Tepat di saat sahur hari pertama bulan Ramadan 22 tahun lalu suara tangis bayi itu terdengar nyaring nan melengking. Suara musik patrol yang sedang lewat di depan rumah dinas Bu Bidan pun serentak menyiut dikalahkan suara bayi itu. Mereka takut musik yang mereka ciptakan yang menyebabkan bayi itu menangis. Maklum, suami Bu Bidan adalah seorang polisi yang terkenal galak, tentu mereka takut jika mereka akan kena tegur olehnya.
“Hei. Hentikan musiknya.” Ucap seorang anak laki-laki itu pada teman-temannya.
“Iya kita hentikan dulu. Apa kalian tak mendengar suara bayi menangis?” timpal salah seorang lagi.
“Iya, suara bayi itu dari rumah Bu Bidan. Awas Suami Bu Bidan itu sangat galak.” Salah seorang lagi mengingatkan teman-temannya.
***
Namun kenyataannya bayi itu bukan menangis karena musik patrol yang sedang dibunyikan untuk membangunkan orang-orang sahur, tapi bayi itu menangis karena dini hari itu adalah pertama kalinya ia melihat hamparan dunia ini. Sudah perkara umum dan wajar saat seorang bayi dilahirkan akan menangis. Bayi itu pun memenuhi tugas pertamanya di dunia.
Dan musik patrol itu pun akhirnya dibunyikan lagi. Kali ini diikuti sorak kegembiraan oleh sekumpulan anak laki-laki berkalung sarung, setelah Mat memberi tahu bahwa dia resmi menjadi seorang bapak hari itu.
“Ayo lanjutkan lagi musiknya. Hari ini aku resmi jadi seorang bapak.” Teriak Mat pada sekumpulan anak laki-laki yang tadinya sedikit mengendap dan berjinjit kaki melewati jalan depan rumah dinas Bu Bidan.
***
Anehnya tangis bayi perempuan itu pun tak kunjung berhenti. Padahal rombongan patrol anak laki-laki berkalung sarung itu sudah jauh dari rumah Bu Bidan. Mat yang awalnya kegirangan di depan sekumpulan anak patrol pun kini mulai gelisah. Sedangkan Bu Bidan mencoba segala cara agar bayi perempuan itu berhenti menangis.
“Mbak Mita coba disusui bayinya biar tangisnya berhenti!” pinta Bu Bidan pada Mita. Mat sendiri masih ada di dalam ruangan bersalin tempat istrinya melahirkan. Ia mencoba membantu satu dua hal atau bahkan banyak hal yang bisa dibantu untuk meringankan Bu Bidan yang tak punya asisten. Ia di dalam ruangan bersalin itu pun atas desakan mentua juga Bu Bidan sendiri. Sebab Mita akan sangat membutuhkannya dalam berjuang melahirkan anak pertamanya itu. Dan Mat sebagai selayaknya laki-laki pun memahami apa yang harus ia lakukan hari itu.
“Bu Bidan, kenapa kok belum berhenti juga ya nangisnya?” tanya Mita mulai ketakutan. Kening yang awalnya mulai kering dari keringat dingin itu pun mendadak mengeluarkan cairan berasa asin itu lagi. Mat pun tak kalah ketakutan. Ia juga berjalan ke arah istrinya yang tengah menyusui bayinya. Ia berusaha menenangkan, tapi tetap saja bayinya menangis. Suasana menjelang subuh itu tiba-tiba mencekam sebab tangis bayi yang tak kunjung berhenti.
“Apa air susunya belum keluar ya Bu Bidan?” tanya Mat yang mulai kasihan pada bayinya.
“Bisa jadi.” Jawab Bu Bidan singkat sambil kembali meraih bayi yang sedang dibopong Mita.
***
“Lihatlah ini Mbak Mita! Tangisnya mulai berhenti.” Kata Bu bidan setelah memastikan bayi yang dibopongnya itu mulai berhenti dari tangisnya. Tepat saat dari celah jendela di ruang bersalin itu menyeruak sebuah aroma khas tanah basah karena hujan.
Melihat bayinya mulai tenang, Mat pun mendekati Bu Bidan dan meminta bayinya untuk digendong dan mengumandangkan adzan di telinga sebelah kanannya. Mita dan Bu Bidan pun saling pandang melihat wajah bayi di gendongan Mat itu tampak tenang mendengarkan lantunan adzan dari bapaknya. Sepertinya pagi itu adalah pagi yang betul-betul berkesan bagi seisi ruangan.
Bahkan hujan di luar pun tak turun dengan sangat deras. Air yang jatuh dari langit itu seolah membuat irama yang begitu merdu ketika menyentuh tanah, genting, batu, atau apa pun yang ditimpanya. Tak hanya bayi yang dibopongnya yang menikmati suasana pagi itu, Mat dan Mita pun demikian.
“Sepetinya hujan pagi ini sangat menentramkan hati. Lihatlah anak kita ini, ia tampak sejuk sekali wajahnya!” ucap Mat pada Mita yang ada di sebelahnya.
***
“Seperti itulah kejadiannya.” Ucap neneknya pada Sejuk yang sama-sama kehujanan sepulang dari pengajian.
Sore itu memang Sejuk memaksa untuk dibolehkan ikut neneknya pergi pengajian. Sebab liburan kuliah membuatnya bosan di rumah. Pulang dengan kondisi basah kuyup pun tak membuatnya putus asa, atau mengatakan kapok untuk ikut neneknya lagi. Ia bahkan yang mengajak neneknya untuk langsung pulang meski hujan belum reda dan mereka tak membawa payung.
