Setiap kali menjelang hari raya tiba, pikiranku kerap kembali pada masa kanak-kanak. Orang-orang berbaju terang seweliran menenteng rantang dengan setengah aroma keringat dan parfum. Bedak yang mulai luntur, atau sendal baru tertimpal lumpur. Sebagian dari mereka yang melakukan aktivasi itu barangkali memang melanjutkan kebiasaan lama ketika hari raya tiba; mengantarkan makanan kepada kerabat. Tentu saja tujuan utama adalah mertua (jika ia sudah menikah) dan keluarga ayah (jika ia lajang). Bagi anak-anak usia 15 tahun ke bawah, hari raya menjadi hari paling menggembirakan, terlebih mereka melewati puasa dengan penuh khidmat. Tapi tidak pula menutup kemungkinan, bagi mereka yang 15-20 tahun, apalagi sudah menginjak masa remaja. Mereka memiliki nuansa hari raya berbeda pula. Ya, barang tentu nuansa tersebut lebih kepada gengsi penampilan, terlebih mereka yang sudah masuk fase kasmaran. Tapi jelas, pada tulisan ini aku tidak mau bersedih-sedih tentang tidak pulangnya perantau. Mungkin saja dibagian lain dalam tulisan ini akan kita temukan hal demikian.
Bila hari raya tiba, tiap aroma yang dibawa angin sudah bau kue dari rumah-rumah warga saja. H-2 lebaran, telinga akan terus-terusan dideru mesin penggilingan; cabai, bawang, kunyit, beras, ketumbar, dan rempah lainnya bakal diaduk sebagaimana hati anak-anak yang tak sabar hendak memakai baju baru. Semuanya dilebur, kadang menggumpal sebagaimana kebutuhan masakan. Tapi lagi, bayangan itu seakan timbul tenggelam dalam ingatan, bagian-bagian menyenangkan begitu mudah datang, namun bagian sedih tak jarang pulang bertahan. Aku bayangkan orang-orang yang murung setelah musibah datang, mungkin itu musibah diri atau musibah lain. Kemurungan yang dipoles sedemikian rupa agar kalau-kalau kerabat datang tak menaruh rasa segan dan tak enakkan. Rasa yang mungkin saja bisa menjadi haru-biru bercampur janji basa-basi. Eh, tapi kali ini tak perlu ada sedih merasai serupa itu di hari raya. Perayaan ini patut diberi senyuman gembira, para dermawan dan dermawati juga sudah menyiapkan ampau-ampau. Jelas tak serupa jaman aku kecil dulu yang diselipkan ketika berjabat tangan. Sekarang semakin canggih, bahkan sebagian anak-anak tak tega merusak ampau itu. Salam tempel namanya.
Jika dulu basa-basi salam tempel itu dimasukan ke saku celana/baju, sekarang ini tidak lagi. Kebiasaan itu dibuat berupa bingkisan kecil. Misalnya kue, kemudian dibalut dengan pita berwarna, dan uang menempel di bagian dalamnya. Waw. Anak-anak merasa senang mendapatkan buah tangan itu, meski nominal yang diberikan kecil. Tapi ini tidak persoalan nominal, tapi bagaimana jaman berubah dan kebiasaan itu tetap terjadi, walau bentuknya tak sama.
Kemudian, rumah-rumah dengan warna cerah menguap aroma cat. Aku menandai rumah-rumah yang selalu memakai cat warna menohok itu; merah, stabilo, kuning dan ungu. Rumah-rumah yang cerah itu kadang terlihat murung sehabis lebaran.
Di lepau-lepau, anak muda berkumpul, aroma baju baru menguar di sana. Tak jarang lupa melepas label harganya. Segalanya nampak baru, hanya cerita usang yang tetap dipakai. Kalau sudah berkumpul begitu, apalagi ada perantau pula. Ceritanya akan beragam. Di kampungku, perantau Malaysia dan Batam cukup dominan. Cerita usang itu akan terus diulang-ulang sampai datang pula perantau lainnya, terlebih kalau datang dengan gaya paten (dengan mobil begitu). Kisah-kisah pengantar tidur tadi langsung lenyap bak debu diterpa angin. Semua akan menunggui pula cerita usang lainnya, tentu saja dari versi paten si perantau baru datang. Anak-anak muda itu bahkan seharian angkat-angkat kaki di lepau, menghabiskan berbagai kisah dari para perantau dan dibawa pulang sebagai kuap. Sebagian menjadi rasian kalau-kalau sudah di atas kasur: merantau pula agaknya habis lebaran ini.
