
Seperti pagi sebelumnya. Suara wanita yang terdengar lantang di telingamu menjadi alarm bahwa kau harus beranjak meninggalkan; kasur, bantal dan guling beserta selimut tebal bermotif klub sepak bola kesayanganmu. Sejenak kau masih merasakan kasur dan selimutmu serupa magnet yang terus menarik. Namun kau perlahan membuka sedikit demi sedikit matamu dan mengambil kesadaran yang sebelumnya masih melayang di luar kepalamu. Lalu mencoba mengusir malas yang masih mengimpit pikiranmu.
Kau memaksakan langkah kakimu menuju meja di sudut kamarmu, yang di atasnya masih berserakan buku-buku yang kau beli dan sebahagian buku temanmu yang lupa kau kembalikan. Seketika Matamu tak berkedip beberapa detik melihat amplop coklat yang semalam kau tulis. Di bagian kiri atas dan pojok kanan bawah telah tertera namamu dan penerima. Seketika ingatanmu masuk menghantam tengkorak kepalamu dan membuat kau sadar sepenuhnya, bahwa hari ini kau akan pergi bersama temanmu mengantar amplop coklat yang berisi sebuah lembaran tipis yang merupakan hasil cetak olahan bubur kayu, orang-orang sepakat menyebutnya kertas.
Wangi aroma masakan yang merangkak masuk ke bilikmu menambah kesadaran bahwa kau belum makan dari semalam. Aroma yang berat di udara terasa bisa kau pegang dan dimasukan ke dalam mulutmu, semakin membuat cacing dalam perutmu meronta menjerit.
“Masakan ibu” Ucapmu sembari berlari kecil sambil memapas handuk yang tergantung di balik pintu bilik yang sudah sedikit mengering dan berbau apek. Terakhir kali kau menggunakannya dua hari yang lalu.
Suara yang sebelumnya terdengar begitu mengusik tidurmu, kini terdengar begitu penuh kehangatan. Memintamu segera mandi dan segera menikmati masakan yang telah ia siapkan sebelum kau bangun dari tidurmu. Kau sepintas menatap ibumu yang masih sibuk dengan pekerjaan dapurnya, dan kau segera berlalu menuju kamar mandi yang bersebelahan dengan dapurmu.
Sentuhan air yang membasahi sekujur tubuhmu memberikan semangat dan kesegaran tersendiri. Kau terus menyirami tubuhmu, terus, terus dan terus hingga dayungmu bergesek dengan dasar bak mandi, kau menoleh ke arah bak mandimu dan menyadari air bakmu hampir habis hanya menyisakan lima sentimeter. “Bu…! Airnya habis?” Kau berteriak agar ibumu mendengar. “Iya!!! Mesin pompa air kita rusak, nanti siang tukang servis baru akan memperbaikinya,” sahut ibumu yang terus menggaduk masakannya yang masih dijerang. Kau menyudahi dengan guyuran terakhir yang sedikit bercampur kerak yang berada di dasar bakmu.
Pagi itu kau mengenakan kemeja putih bergaris horizontal, dan celana hitam bahan. Setelah berpakaian rapi segera mungkin kau bergegas menuju meja makan dan menyantap makanan yang telah disajikan ibumu. Sedikit basa-basi kau berkata “Ibu nggak makan sekalian?” Dan kau terus bertanya dengan mulut yang terisi penuh makanan “bapak sudah berangkat ke kebun Bu?” Dan ibumu menjawab satu persatu pertanyaanmu, lalu mendekatimu mengusap rambutmu yang telah kau sisir sembari berkata, “Jangan lupa berdoa sebelum berangkat ya!” Kau hanya mengangguk pelan.
Pada setiap doa bagimu barangkali hanya serupa dengan nyanyian maupun caci maki, amin yang terucap belum juga didasari dari iman. Hidup kadang memang tak selalu sesuai harapan, dipaksa menelan pahit kenyataan. Menganggap Tuhan tak pernah adil dalam kehidupan.
Dalam pikirmu terbesit perjuangan kedua orang tua yang begitu menaruh harapan padamu. Harapan yang diberikan padamu merasa membebani pundakmu, semakin lama kau jadi pengangguran kau merasa bebanmu semakin bertambah beratnya. Terpintas dalam ingatanmu menjadi kanak-kanak lebih menyenangkan, tak ada derita yang dibawa kecuali bayangan sapu lidi menunggu di rumah jika kau telat pulang dan pergi mengaji.
Suara yang terdengar dari balik pintu depan rumah membuatmu harus terburu-buru menyelesaikan makanmu. Kau berpikir, membiarkan seseorang menunggu terlalu lama tidak baik. Kau tahu temanmu telah menunggu di beranda rumah.
Kau dan temanmu, beberapa hari yang lalu telah berjanji akan pergi mengantarkan surat lamaran kerja yang telah kau tulis semalam. Bersama tinta hitam kau menyatakan niat dan segenggam harapan yang telah kau bungkus bersama amplop coklat itu. Semalaman kau membaca mantra-mantra yang kau yakini, berharap kau dan temanmu diterima bersama di perusahaan yang sama.
Pada akhirnya setelah lebih kurang 30 menit, motor yang kau tumpangi berhenti di samping pagar sebuah perusahaan yang baru setahun lebih berdiri. Kau menatap takjub melihat pagar beton yang mengelilingi perusahaan itu. Tak Satu pun mata bisa menembus pagar-pagar beton itu. Ia seperti berdiri sombong melindungi tuannya dari pelbagai hal yang membahayakan.
