
Ia selalu memandang ke arah matahari terbaring saat hari menunjukkan pukul 6. Seolah bertanya, dunia mana lagi yang dituju matahari itu, apakah dunia di sana penuh dengan kejutan atau malah penuh dengan kejahatan yang tak pernah diajarkan di sekolah-sekolah. Mungkin saja matahari pergi membunuh dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada pikiranku sendiri terhadap dirinya. Memang, Fariz adalah seseorang yang selalu ingin tahu apa yang tidak tampak di matanya, bahkan semenjak aku mengenalnya, banyak pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri tak sadar dengan pertanyaan itu. Pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya begitu ragu akan kemana ia nanti setelah warna rambutnya tak lagi membiru seperti sekarang.
Begitulah aku mengenal sosok Fariz, orang yang pandai dalam beragaul tapi tidak pandai dalam menerka apa yang terjadi di sekitarnya. Kemarin, aku kembali melihat Fariz duduk di lantai atas rumahnya tempat dimana ia selalu mengutil matahari ketika pamit dengan indahnya. Dengan secangkir kopi susu ditambah dengan gorengan menjadi ciri khas seorang Fariz. Entah apa yang ia pikirkan setiap kali duduk di atas rumahnya itu, tapi ia terlihat meyakinkan sebagai orang yang sedang tidak baik-baik saja setiap kali aku melihatnya tepat pukul 6 sore.
Fariz yang sudah kukenal kurang lebih 5 tahun, semenjak ia dan keluarganya pindah ke desa tempatku tinggal. Pertemuan kami dimulai saat Fariz Sedang berjalan sendirian di gang menuju rumahnya. Ia menyapaku duluan, maklum anak baru di daerah sini. Aku membalas sapaan Fariz dengan sedikit getir, maklum, namanya juga akamsi alias anak kampung sini. Tapi dari pertemuan singkat itu aku mulai akrab dengan Fariz, aku mulai mengajaknya untuk duduk di pos ronda setiap malam. Sekedar untuk meneguk kopi keliling yang biasa mangkir di pos ronda tersebut.
Suatu malam, aku mengajak Fariz untuk duduk di pos ronda dan ia mengiyakan ajakanku, Jarak dari rumah Fariz ke pos ronda sebenarnya tidak jauh, tapi cukup untuk membuat kami ngos-ngosan, maklum anak muda yang jarang olah raga. Di perjalanan menuju pos ronda, aku bertanya tentang kebiasaannya yang sudah lama ingin aku tanyakan.
“Riz, apa yang menyenangkan dari menatap matahari di sore hari?”
“Maksudmu?”
“Aku heran dengan kebiasaanmu, setiap sore duduk di atas atap rumah, selalu, sebenarnya apa yang kau lakukan?”
“Ah tidak, aku hanya melepaskan penat setelah seharian bekerja”.
Fariz tampak kebingungan ketika pertanyaan itu aku lontarkan. Kadang kala ia selalu gagap jika aku melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang mendadak dan spontan. Ia juga kerap mengalihkan pembicaraan jika ia sudah merasa disudutkan.
Sesampainya di pos ronda, seperti biasa, kopi keliling yang menjadi langganan kami sudah menanti kehadiran aku dan Fariz. Seorang laki-laki, seperti seumuran dengan ayahku, yang menjual berbagai kopi dagangannya. Menggunakan sepeda tua yang biasa ia bawa berkeliling dan pemeberhentian terakhirnya di pos ronda tempat biasa aku duduk.
Aku dengan kopi hitam kebiasaanku. Entah kenapa, aku tidak terlalu suka mencampur kopi dengan apa-apa. Bahkan kalau bisa kopi hitamku tidak dibuat dengan manisnya gula. Berbeda dengan Fariz, yang tidak suka dengan kopi pahit, ia selalu memesan kopi susu. Anehnya, ia selalu meminta susu lebih banyak dari kopinya.
Seperti biasa, kami duduk di sekitar pos ronda dan menyeruput kopi yang perlahan mulai dingin sembari berbincang ringan. Mengenai dunia pekerjaanku dan bagaimana Fariz di dunia pekerjaannya. Kami selalu bertukaran pikiran, terkadang juga berbagi keluh kesah satu sama lain.
“Sebenarnya aku cukup lelah” ucap Fariz.
“Lelah? Lelah dengan pekerjaanmu?”
