![](https://marewai.com/wp-content/uploads/2021/09/20210927_155648_0000.png)
Festival budaya adalah sebuah agenda/acara yang mengangkat tradisi sebagai bagian dari kebudayaan-kebudayaan yang ada di suatu tempat. Tempat budaya itu berkembang. Festival dalam kategori ini adalah peristiwa yang dikelola baik oleh komunitas, atau dengan bantuan pemerintah yang telah memasukkannya ke dalam program kerjanya. Selain bertujuan menyajikan sebuah hiburan untuk masyarakat luas, Festival budaya juga memiliki tujuan lain, yaitu adanya upaya pelestarian, edukasi, dan merangkul kembali berbagai kelompok/komunitas di dalam masyarakat.
Kabupaten Pesisir Selatan memiliki kebudayaan yang beragam, tradisi-tradisi yang sarat makna tersebut berkembang secara turun-temurun. Jika bicara festival, Kabupaten yang dijuluki Negri Sejuta Pesona ini memang dikenal dengan festival Langkisau, tempat pelaksanaan ini terletak di Bukit Langkisau, Painan, ibukota Pesisir Selatan. Selain itu mungkin ada festival lainnya yang pernah dijalankan oleh pemerintah daerah ataupun pemerintah propinsi yang berlokasi di Pesisir Selatan, hanya saja tak diingat masyarakat luas seperti Festival Langkisau. Sedangkan festival yang memang benar-benar menghelat tradisi daerah bisa dihitung jari saja. Festival Langkisau sendiri memiliki banyak cabang pertunjukan, dari yang modern sampai yang lampau sekalipun. Hal tersebut sah-sah saja, dan dalam perhelatan festival memang tidak ada batasan satu pokok agenda.
Tetapi dari keberagaman isi acara festival tersebut, tentu ada tujuan pokok di dalamnya. Tujuan yang dimaksud ialah sebuah edukasi dan pelestarian terhadap apa yang sedang dihelat. Misalnya, festival silek. Tentu tujuan utama adalah pelestariannya, bagaimana silek terus melakukan regenerasinya. Dan bagaimana silek bisa berkembang dikalangan masyarakat sebagai warisan budaya yang patut dijaga.
Di Pesisir Selatan sendiri, festival-festival bukanlah sebuah hal baru lagi. Jauh sebelum meriahnya kawasan-kawasan wisata di daerah pesisir, yang sekarang marak dijadikan judul agenda festival, Pesisir Selatan sudah melakukan beragam festival sejak dulu. Hanya saja, mungkin sifatnya masih berskala kabupaten, dan promosinya mungkin tidak sederas jaman kelewat digital ini. Jadi pada bagian ini penulis berani menyampaikan, jika ada yang bertanya ataupun mengeluarkan kalimat bahwa Pesisir Selatan baru merasakan atau baru mengadakan sebuah Festival budaya dan tradisi, itu orang sangat kelewat tertinggal sekali.
Pada tulisan ini, seyogyanya penulis ingin mengucapkan selamat telah terlaksanannya Festival Biola/Barabab yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Sumatra Barat di Nagari Sungai Liku, Kampung Tanjung Gadang, Kec. Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan. Tepatnya di Sanggar Anak Nagari, yang diempu oleh seorang putra daerah Ranah Pesisir dengan basic seni rupa, Rizal MS. Acara ini dihelat sejak tanggal 25-26 September 2021, dengan serangkaian acara bertemakan tradisi daerah Pesisir Selatan, yaitu rabab/babiola. Dimana hari pertama dimulai Festival diisi dengan lomba menggambar dan mewarnai yang umumnya diikuti oleh anak-anak usia dini.
![](https://marewai.com/wp-content/uploads/2021/09/IMG-20210927-WA0004-1024x683.jpg)
Menurut penulis, festival seperti ini seharusnya menjadi langkah awal bagi sanggar-sanggar lainnya di daerah, atau anggaplah sebagai upaya komunitas daerah mendapat perhatian dari pemerintah; pemerintah kabupaten dan Propinsi. Dengan adanya festival semacam ini, paling tidak masyarakat mendapatkan hiburan dari budaya mereka sendiri. Bukan lagi tentang seremonial dan meriah musiman.
Festival yang bertemakan rabab/babiola bukanlah hal baru di Pesisir Selatan. Mengapa penulis berani mengatakan demikian? Karena Pesisir Selatan sendiri merupakan sentra kesenian itu sendiri, dan bukan pula hisapan jempol belaka.
