuliahan yang belum pernah dirasakannya seumur hidup itu dikarenakan pendidikannya berakhir hanya sampai tingkat SLTP. Krisis ekonomi keluarga menuntutnya untuk menjadi pekerja serabutan pada usianya yang masih bocah. Mardian, yang lebih suka dipanggil Ajo itu, bercerita tentang tempat tinggalnya yang terletak di belakang kawasan kampus dan dia hanya perlu berjalan kaki menempuh waktu lima menit untuk sampai di kampus. Serta Mas Trio, tukang nasi uduk langganannya di kampus, tempat Mardian kerap berhutang jika uang pemberian ayahnya habis sebelum waktunya dikarenakan berbagai hal keperluan kuliahnya. Tidak lupa pula tentang dosen yang memberi tugas begitu banyak, dan harus dikerjakan dengan waktu amat sedikit. Lalu, Mardian cerita tentang fakultasnya, di mana terdapat beragam Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergiat tidak jauh dari berkesenian, sama seperti hobi Panjul. Demikianlah cerita singkat kehidupan Mardian di kampus.
Mendengar cerita barusan, membuat Panjul terbayang-bayang tentang impiannya yang telah lama pupus, dan dilanjutkan oleh anak satu-satunya itu. Betapa bangga ia pada Mardian.
“Aku ikut demo, Yah,” ucap Mardian tiba-tiba. Singkat dan lugas.
Mengejutkan Panjul yang sedang asyik membayangkan dunia perkuliahan yang indah itu. Panjul terdiam sesaat, lalu memilih pergi ke dapur dan mulai memasak martabak mie kesukaan Mardian, mencoba tak mempedulikan perkataan Mardian barusan. Panjul mencoba menganggap perkataan Mardian sebagai angin lalu, sebab serupa sembilu, meski hanya sekejap, namun dengan pasti menyayat hati Panjul. Mardian mengekor Panjul dan duduk di dekat meja makan. Mardian sadar perbuatannya salah, dan ia menyesal telah mengatakan kalimat celaka itu. Ia merasa, seharusnya ia simpan kata-kata itu di dalam dadanya dan menguburnya dalam-dalam. Akan tetapi, itu semua terlambat. Mardian sudah lebih dulu mengatakannya sebelum pikiran itu datang ke otaknya dan menyuruhnya untuk diam. Sekarang yang Mardian lihat bukan lagi sesosok ayah dengan raut riang, tetapi seorang lelaki tua dengan badan gempal yang sedang memasak martabak mie dengan air wajah yang sendu. Lima belas menit keheningan menguasai ruangan. Ayah dan anak itu tenggelam pada pikiran masing-masing. Panjul dengan pikiran bagaimana agar anaknya tidak lagi terlibat demo, dan Mardian bergumul dengan kekesalan dan penyesalannya telah mengeluarkan kalimat laknat tersebut. Panjul, dengan wibawa keayahan, mencoba menepis pikiran buruk dan melanjutkan obrolan dengan anaknya yang baru pulang dari pulau seberang itu. Panjul coba mencairkan suasana dengan menyajikan martabak mie, makanan kesukaan Mardian, sambil berharap semua perihal tentang demo yang tadi mendatangkan keheningan keparat itu hilang dan berlalu.
“Jadi, bagaimana dengan uang yang Ayah berikan? Masih kurang? Biar ayah lebihkan semester depan.”
Panjul mencoba membuka obrolan demi mengusir lima belas menit keheningan yang tengah merajai suasana di antara mereka sambil makan martabak mie. Panjul sadar, bahwa tak seharusnya seorang ayah lari dari kenyataan seperti ini. Akan tetapi, ia takut. Ada sebuah rasa takut yang sudah lama bersemayam di dadanya, dan kini kembali dari tidur panjangnya. Dicobanya meredam rasa tersebut.
“Tak apa, Yah. Itu sudah cukup. Aku saja yang kadang boros dan tidak bisa mengatur keuanganku. Tak usah Ayah tambah uang jajanku. Untuk ayah saja. Atau simpan untuk keperluan yang lebih penting.”
Mardian paham ayahnya bukan orang berpunya, dan Mardian tidak ingin menyusahkan ayahnya itu. Mardian tahu, untuk membayar uang kuliah di awal saja, Panjul sampai rela menjual cincin pernikahannya dan bahkan televisinya.
“Tidak ada yang lebih penting dari menyiapkan uang untuk masa depan anak. Kalau bukan untuk anaknya, untuk siapa lagi seorang ayah bekerja cari duit? Ibumu sudah tidak ada, ayah di sini seorang diri pula, dan rumah kita rumah warisan keluarga,” terang Panjul.
