Seperti apa rupa do’a-do’a kita saat menghadap Tuhan?
Layakkah penyesalan-penyesalan kita bertemu di haribaanNya?
Bangga S. Nagara, Doa yang Berjumpa
Rintik baru saja reda. Bau hujan masih bersisa. Ia menghirup nafas dalam-dalam, mengisi paru-paru tua yang tinggal sebelah, sebelah lagi sudah dibuang dalam sebuah operasi beberapa tahun lalu. Berdalih untuk mencari inspirasi, tembakau laknat menjadi temannya sepanjang waktu. Ia seorang penulis, begitu orang-orang mengenalnya dulu. Penulis roman yang membuat tergila-gila banyak gadis. Nasihat-nasihat cinta dalam tulisan menjadikannya idola. Namun berbeda jauh dengan kisah cinta saat ia membuka mata. Istrinya pergi membawa buah cinta mereka, berlalu tanpa berita, hilang tanpa cerita, hanya secarik kertas yang bertuliskan “ AKU TAK TAHAN HIDUP DENGAN PEMIMPI”. Sejak itu, ia tak lagi menulis.
Mungkin percumbuan setiap waktu dengan tokoh-tokoh imajiner yang hidup di dalam kepala membuatnya mengacuhkan semua yang terjadi di sekitar. Saat bangun dari mimpi-mimpi itu, istrinya pergi, putranya raib, ia menua. Dalam sepinya senja, ia hanya bertemankan sebuah tongkat penguat kaki nan rapuh dan lutut yang goyah. Ketika angin sore menerpa teras rumah, ia meratap dalam dingin. Tak ada pelukan yang mendekap memberinya hangat. Harusnya semburat senja berwarna indah, namun tidak baginya. Setiap malam menjelang, hatinya dingin, jiwanya pilu, jauh di sudut palung dalam dada ada sebuah lubang, ia terluka. Terkoyak karena ketidakpeduliannya selama ini.
“Tuhan, ampuni aku yang dulu. Sebelum mati, ijinkan aku merasakan hangat dekapan seorang kekasih. Malam ini begitu dingin,” penulis tua itu merintih dalam hati.
Melawan arah turunnya embun, do’a penulis tua itu naik ke atas, melesat cepat. Menuju singgasanaNya. Menunggu dikabulkan dengan jawaban yang paling benar menurut Tuhan.
***
Sudah seminggu sejak kematian sang suami. Wanita itu mengambil cangkul di sudut rumah, memikulnya di bahu, menuju ladang jagung tak jauh dari kediamannya. Sekarang ia hidup tanpa teman, berjuang menyambung hidup dalam kesendirian. Jalan setapak gersang ia lewati bertemankan lamunan. Sesampai di ladang, ia tercenung, apa yang hendak diolah, ladang kering kerontang. Sejak pemakaman, hujan tak kunjung turun.
Ia melepaskan pandangan jauh ke ujung ladang. Air matanya berlinang. Kesepian membuat pikirannya terbang melintasi waktu, jauh ke belakang. Seorang bocah laki-laki bermata bulat hadir di dalam kepalanya. Tawa dan tangisnya terngiang jelas di kepala wanita itu. Wanita itu terduduk, tertunduk menghadap tanah, air matanya deras, jatuh di tanah yang pecah.
“Aku mau ikut, bu…” seorang bocah kecil memohon. Air mata membanjiri wajahnya.
“Kamu di sini dulu, ya, nak, nanti kalau Ibu sudah selesai kerja, Ibu jemput kamu lagi,” jawab wanita itu dengan isak tertahan. Lalu ia pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.
Perasaan bersalah kembali menghantuinya, menyisakan berlapis-lapis penyesalan. Sekarang ia hanyalah seorang wanita renta yang tak bisa berbuat banyak. Keinginan menjumpai buah hatinya lagi adalah sebuah kemungkinan yang sangat kecil, bak mencari jarum di tumpukan jerami. Ditambah lagi ketakutan yang bersarang dalam dadanya, “DIA PASTI SANGAT MEMBENCIKU.”
“Tuhan, ampuni aku yang dulu. Sebelum mati, ijinkan aku bertemu sekali saja dengan putra yang pernah aku sia-siakan. Hati ini begitu gersang,” wanita renta itu merintih dalam hati.
Bersama angin sore nan kerontang, do’a wanita renta ikut terbang ke langit, meliuk-liuk, berputar-putar, lalu berlabuh di haribaanNya. Menunggu dikabulkan dengan jawaban yang paling benar menurut Tuhan.
***
“Selamat malam mas, mau saya temani?”
“Kalau sampai pagi lima ratus ribu…”
Malam baru beranjak naik, tawar menawar terjadi di sebuah jalan kecil, para penjaja kenikmatan berpose dengan pakaian terbaik mereka. Asap rokok mengepul dari bibir merah, buah dada terpampang bagai barang murah. Di ujung jalan, seorang bocah duduk dengan roti di tangannya, roti yang baru saja ia peroleh dari sebuah tong sampah. Ia makan dengan lahap, tanpa peduli pada keadaan sekitar. Malam ini ia bahagia, makan sepotong roti yang nyaris utuh.