Saat ini warisan budaya rabab dan babiola tersebar di 3 kabupaten dan kota di Sumatera Barat, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Solok Selatan. Hal tersebut juga dibuktikan dengan dikukuhkannya babiola sebagai warisan budaya tak benda tahun 2014 dengan keterangan: merupakan alat musik yang dimainkan melalui biola yang melantunkan tentang kisah (bakaba) yang bersumber dari rabab pasisie, rabab juga mengandung unsur mistik. Dalam kesenian rabab pasisie unsur magis sepertinya tak bisa dilepaskan begitu saja, hal ini seperti diungkapkan oleh beberapa tukang rabab. Unsur magis ini diperoleh dan dipelajari dari orang gaek (orang pintar). Mereka mengatakan bahwa unsur magis, atau biasa disebut dengan pitunang, ini digunakan untuk menunjang penampilan mereka di atas panggung, salah satunya untuk membuat penonton betah menyaksikan pertunjukkan sampai selesai.
Di beberapa kalangan mungkin festival rabab/babiola masih terdengar baru, atau mungkin saja mereka hanya mengenal kesenian tersebut sebagai pertunjukan rakyat yang dibawakan maestronya saja di satu acara daerah/intermesso saat acara pemerintahan. Tetapi pada kenyataannya festival tersebut sudah ada sejak lama. Kita ambil contoh saja yang dilakukan Sanggar Arai Pinang di Kecamatan Sutera, Pesisir Selatan. Salah satu Sanggar yang dulunya setiap tahun menghelat Festival biola/rabab dengan skala besar. Biasanya juga dilengkapi dengan lomba randai. Tentu upaya mereka sangat berpengaruh terhadap Iklim perkembangan kesenian tersebut, terbukti di beberapa daerah Pesisir Selatan memiliki satu atau dua generasi muda yang mau belajar kesenian tersebut. Walau tak dipungkiri juga kerap hilang setelahnya.
![](https://marewai.com/wp-content/uploads/2021/09/IMG-20210927-WA0003-1024x683.jpg)
Dengan adanya festival rabab/babiola yang diadakan Dinas Kebudayaan Propinsi Sumatra Barat di Sanggar Anak Nagari, tentu merupakan angin segar bagi pelaku kesenian tradisi rabab/babiola, terutama di Pesisir Selatan. Bagaimana tidak, di beberapa tulisan, baik cetak maupun daring, kesenian ini selalu dinarasikan sebagai kesenian yang hampir punah, atau bahasa lainnya diambang kepunahan. Sangat disayangkan narasi-narasi demikian tidak disertai dengan upaya. Ketakutan-ketakukan seperti itu berdampak kepada pelaku kesenian itu sendiri, seolah-olah kesenian hanya dibahas saat keadaan genting saja, sehingga menjadikan kesenian tradisi sebagai ajang musiman semata.
Sebenarnya yang utama adalah apresiasi dan panggung, sehingga regenarasi yang ditakutkan tak ada itu bisa melihat langsung bagaimana kesenian tersebut masih hidup dengan baik. Ditambah lagi dengan adanya sebuah festival yang baru saja dihelat di Sanggar Anak Nagari juga turut mengundang daerah yang memiliki kesamaan; Solok Selatan, Pariaman dan Pesisir Pesisir. Setidaknya masyarakat bisa melihat langsung bagaimana kesenian tersebut masih ada dan berkembang.
Pelaku kesenian dan pemerintah harus bersinergi jika benar-benar ingin melesatrikan budaya, tidak melulu soal program dan alokasi anggaran. Tapi lebih kepada apresiasi, adanya panggung bagi pelaku seni tersebut. Tidak pula melulu soal agenda besar dan skala besar. Jangan sampai paradigma masyarakat bercokol bahwa warisan budaya yang diakui secara formal tersebut adalah budaya-budaya yang hampir punah dan diambang kepunahan saja. Tetapi bagaimana mengubah paradigma tersebut menjadi; warisan budaya yang perlu benar-benar diperhatikan adalah warisan yang masih hidup dan berkembang, sehingga perkembangan budaya tak menerus tentang kehilangan dan kepunahan. Tapi tentang yang hidup dan dihidupkan. Tanpa diakui secara formal pun, budaya tersebut tetap ada dan berkembang secara turun-temurun. Mengapa kita selalu ditakuti dengan hal-hal kehilangan, kemudian diberi harapan dengan label dan penghargaan.
![](https://marewai.com/wp-content/uploads/2021/09/IMG-20210927-WA0005-1024x683.jpg)
Saat ini, kabupaten Pesisir Selatan tercatat memiliki tujuh karya budaya yang sudah diakui sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) oleh pemerintah Indonesia: Babiola (Domain Seni Pertunjukan), Tari Benten (Domain seni Pertunjukan), Tari Sikambang Manih (Domain Seni Pertunjukan) Tari Kain (Domain Seni Pertunjukan), Anak Balam (Domain Tradisi dan Ekspresi Lisan), Patang Balimau (Domain Adat Istiadat Masyarakat, Ritus dan Perayaan), Badampiang (Domain Tradisi dan Ekspresi Lisan). Selain yang sudah diakui tersebut, Pesisir Selatan masih memiliki banyak kesenian atau warisan budaya yang tak kalah penting untuk dijaga dan dilestarikan. Seperti balela, salawek dulang dan lainnya.