“Tidak ada pengeluaran yang lebih berarti daripada masa depanmu,” lanjutnya setelah minum air karena sebelumnya tersedak.
“Yah, soal yang tadi,”
“Tak usah dipikirkan,” jawab Panjul.
Di dadanya bergemuruh rasa yang dicobanya untuk tidak keluar dan membuat kacau suasana. Tak ingin Panjul memperkeruh suasana dan tak sudi pula membiarkan anaknya mengungkit hal itu. Singkatnya, Panjul tak suka anaknya ikut turun ke jalan dan berteriak-teriak menuntut hal ini-itu kepada pemerintah. Ia tak ingin terjadi hal-hal yang tidak semestinya terjadi. Sebab zaman sudah rapuh, dan segala kritik berusaha dibungkam. Panjul takut anaknya hilang malam, seperti yang ia dengar di radio dan yang ia baca di surat kabar. Masa itu begitu mencekam, maka itu tak sudi ia membiarkan anaknya ikut demo. Ia hanya tak ingin kehilangan Mardian, satu-satunya anak yang ia miliki. Ia tak ingin Mardian hilang sebagaimana istrinya mati dan meninggalkan dirinya. Keluarga ini begitu rapuh, pikir Panjul kemudian.
“Yah, maaf, aku tak bisa lama di kampung.” “Ada apa? Apa kau tak senang di kampung?”
“Bukan itu, Yah. Aku senang di kampung, tetapi liburku hanya sebentar saja. Semester satu memang libur sebentar. Semester selanjutnya baru akan lama liburnya, Yah. Kali ini cuma sepuluh hari, dan sudah kugunakan dua hari untuk perjalanan pulang, tinggal sekitar seminggu lebih satu hari, dikurang pula dua hari perjalanan ke sana, dan tersisa enam hari. Maaf kalau tidak bisa lama.” Penjelasan Mardian ditanggapi dengan O panjang dari mulut Panjul.
“Tak apa kalau begitu. Beristirahatlah Kau dulu, lalu pergi keliling kampung, atau bermain dengan kawan lama. Pergilah ke tempat Komar si Tukang Cukur. Pangkas rambutmu! Sudah bisa jadi sarang burung nampaknya,” ucap Panjul.
Selama liburnya di kampung, Mardian, yang lebih suka dipanggil Ajo itu, banyak menghabiskan siang hari dengan bertandang ke tempat kawan lama, sekadar menampakan muka dan bincang-bincang kosong. Kebanyakan dari kawan Mardian selepas SMA menjadi petani di ladang orang tua mereka, atau merantau ke seberang pulau mengadu nasib menjadi karyawan di warung makan, atau mencoba peruntungan sendiri membuka kedai. Ia tak hendak bicara tentang perkuliahan, takut menyinggung kawan-kawannya yang tidak kuliah. Jika ditanya tentang perkuliahan, ia hanya akan bercerita tentang tempat tinggalnya yang terletak di belakang kawasan kampus dan dia hanya perlu berjalan kaki menempuh waktu lima menit untuk sampai di kampus. Serta Mas Trio, tukang nasi uduk langganannya di kampus, tempat Mardian kerap berhutang jika uang pemberian ayahnya habis sebelum waktunya dikarenakan berbagai hal keperluan kuliahnya. Tidak lupa pula tentang dosen yang memberi tugas begitu banyak, dan mesti dikerjakan dengan waktu amat sedikit. Lalu, Mardian juga cerita tentang fakultasnya, di mana terdapat beragam Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergiat tidak jauh dari berkesenian.
Satu hari sebelum keberangkatan Mardian kembali ke pulau seberang, ia bertandang ke rumah kawan karibnya, kawan main dan sepertiduran. Margio namanya, anak Komar si Tukang Cukur. Mardian dan Margio sudah berkawan sejak mereka berumur dua tahun, sebab saat itulah keluarga Komar pindah ke kampung ini dari kota dan tinggal di samping rumah keluarga Panjul. Mereka baru dapat bertemu hari itu karena Margio, yang berkuliah di kota, baru hari itu libur semester, sementara Mardian sudah akan mulai berkuliah tiga hari lagi dan dua hari akan dihabiskannya di perjalanan. Mardian dan Margio saling bertukar pengalaman selama berkuliah di universitas masing-masing.
