Pukul 9 pagi panggilan boarding menyalak keras, pesawat tujuan Jakarta ke Makassar siap terbang. Sarmin pun bergegas meneteng tas ransel bututnya dengan berat hati, ia tak begitu menyukai perjalanan dengan menggunakan pesawat udara. Tugasnya sebagai aktivis lingkungan hidup membuat dirinya harus sering berpergian, Sarmin lebih memilih moda transportasi darat atau laut daripada udara.
Kengerian saat berada di atas ketinggian ribuan kaki di atas awan membuat Sarmin merinding biarpun pesawat masih menjadi moda transportasi teraman saat ini biarpun kecelakaan dapat terjadi sewaktu-waktu. Memasuki lorong kabin pesawat layaknya memasuki labirin yang gelap dan menyesatkan tapi berujung ke seorang pramugari cantik dengan balutan rok ketatnya menyapanya.
Dari semua kecemasan yang Sarmin alami, hal Itu yang sedikit memberikan ketenangan. Memandang lenggokan pinggul para pramugari yang aduhai jadi hiburan tersendiri, apalagi saat mereka memperagakan safety demo. Sarmin selalu mengikuti petunjuk pramugari tersebut, mulai memasang sabuk pengaman sampai mematikan alat komunikasi macam telepon pintar demi keselamatan para penumpang.
Take off jadi hal yang dibenci Sarmin, mungkin tiap orang menyukai sensasi tertarik setengah nyawa saat pesawat mengangkat rodanya. Desiran darah terasa ke sekujur tubuh, Sarmin merinding seperti nyawanya tertarik oleh malaikat izrail. Selain itu prosesi angkat bodi pesawat itu, efek turbelansi jadi momok baginya.
Pernah sekali Sarmin mengalami turbelansi hebat saat perjalanan dari Surabaya ke Singapura, lewati selat. Keadaan saat itu gelap gulita, awan tak terlihat sama sekali. Sebelumnya kapten telah memperingati akan terjadi turbelansi hebat dan agar para penumpang mengencangkan sabuk pengaman.
Seumur hidupnya, Sarmin merasa mengalami kejadian hebat dan selalu ia ingat. Turbelansi itu terjadi selama 1 menit lebih, guncangan-guncangan mengakibatkan seluruh penumpang histeris. Mereka seperti dikocok dalam sebuah wadah berbahan logam, bagasi-bagasi di atas terbuka dan semua isi semburat keluar. Masker-masker oksigen berjuntai, semua penumpang berebutan untuk memakanya tak terkecuali Sarmin.
Sarmin merasa itulah akhir hidupnya, ia mulai berdoa biarpun selama tak pernah sekalipun. Sarmin telah menjadi setengah ateis ketika terjun ke dunia relawan lingkungan hidup, saat kritis ia teringat ajaran emak dulu tentang Tuhan. Didalam hatinya, Sarmin berdoa kencang.
“Ya Tuhan, aku masih ingin hidup. Kalaupun kau inginkan mematikan aku, janganlah disini”
Doa yang pemilih dan ternyata itu dikabulkan, Sarmin pun selamat dan pesawat itu mendarat dengan mulus di bandara. Selepas keluar dari pesawat, Sarmin tak henti-hentinya mengumpat tak akan sekali-sekali lagi naik pesawat.
Tapi kali ini ia tak bisa menghindar, sponsor yang mendanai Sarmin untuk melakukan perjalanan hanya menyediakan tiket pesawat bukan lainnya. Jadi mau tak mau Sarmin menerima karena permintaan kliennya yang harus dituruti. Karena pekerjaannya itu, Sarmin harus lebih waspada karena banyak tak suka akan pekerjaannya. Hasil investigasinya bisa membuat sebuah pabrik tutup karena sistem pengolahan sampahnya atau temuan limbah-limbah popok bayi di bantaran sungai mampu berakibatkan kredibilitas pemimpin daerah anjlok.
Pekerjaan Sarmin tergolong beresiko dan mampu mengancam nyawanya, ia termasuk vokal serta tak disukai oleh para pengusasa. Terkadang Sarmin sering menyamar atau memakai nama samaran agar tidak dimata-matai dan bergerak bebas.
Pesawat itu telah lepas landas di ketinggian 10 ribu kaki, Sarmin mulai lega bahwa efek take off sudah perlahan hilang. Ia lebih rileks, Sarmin melihat sekitarnya penuh sesak dan pramugari mulai mondar-mandir membagi snack dan minuman. Disebelah Sarmin, ada seorang penumpang yang terus membaca mulai dari lepas landas. Penumpang itu memakai kacamata dan sedikit beruban, perkiraan berumur 50an lebih. Dia tak terusik sama sekali, terus tekun membaca. Sarmin tak begitu mengindahkan hal tersebut. Sarmin terlalu capek dan akhirnya terlelap tertidur.
Suara goncangan itu membangunkan Sarmin dari tidurnya, ia tersentak dari tidur hingga mau meloncat.
“Turbelansi adalah sesuatu yang biasa terjadi”
Suara serak itu berasal dari mulut pak tua berkacamata yang duduk disebelahnya tadi, Sarmin sedikit kelagapan.