“Tidak, kau tau apa yang menyebabkan seseorang bunuh diri?”
“Ha, bunuh diri?”
Pertanyaan Fariz membuatku sedikit kaget dan khawatir denganya. Karena tak biasanya ia menanyakan hal seperti ini. Tetapi jika diingat lagi beberapa hari kebelakang, Fariz memang sedikit aneh ditambah warna rambutnya yang ia cat seminggu lalu. Fariz merubah warna rambutnya menjadi warna biru gelap. Membuatku ingin menertawakan Fariz sebenarnya. Tapi aku tak ingin membuatnya tersungging, hahaha maksudku tersinggung. Oh ya, aku ingat Fariz pernah mengucapkan ia tidak suka mewarnai rambut meskipun ia bekerja di pabrik penghasil warna rambut. Tapi sekarang ia bersikap bertentangan dengan ucapannya itu. Namun, kelakuan aneh Fariz ini bermula ketika aku mendengar keributan di rumahnya, siang saat aku hendak pergi ke warung. Aku mendengar suara heboh dari dalam rumahnya, tapi aku tak berani ingin tau lebih dalam.
Semenjak kejadian itu, Fariz menjadi lebih aneh dalam berperilaku. Keanehannya ini juga ditambah dengan sikapnya yang terkadang dingin saat bersamaku. Sesekali ia juga tampak menyeramkan dengan ketawa tipisnya, membuat bulu kuduk melawan gravitasi.
Ketika malam menunjukkan pukul 11, tepat di depan pos ronda tersebut ada sebuah bangunan yang pembangunannya tidak dilanjutkan, dikarenakan beberapa bulan yang lalu ada perempuan yang gantung diri di sana. Fariz mulai beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju bangunan tersebut. Melihat-lihat sekitaran bangunan yang tampak seperti rumah hantu, bahkan sesekali ia juga masuk ke dalam area pembangunan itu. Entah apa yang ia cari sampai-sampai aku harus turun tangan buat mengingatkannya.
“Oi Riz, jangan ke situ”
“Memangnya kenapa?”
“Kau tidak lihat, bangunan itu sangat gelap?”
“Aku hanya ingin melihat-lihat sekedar mencari angin.”
Tak lama setelah itu, Fariz mengajakku pulang karena esok pagi ia harus berangkat lebih awal. Di perjalanan pulang, lagi-lagi Fariz menanyakan hal yang membuat bulu kudukku berdiri. Entah apa yang ada di pikirannya, tampaknya Fariz berada di fase sulitnya saat ini. Sebenarnya aku sendiri bingung dengan keadaan Fariz yang makin hari makin aneh ini. Tapi aku selalu mencoba untuk berpikiran positif terhadapnya. Mengingat pertanyaan Fariz yang membuatku cemas, aku mengajaknya untuk mempercepat langkah agar bisa cepat sampai di rumah. Dan lagi, sebelum kami berpisah di depan rumah Fariz, ia kembali berbicara yang tidak-tidak.
“Sebentar, kau masih ingat dengan omonganku bahwa aku tak suka mewarnai rambut, meskipun aku bekerja di pabrik pewarna rambut, kan?”
“Masih Riz, kenapa memang?”
“Aku hanya ingin memberi tahumu sesuatu, hanya padamu. Tidak ada manusia yang bisa bertahan lama dengan apa yang ia rasakan, yang membuatnya terlalu jatuh dan terlalu sakit. Pada akhirnya, kita adalah orang yang kalah dengan apa yang tidak bisa kita kendalikan. Mungkin, ada saatnya kita menepi atau benar-benar hilang di dunia ini. aku selalu menikmati pamitnya matahari dengan indah, ia seakan mengucapkan selamat tinggal, selalu, setiap aku memandangnya dengan seksama. Tapi baiknya, ia selalu kembali. Aku juga ingin seperti matahari, pergi tapi bedanya…. ah, sudah malam kita lanjutkan besok saja, ya.” Dia tersenyum tipis di akhir pembicaraan itu.
Mendengar ucapan Fariz tersebut, aku tak bisa menjawab apa-apa, aku hanya terdiam dan terpaku seolah aku larut dalam ucapan Fariz. Larut dikarenakan aku tak mengerti apa maksud dan tujuan ia berbicara seperti itu. Terlalu banyak teka-teki yang ada pada dirinya, sehingga aku sulit menebak diri Fariz. Aku juga takt ahu apa yang akan dilakukannya setelah ini, tapi yang penting aku akan selalu menjadi pendengar bagi Fariz.