Mardian kembali berceloteh tentang tempat tinggalnya yang terletak di belakang kawasan kampus dan dia hanya perlu berjalan kaki menempuh waktu lima menit untuk sampai di kampus. Serta Mas Trio, tukang nasi uduk langganannya di kampus, tempat Mardian kerap berhutang jika uang pemberian ayahnya habis sebelum waktunya dikarenakan berbagai hal keperluan kuliahnya. Tidak lupa pula tentang dosen yang memberi tugas begitu banyak, dan mesti dikerjakan dengan waktu amat sedikit. Lalu, Mardian juga cerita tentang fakultasnya, di mana terdapat beragam Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergiat tidak jauh dari berkesenian.
“Aku ikut demo,” ucap Mardian singkat, seakan ingin membuat Margio heran, terkejut, dan bertanya-tanya tentang itu. Ia tahu, sebagai sesama mahasiswa, hanya kepada Margiolah ia dapat bercerita tentang ini.
“Yakin Kau, Jo?” Siasat Mardian, yang lebih suka dipanggil Ajo itu, mulus membuat Margio terkejut dan bertanya-tanya mengenai kegiatan kawan karibnya yang tidak biasa dan beresiko tinggi.
“Begitulah, Kawan! Hidup di negara ini sudah tidak betul lagi. Demokrasi sudah hilang ditelan bumi, buruh sudah jadi alat, jadi benda, bukan lagi manusia yang perlu dipertimbangkan hak-haknya. Sementara mereka yang katanya memimpin dan mewakili rakyat, hanya mewakili di bagian enak-enaknya saja, seperti uang, kejayaan, kekuasaan. Tidakkah kau rasa begitu?” Semangat Mardian membara menjelaskan kegiatan yang baru digelutinya itu. Ia menjelaskan dengan sabar dan perlahan bagaimana ia bisa masuk dunia demo-berdemo tersebut dan bagaimana pula ia bisa mempelajari tentang dunia perpolitikan negara, juga hal-hal yang tak betul yang sudah terjadi di negara ini.
Sedang di hadapannya, Margio mengangguk-angguk saja, tanpa paham apa maksud kawan karibnya tersebut. Ia khawatir kawannya itu akan bernasib buruk.
“Hati-hati, Kawan! Baiknya sudahi saja kegiatanmu itu. Kasihan ayahmu! Jangan biarkan ia menderita lagi dikarenakan demo-demoan.” Sebagai kawan yang baik, Margio merasa ia bertanggung jawab atas keselamatan kawan karibnya tersebut dan bukan salah lagi untuk mengingatkannya. Sementara Mardian tidak mengerti bagian menderita lagi dikarenakan demo-demoan. “Lagi?” Tanya Mardian heran.
“Iya. Kau tidak ingat kejadian saat kita TK?” “Ibuku meninggal.” seingat Dian, itulah kejadian yang sangat kental di kepalanya saat TK. Kejadian di mana keluarganya dirundung duka cita seminggu penuh tanpa henti.
“Iya, Kau tidak ingat?”
“Apa lagi? Ibuku meninggal karena kecelakaan kerja di tempat kerjanya. Itulah kata ayahku.”
“Astaga! Ibumu meninggal karena disekap oleh orang tak dikenal, dibunuh, dan ditinggalkan di depan PT tempat ibumu kerja sehari setelah dikabarkan hilang. Kau tahu apa penyebabnya? Ibumu adalah pemimpin demonstran buruh di tempat kerjanya yang sudah berhari-hari demo minta naik gaji. Seluruh kampung tahu itu, Jo.”
Hari esoknya tiba. Hari di mana Margio sudah harus berangkat kembali ke pulau seberang. Panjul mengantar Mardian ke Terminal. Kembali seperti enam bulan silam, Mardian dengan rambut rapi, kemeja lengan pendek berwarna hitam, dan memakai celana dasar berwarna hitam pamit kepada Panjul untuk enam bulan berikutnya.
Panjul berpesan, “Elok-elok kau di negeri orang! Janganlah kau ikut demo, aku mohon.”
Mardian hanya tersenyum menanggapi permintaan ayahnya. Bus sudah berangkat, dan hal yang terang di benak Mardian apakah dalam liburan semester selanjutnya entah akan sama seperti liburannya sekarang, atau ia tidak akan lagi mendapat liburan.
Padang, 2019.
Penulis Ridho Daffa Fadilah, lahir di Jakarta pada tanggal 21 September tahun 2000. Tinggal di Parit Malintang, Padang Pariaman. Sekarang sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa di Universitas Andalas jurusan Sastra Indonesia. Bergiat di Labor Penulisan Kreatif (LPK).
Discussion about this post