“Nenek tahu kamu suka hujan.”
“Ooo makanya nenek tadi langsung menerima ajakanku untuk langsung pulang.”
“Nenek sudah mengamati itu sejak kamu lahir. Kamu pasti sudah tahu maksud dari cerita tentang kejadian di hari lahirmu tadi. Ibu dan bapakmu saja yang selalu melarangmu hujan-hujanan. Mereka takut kamu sakit.”
“Padahal aku tak sakit kan, nek?”
“Iya, makanya nenek tak pernah ikut melarangmu. Nenek justru melihatmu begitu bahagia bermain hujan. Kamu benar-benar tampak sejuk karenanya.”
“Makasih, nek.”
***
Sesampainya di halaman rumah, Mat dan Mita sedang duduk santai minum kopi di teras. Melihat anak gadis dan ibunya sedang basah karena hujan, mereka bergegas bangun dari duduk santainya. Mat berlari ke dalam rumah untuk mengambil payung dan handuk. Sedangkan Mita meneriaki sepasang cucu dan nenek itu untuk segera merapat ke teras.
“Ayo cepat, hujannya tambah deras, lho!”
“Iya Ma, ini kan sudah jalan ke teras. Lagian aku dan nenek menikmati hujan ini, lho.” Timpal Sejuk pada ibunya dengan sedikit memanyunkan bibirnya. Sejuk tahu, ibunya selalu berlebihan jika ia hujan-hujanan.
“Ini, Bu, handuknya.” Mat mengulurkan sebuah handuk untuk ibu mentuanya. Sedangkan Sejuk malah berhenti di halaman untuk melanjutkan hujan-hujanan.
“Hei ayo ke sini.” Teriak Mita pada Sejuk, yang tentunya diabaikan anak gadisnya itu.
“Sudahlah dia baik-baik aja kok main hujan.” Neneknya membela Sejuk.
Kalau sudah begitu, pasti Mita akan diam dan mengalah. Lagi pula ia juga belum pernah mendapati Sejuk jatuh sakit karena main hujan. Bahkan diusianya yang menginjak ke 22 tahun pun belum pernah ia sakit karena hujan-hujanan. Jadi tidak ada alasan lebih jauh lagi untuk memaksa Sejuk menepi dan berteduh ke teras.
***
“Nenek… Segar sekali nek hujan sore ini. Kapan-kapan kita hujan-hujanan lagi ya?” ungkap Sejuk sembari menghampiri nenek, ibu, juga bapaknya yang sedang di ruang tamu menonton televisi.
“Ah, kamu tak boleh hujan-hujanan lagi.” Jawab Mita yang dengan sigap kini sudah membantu mengeringkan rambut Sejuk dengan handuk. Sedangkan Mat justru mengambil kesempatan itu untuk memindah acara televisi dan menggantinya dengan pertandingan sepak bola. Nenek yang mengetahui itu hanya diam saja, justru menikmati kopi yang masih hangat yang baru saja dibuatkan Mita untuknya.
“Kita beruntung, lho, Ma, tinggal di kota yang curah hujannya tinggi.”
“Bukan berarti kamu bisa main hujan terus-terusan begitu!”
“Iya, Ma, lagian aku kan tak pernah sakit hanya karena hujan-hujanan.”
“Hmmm kamu kalau dikasih tahu selalu saja menjawab.” Keluh Mita yang mulai kalah argumen dengan anak gadisnya itu.
“Oiya Mama tahu tidak, sebutan orang yang suka dengan hujan?”
“Apa?”
“Pluviophile.”
“Ah, bahasa apa itu?”
“Izinkan dulu aku main hujan lagi, Ma, nanti aku kasih tahu itu bahasa apa.”
“Hmmm…”
“Itu aku dikasih tahu sama Om Pendaki temannya Bapak yang kemarin ke sini, Ma.”
“Dia bilang apa?”
“Om itu memanggilku Gadis Pluviophile, lagian tadi pas hujan-hujanan Nenek juga cerita, kalau waktu lahir dulu aku menangis tak kunjung berhenti. Dan berhenti ketika hujan turun.”
“Jadi, kamu mau bilang sudah ditakdirkan suka dan bersahabat sama hujan?”
“Ya mungkin begitu, Ma. Hehe” sambil terkekeh Sejuk pun meninggalkan ibu, nenek, juga bapaknya menuju ke kamar. Selain mau mengerjakan skripsi yang tak kunjung selesai, ia juga akan menuliskan pengalamannya hujan-hujanan bersama neneknya sore tadi. Sudah menjadi kebiasaannya memang, selalu menulis berbagai hal tentang apa saja yang ia lakukan bersama hujan. Ia pun tak henti-hentinya bersyukur dilahirkan di sebuah kota dengan curah hujan yang tinggi, seperti kota Malang ini.
Mei, 2020
Penulis, A. Muhaimin DS , lahir di Nganjuk (Kota Angin). Seorang penikmat cerita dan penyuka perjalanan. Menulis cerpen, puisi dan catatan ringan tentang kesejukan hidup.
No. Hp : 0857-4579-3873
- Yuang Sewai: Poli samo jo Voli - 8 Desember 2024
- Bincang Karya Pertunjukan Harimau Pasaman oleh Lintas Komunitas di Pasaman - 2 Desember 2024
- Cerpen Celana Dalam Robek | Thomas Elisa - 24 November 2024
Discussion about this post