Warisan budaya ini memang ada sebagian yang pada kenyataannya diambang punah, alias tak tampak batang hidung penerusnya (penampilan). Tetapi untuk rabab dan babiola, penulis rasa masih memiliki generasi muda sebagai penerus. Hanya saja samar-samar, entah generasi penerus yang bagaimana mereka. Jika tetap tak ada upaya alternatif apreasiasi berbentuk panggung khusus, tentu mereka kelak akan hadir pula pada narasi-narasi menakutkan tadi.
Membahas perkembangan budaya tentu bukanlah perkara mudah, terlebih dengan data dan sumber kongkrit yang bisa dipertanggung jawabkan. Namun pada tulisan ini, penulis hanya berupaya menyimpulkan amatan penulis dari beberapa diskusi dengan pelaku dan titik-titik keberadaan tradisi itu sendiri. Pada tulisan ini, penulis hanya mengumpulkan amatan penulis di Kabupaten Pesisir Selatan. Terlepas dari daerah Pesisir Selatan, penulis benar-benar tidak mengetahui banyak soal perkembangan rabab dan biola. Apa lagi tentang regenerasinya. Penulis hanya berupaya memberi sisi lain dari narasi-narasi menakutkan yang diterbitkan banyak media dan anggapan orang. Di Pesisir Selatan sendiri, di beberapa kampung, masih ada anak-anak muda yang mau belajar kesenian ini, walau tidak sebanyak anak-anak sekolah sepak bola. Tapi pada dasarnya, harus penulis sampaikan lagi, kunci utamanya hanyalah apresiasi, sebuah panggung atau kegiatan rutin yang konsisten. Sehingga mereka pelaku kesenian tak merasa jalan ditempat, tak merasa sebagai agenda musiman, latihan mereka benar-benar akan ditunggu untuk ditonton khalayak. Baik itu festival ataupun acara-acara yang berskala kecil.
Dengan dihelatnya Festival rabab/babiola di Sanggar Anak Nagari, Tanjung Gadang, Sungai Liku, Ranah Pesisir. Semoga saja menjadi angin segar bagi pelaku kesenian lainnya untuk kembali berkegiatan aktif, bukan di satu tempat saja, melainkan secara menyeluruh, terutama Pesisir Selatan. Menurut penulis, Festival ini hanya bagian sederhana dari aksi di Sanggar Anak Nagari, lebih dari itu, pemilik Sanggar sudah berkubang sabar dan iklas menjalani kegiatannya. Terfokus kepada seni rupa dan lukis yang dominan diisi generasi muda, ditambah lagi dengan kelas minggu paginya (belajar melukis) yang dihadiri anak-anak usia dini daerah setempat. Bila ingin melihat buah tangan menakjubkan dari anak-anak didik Sanggar Anak Nagari, berkunjunglah, maka akan kalian temukan puluhan gambar-gambar indah dan menarik hasil tangan-tangan mungil mereka. Salut.
Terlepas dari kelumit tulisan di atas, pada dasarnya Pesisir Selatan hanya butuh memulai. Kemudian membuka diri terhadap hal-hal baru yang bersifat membangun, membuang sifat curiga dan sentimen yang bersifat individual atau kelompok bahwa dunia sudah berkembang dan untuk dedikasi utuh kita perlu semua lapisan. Terlebih kepada putra-putrinya sendiri, bukan dengan pola lama yang suka nayiak di tangah jalan. Setidaknya pemerintah mempunyai inisiatif penuh dalam upaya tersebut, terlebih dengan mencatat daftar sanggar dan komunitas yang ada di daerah. Sehingga memudahkan pelacakan ketika adanya acara-acara/undangan baik di luar maupun di dalam. Dan kesetaraan menyeluruh juga tak kalah pentingnya, supaya tidak muncul kecemburuaan sosial serta sentimen antar kelompok yang menimbulkan pesimistis.
Kegiatan Festival ini juga bekerja sama dengan Forum Batajau Seni Piaman.
- Ketuklah Pintu Itu, 2025, Kami Menunggu dan Siap Melanjutkan - 1 Januari 2025
- Tim Kenal Adat: Progress Awal dalam Mengimplementasikan Project Sociopreneurship Innovillage 2024 di Perkampungan Adat Sijunjung - 14 Desember 2024
- Cakap Pilem: Vedaa, 2024 | Kasta Dalit dan Potret Kehidupan Nyata Perempuan India – Arif P. Putra - 7 November 2024
Discussion about this post