Selesai makan malam, ia menyusuri jalanan tempat maksiat menjadi uang, uang menjadi kenikmatan. Satu per satu ia perhatikan setiap wanita di pinggir jalan, tak jua ia temukan paras yang mirip dengan sebuah potret yang disimpan di kantong celananya. Di setiap tapak kakinya dalam remang-remang lampu jalan, ia menyimpan rindu yang tebal, memendam angan tentang kasih sayang, ah, dimanakah engkau wahai Ibu?
Terkadang ia meragu, adakah sosok makhluk bernama Ibu untuk dirinya? Ataukah hanya sebuah cerita dongeng dan mitos belaka?
Malam kian pekat, udara tambah dingin. Di emperan toko, bocah kecil itu meringkuk diantara penghuni jalanan yang lain. Hari ini ia lelah sekali, membuat tidurnya sangat lelap. Bibirnya mengukir seulas senyum, seorang perempuan muda bertamu ke dalam mimpi, bersama seorang pria tampan berdasi, datang mendekapnya erat. Hilang sudah dinginnya malam.
“Ibu, Ayah, tetaplah di sini, jangan tinggalkan aku lagi,” bocah itu meracau.
Seorang bocah kecil, meringkuk dalam dingin, do’a terucap dalam igauan mimpinya, melesat cepat ke langit tertinggi. Menunggu dikabulkan dengan jawaban yang paling benar menurut Tuhan.
***
Nun jauh di sebuah istana megah, seorang pria mondar-mandir gelisah di atas balkon rumahnya, sesekali menatap nanar ke arah lampu-lampu kota yang masih kerlap-kerlip, semakin larut kota semakin hidup.
Hatinya gelisah, jiwanya resah. Bermula saat tanpa sengaja sebuah foto terjatuh dari laci kerjanya, seorang gadis muda berambut panjang. Foto itu membuat ketenangan hidupnya hilang, juga selera makan ikut sirna.
Enam tahun silam, perjumpaan tanpa sengaja dengan Arini-nama gadis itu- di sebuah tempat hiburan malam, membuat ia jatuh cinta. Di matanya, Arini sungguh berbeda dengan gadis-gadis lain yang pernah ia temui. Pucuk dicinta ulam pun tiba, cintanya berbalas.
Gelora cinta membuat dua insan lupa pada dunia. Gadis itu mengandung benih cinta mereka.
“Bukankah kau mencintaiku mas?” gadis itu menangis mendengar jawaban pria yang dicintainya.
“Tidak sesederhana itu Arini, aku seorang pria terhormat, aku mempunyai istri dan anak. Apa kata orang-orang jika aku punya anak dari wanita sepertimu,” jawab pria tanpa merasa berdosa.
Arini pergi, berlari meninggal pria yang pernah ia cintai, sekarang berubah benci sampai ke ubun-ubun.
Sejak saat itu, Arini menghilang. Sekeras apapun ia mencari untuk menebus kesalahan, tidak juga ada titik terang tentang keberadaan gadis itu, kecuali berita bahwa Arini melahirkan seorang putra sebelum ia menghilang ditelan bumi.
Tiba-tiba ponsel pria itu berbunyi.
“Baik, aku ke sana sekarang,” ujarnya kepada seseorang yang berbicara di seberang sana.
“Semoga kau memang putraku, yang dilahirkan Arini,” gumamnya.
“Aku dulu pernah ditelantarkan Ibuku, dan kau tidak akan aku sia-sia kan,” ia berjanji kepada dirinya sendiri.
“Jika aku tidak bisa menemui Arini, dan memohon maaf padanya, ijinkan aku memeluk buah cinta kami ya Tuhan. Meski aku paham, ini begitu kotor di mataMu,” ia berdoa lirih, air matanya jatuh.
Bersama sebuah penyesalan besar, do’a pria itu diam-diam naik dalam kelamnya malam. Malu-malu merangkak ke hadapan Pemilik Kasih dan Sayang. Menunggu dikabulkan dengan jawaban yang paling benar menurut Tuhan.
***
“Permisi….permisi…” seorang bocah laki-laki mengetuk sebuah rumah kecil. Tubuhnya basah oleh hujan. Ia menggigil. Kedinginan.
Seorang laki-laki tua membuka pintu. Tertatih ia berjalan dibantu sebuah tongkat.
“Ada apa, nak?” tanyanya pada si bocah.
“Pak tua, bolehkah aku berteduh di teras rumahmu? Aku kehujanan,” pinta si bocah penuh harap.
“Oh tidak…kau masuk lah ke dalam, hangatkan tubuhmu nak, jangan di sini,” ujar laki-laki tua dengan wajah penuh kasih sayang.
Hujan semakin deras, bocah laki-laki tertidur pulas setelah menikmati secangkir coklat hangat. Laki-laki tua itu masih mentatap wajah kelelahan si bocah sambil melihat potret anak kecil di tangannya.
Lalu ia menangis. Tuhan telah menjawab do’a dengan cara yang paling benar menurutNya.
Penulis, Bangga S. Nagara
Discussion about this post