“Maksudmu apa pak tua?”
“Jangan kuatir ini hanya goncangan sementara, tidak terlalu berbahaya” Sarmin tak mengubris perkataan pak tua itu, ia melongok ke jendela. Diluar sana begitu gelap tanpa awan yang bergerak. Sarmin mencoba melihat sekelilingnya, semua penumpang tertidur dan semua lampu dimatikan. Terasa janggal baginya.
Sarmin melihat jam tangan tapi sial, jarum tak bergerak sama sekali hingga tak tahu jam berapa sekarang.
“Ini sudah biasa jika selama penerbangan lampu dimatikan. Jangan kuatir”
Jawaban dari pak tua itu tak membuat kegelisahan mereda, ia berusaha berdiri dan mengarah ke toilet. Sesampai disana ia bertemu dengan salah satu pramugari tapi ada yang aneh, wajah begitu dingin dan muram.
“Tuan, silakan kembali ke tempat duduknya. Penumpang tidak diperkenankan memakai toilet saat ini”
“Kenapa begitu ?”
“Mohon tuan mengikuti prosedur pesawat ini jika ingin selamat”
Sorotan mata pramugari itu begitu tajam bikin nyali Sarmin agak ciut dan akhirnya kembali ke tempat duduknya dengan bersungut-sungut.
“Kau tenang saja, ini semua akan segera berakhir.”
Apa maksud ucapan pak tua ini, Sarmin tak begitu mengerti. Ia tak begitu mempedulikannya dan segera duduk di kursinya. Tak lama ia duduk, tiba-tiba guncangan hebat menghempaskan semua penumpang ke atas tak terkecuali Sarmin.
Sarmin melihat semua penumpang itu jungkar balik dalam keadaan tertidur, tak ada yang siuman atau tersadar. Sarmin berusaha menggapai-gapai diudara tapi tak berhasil menemui pegangan apapun, semua penumpang melayang. Sabuk pengaman yang dipakai tidak mampu menahan goncangan itu dan semua itu terlontar, Sarmin merasa bahwa pesawat ini menukik begitu kencang. Sarmin berteriak keras saat ia melihat samar-samar sayap pesawat itu terbelah dua dan memercikkan api, sekilas ia melihat pak tua disamping itu tersenyum kepadanya.
Api itu menyambar wajahnya, hal terakhir yang ia ingat hanyalah ada sebuah mesin jet pendorong menghantamnya. Gelap dan membara.
“Pak…pak !! bangun..bangun”
Teriakan itu melusup di telinga Sarmin, ia terbangun tiba-tiba dan mendapati dirinya di ruang duduk bandara.
“Kenapa aku di sini ?“
“Hei, pak. Anda sudah tertidur lama di sini. Penerbangan jam berapa?”
Sarmin tersadar mendapati dirinya di bangku ruang tunggu telah sepi dan hanya dirinya sendiri tiada siapapun. Ditangan kanannya memegang surat kabar, dihalaman depan headline mengenai pesawat hantu KL574 yang hilang diperairan selat makassar.
Sarmin menghela napas lega, apa yang terjadi tadi hanya khayalan mimpi semata bukan terjadi nyata. Kecelakaan yang dialami tadi hanya di dunia mimpi, mungkin sehabis membaca artikel pesawat hantu itu.
Ia merasa tak perlu naik pesawat lagi, keinginannya hanya pulang saja. Biar saja tiket pesawat itu hangus, kemungkinan pesawat ayang akan ditumpangi sudah tinggal landas dan ia ketinggalan. Sarmin bergegas membereskan barang-barangnya, ia bergerak ke arah pintu keluar.
Sesampai di pintu keluar, Sarmin merasa aneh karena ruangan tunggu begitu sepi tidak ada suara sama sekali. Kemana orang yang membangunkan dirinya tadi, reception juga tak terlihat atau satpam mondar-mandir tak terlihat. Sepi sunyi tanda suara siapapun. Herannya diluar sana tidak ada siapapun lalu lalang sama sekali, anehnya semua jarum jam dinding terhenti. Suasana itu begitu aneh dan merinding.
Tiba-tiba ada suara di belakang Sarmin.
“Selamat datang kembali”
Suara itu berasal dari pria tua berkacamata yang ia kenali sebelumnya dan masih tersenyum kepadanya. Sarmin tak bisa bergerak sama sekali seperti kesetrum ribuan volt apalagi matanya bisa melihat seseorang yang mirip dirinya dibelakang pria tua itu terduduk lemas dengan kepala tertunduk. Mulutnya keluar busa, mata mendelik dan ditangan kirinya masih memegang gelas kemasan kopi hitam yang sudah tercecer di lantai. Sarmin lebih terkejut lagi karena wajah dan pakaian yang dipakai sama dengannya.
Jember, Februari 2021
Penulis :
Ferry Fansuri adalah penulis kelahiran Surabaya.Salah satu juara favorit lomba cerpen “Urbanhype” Dewan Kesenian Surabaya (DKS) 2019. Sekarang menulis freelance dan sebagai admin gembelgaul.com dan jadwalbalap.com
Discussion about this post