Lalu kau dan temanmu berjalan menuju pos samping pagar yang dijaga dua orang satpam yang tak kau kenali. satpam itu seketika menghampiri kalian. Matamu tertuju dan terpaku pada perut yang kau kira wanita hamil lima bulan, kau berusaha mengalihkan pandanganmu. Namun satpam itu lebih dahulu menyadari bahwa kau terus menatap perutnya. Ia merasa kesal dengan tatapanmu. Matanya hendak keluar melototmu.
Raut wajahnya gusar, dia menyadari bahwa kau melirik dan ingin menertawai perutnya. Dia hendak memarahimu dan mengata-ngataimu. Namun temanmu terlebih dulu memotong ucapannya “Aku keponakan bapak Sulistyo, aku ingin menemuinya,” ucap temanmu. Satpam seperti lupa dengan amarahnya dan kata yang ingin ia ucapkan dari gerak mulutnya membelot menjadi, “Tunggu sebentar, akan saya hubungi beliau. Satpam itu berlalu meninggalkan kalian menuju ruangannya. Kau berpikir itu tidak seperti yang kau bayangkan ketika melihat raut wajah satpam dan gerak mulutnya.
Kau terus memandanginya dari luar ruangan. Tangan kirinya menggenggam gagang telepon, lalu tangan kanannya menari-nari menjepit pena di atas buku yang telah tersedia di meja. Dan kau terus melihat gerak-gerik mulutnya kau merasa ia seperti membacakan mantra penolak hujan, namun kau tak pernah paham apa yang ia ucapkan dari ruangannya.
“Sudah jangan dipikirkan!!” Selah temanmu sembari menepuk pelan bahumu, seolah-olah dia tahu apa yang kau pikirkan. “Nanti aku akan minta bantuan kepada pamanku, beliau punya peran besar dalam berdirinya perusahaan milik mata sipit di tanah sengketa ini.” Selah temanmu. Kau hanya membalas dengan senyuman dan membenarkan apa kata temanmu.
Seketika angan membawamu mengembara ke mana-mana, udara yang kering berembus membelai rambutmu terasa menyejukkan. Maju jauh ke masa depan, kau membayangkan bekerja di perusahaan milik mata sipit dan menerima upah tiap bulan, yang nanti akan kau bagi kepada orang tuamu dan bisa sedikit membantu ekonomi keluargamu, lalu kebutuhan sekolah daring adikmu. Yang sejak pandemi melanda, mengharuskan setiap pelajar memiliki Android dan banyak kuata untuk belajar daring. Lalu menyisihkan sedikit uang tabungan untuk menikahi tambatan hatimu.
Sontak angan kembali menghempas dan membawamu ke masa lampau.
Pukul enam lewat selepas magrib kala itu kau bertemu kekasihmu di kedai kopi pinggir jalan, dia tersenyum berjalan dengan anggun menuju arahmu. Setiba di dekatmu, dia langsung menggeser kursi dan berdanguk di sampingmu. “Kamu harus menemui orang tuaku,” ucapnya dengan nada tegas. Rasanya sebuah bom meledak di telingamu, pikiranmu jadi tak menentu. “Untuk apa?” Jawabmu. “Aku tidak ingin menikah dengan siapa pun, kecuali denganmu.” Kau terentak mendengar ucapan yang keluar dari mulutnya. “Aku belum bekerja, bapak dan ibu kamu pasti menolak aku mentah-mentah,” ucapmu sembari menyeruput kopi hitam yang semula terasa manis menjadi sedikit lebih pahit.
Kau membayangkan yang belum kau bayangkan. Pikirmu untuk menyatukan dua keluarga tidaklah segampang itu, pikiranmu semakin kacau dihantui apakah orang tuanya bisa menerimamu, ditambah lagi semenjak kau diwisuda kau belum mendapat penghasilan sendiri, kau terlahir dari keluarga yang tidak terpandang di mata orang yang mengukur segala dengan harta.
Kau telah ke sana-kemari menitipkan amplop lamaranmu, sebuah harapan yang besar kau titipkan bersama amplop coklatmu. Namun yang tak kunjung berbuah sebuah panggilan dan kemenangan.
Kau tertunduk lesu, pikiranmu kusut. Suara klakson yang saling sahut-menyahut seakan ikut merayakan asamu yang kian luruh. Di benakmu masih membayang wajah orang tuamu, yang menaruh harapan padamu. Senyuman tipis wanita yang kau cintai seakan-akan kian meredup ditelan tawa besar tawa yang tak kau kenali. “Dewasa tak pernah menjadi menyenangkan, selalu terjebak dalam ambisi pemenuhan keinginan hidup,” umpatmu.
Lamunanmu terusik ponsel yang berdering di saku celanamu. Dan kau menyadari bahwa temanmu telah berada di ruang tunggu satpam. Kau berlari kecil menuju pos satpam sembari tersenyum kecil membayangkan kata yang diucapkan temanmu beberapa menit yang lalu, kau melihat segumpal harapan dan cahaya terang yang menunggumu di sana. Berharap amplop coklat yang kau tulis semalam menjadi sebuah panggilan, bersama orang dalam kenalan temanmu.
Penulis
Tommi Aswandi pada tanggal 22 September di Kenagarian Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
Instagram : tommy_aswandi
Surel :[email protected]
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post