Fariz masuk ke rumahnya sedangkan aku melanjutkan perjalanan menuju rumah. Sepanjang jalan menuju rumah, kepalaku dipenuihi oleh pikiran yang disebabkan kata-kata dari Fariz tersebut, seolah otakku mencoba menerka apa maksud dari ucapannya itu. Tapi, untuk kesekian kalinya aku mencoba berpikiran positif, menghilangkan pikiran-pikiran yang seharusnya tidak aku pikirkan dan tidak akan terjadi apa-apa dengan Fariz. Namun, sekuat apapun aku mencobanya sekuat itu juga pikiran itu menusuk kepala belakangku. Aku mencoba menutup mata sekuat yang kubisa ketika sampai di rumah, namun cukup sulit karena kepalaku masih dipenuhi oleh ucapan Fariz sebelum berpisah tadi. Sampai aku benar-benar terlelap sebab kepalaku sudah lelah dengan memikirkan itu.
Keesokan harinya, sore, tepat jam 6 aku kembali lewat di depan rumah Fariz hendak menuju warung yang ada di simpang jalan. Namun anehnya, aku tak melihat Fariz di lantai atas rumahnya. Tak biasanya, sebab setiap jam 6 sore ia selalu duduk di sana dan menikmati merahnya langit diiringi kepergian matahari. Atau ia belum pulang dari tempat kerjanya. Menjelang menuju simpang yang ada di jalan ini, aku tersentak karena melihat Fariz yang entah darimana. Ia tampak berbeda sekali, wajah tak karuan, emosinya juga tampak tak beraturan, langkahnya cepat membuatku heran apa yang terjadi dengannya. Tapi aku tak berani menganggu atau sekedar bertanya padanya. Ia berjalan begitu saja ketika berselisih denganku, tidak ada sapaan seperti biasa, tak apa, mungkin ia juga tak ingin diganggu saat ini. Tak ingin berlama-lama dengan memikirkan sikap Fariz tersebut aku melanjutkan langkah menuju warung untuk membeli sesuatu yang dapat memperpanjang napasku.
Malam hari, seperti biasa, aku kembali ingin mengajak Fariz untuk nongkrong di tempat biasa, pos ronda dengan kopi kelilingnya. Aku selalu mengabari Fariz via chat WA, namun anehnya, Fariz yang selalu membalas pesan singkatku kini tidak ada kabarnya, tak biasanya ia seperti ini, bahkan WA nya pun tidak aktif. Tak kehabisan akal, aku mencoba menelponnya menggunakan telepon seluler. Namun, usahaku tak membuahkan hasil, Fariz tatap saja tak ada kabar. Entah kemana ia pergi malam ini, yang kutahu tak bisanya, ia seperti ini.
Selepas sholat isya, betapa kagetnya aku mendengar kabar bahwa Fariz ditemukan meninggal bunuh diri. Ia ditemukan tergantung pada kayu penyangga batu bata di bangunan yang tak siap pengerjaannya itu. Badanku terasa sangat lemas padahal, sore tadi aku baru saja bertemu dengannya walaupun tanpa sapaan seperti biasa. Sore itupun menjadi pertemuan terakhirku dengan Fariz.
Beberapa hari sebelum kejaadian ini, aku sempat bertemu dengannya, siang sebelum waktu jam makan. Waktu itu di depan pos ronda, aku ingat betul Fariz pernah bersumpah dengan tegas.
“Aku bersumpah atas namaku sendiri, inilah tempatku, tempat di mana tak ada lagi masalah, tempat dimana aku akan bahagia, dan dimana aku akan pergi selamanya bersama matahari tanpa kembali.”.
=================
Biodata Penulis: Imam Nugraha Harnedi lahir di Padang, 31 Maret tahun 2000. Kuliah di Universitas Andalas program studi Sastra Indonesia. Giat dalam menulis puisi, cerpen, dan essai.
Instagram: @imamharnedi
- Festival Tanah Ombak: Pelatihan Sastra Anak “Melatih Nalar Sejak Dini” - 18 September 2023
- Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar | Siregar - 16 September 2023
- Cerpen Hasbunallah Haris | KKN Konciang - 9 September 2023
Discussion about this post