Tak dapat diakal kalau sudah mengingat momen-momen hari raya. Banyak serunya, sedikit sedihnya. Tapi tahun ini, menjelang hari raya, kabar-kabar murung menghampiri banyak orang. Bukan yang datang dari diri, tapi semesta yang menghendaki. Musibah-musibah datang berbondong layaknya arus mudik yang bahkan tak sanggup dikendalikan siapapun. Orang-orang mengumpulkan keberanian menghadapinya, memasang wajah serupa tak terjadi apa-apa. Di kampungku juga demikian, setelah banjir besar melanda menjelang bulan puasa masuk. Sampai hari ini, tanah yang dibawa banjir itu masih tersisa. Debu menguap sebagaimana aroma-aroma parfum dari parlente dan para dermawan datang sekedar memandang–memberi ucapan turut prihatin. Waw.
Aku ingat lagi, bila hari raya tiba. Tepian mandi tiap hari bakal dipenuhi anak-anak. Kawan-kawan sepulang dari perantauan akan menjenguknya, melihat dan merasakan bagaimana air tepian mandi menyatu, memasuki setiap sendi seolah memberikan kesegaran yang berbeda dari rantau yang telah disinggahi. Orang-orang dengan kain samping kecipak menerobos air. Menenggelamkan tubuh yang seakan dilumuri kotoran. Aku seolah duduk bermenung di sana. Menatapi aku yang kecil bergelut dengan sebaya, menyebut nama-nama seluruh superhero yang aku dapati dari kaset vcd. Kami akan saling melabeli diri dengan nama-nama mereka, semisalnya power rangers, ultraman, pendekar dan jenis gerakan heroik lainnya.
Wisata lawas
Kawasan Pasir Putih Kambang dalam Memori Masa Lampau
Jika kau pernah bertandang suatu tahun ke Pesisir Selatan, terutama bagian Kec. Lengayang. Atau sebutlah kau pernah melewati jalan lintas Pesisir Selatan Kerinci. Kau akan menemukan satu daerah yang padatnya bukan main saat hari raya tiba. Pasir Putih namanya. Wilayah yang bersebelahan dengan laut lepas itu akan membuatmu macet berjam-jam, kiri kanan akan kau lihat orang-orang berkalungkan permainan; bayangkaliang, tebak dadu, lempar gelang, lempar kasti, dan lainnya. Di bagian lain akan kau lihat pula semarak lokasi pasar malam, lampu warna-warna seperti menandakan kemeriahan malam hari raya. Akan kita temui pula wajah malu-malu jalan bersebelahan– muda-mudi berpasang-pasangan. Kadang senjata mainan akan menodongmu jika kau lihatkan wajah kesal karena terjebak macet. Di wilayah ini hamparan manusia sepanjang jalan, dengan backsound deburan ombak pantai barat sumatra. Terus ke selatan, akan kau temui pula tempat-tempat dengan wisata ramah anak.
Tapi Pasir Putih, kawanku. Tak ada yang mengalahkan lokasi ini, nyaris sepanjang Pesisir Selatan inilah lokasi penuh sejarah, fenomenal tidak terbantahkan. Jika kau lihat sekilas, kawasan ini memang tidak menyajikan apa-apa. Semenanjung pantai yang lumrah, ombak kecil, dan orang-orang berkumpul di sana tanpa alasan yang jelas mengapa ia datang. Lagi, ini Pasir Putih, kawanku. Kau lihat ke arah hulu, bukit-bukit tersadai bagai tumpukkan orang sedang memandangi keramaian. Segala semarak hari berkumpul di sana, para perantau akan merasa janggal bila tak datang ke kawasan ini bila hari raya. Penyesalan akan melekat dalam benaknya jika sewaktu-waktu ia tak sempat singgah sebelum kembali ke rantau. Ini bukan mitos belaka. Jika kau pernah, maka akan terasa.
Bagi mereka yang pernah mengalami masa-masa indah kawasan Pasir Putih Kambang yang terletak di Pasar Gompong, Kec. Lengayang, Pesisir Selatan, pastilah termenung mengenang wilayah ini. Bagaimana semesta kembali bertandang, ia seolah tinggal tumpukan pasir yang segera disapu bah sungai dari hulu. Banjir itu datang, menghanyutkan segala tepian bermain. Berubah dan nyaris tak dapat dikembalikan lagi. Bukit-bukit tetap tersadai, laut lepas mengangkang. 2011, berita duka itu datang. Semua yang ada di kawasan Pasir Putih berubah mencekam, rumah-rumah ambruk, semenanjung pantai yang selama ini jadi tempat keramaian bahkan lebih dari itu, tinggal nama, tinggal puing-puing masa lampau bila kau pernah ke sana. Maka yang kau lihat hanya masa lalu, kenangan yang suatu waktu bisa saja usang dan kau lupa-lupa ingat jika berusaha mengingatnya. Semua kenangan telah dibawa ke palung terdalam, tertimbun pasir-pasir yang barangkali pernah kau jadikan mainan ketika bertandang ke sana.
Kemudian, tangan-tangan yang dulunya begitu mujarab kembali membangun sisa kejayaan itu. Saban tahun, bahkan tak hanya hari raya, mereka berusaha keras menghidupkan kembali masa-masa kajayaan itu; pasar malam, wahana bermain, kafe dan sebagainya. Mereka bangun kembali sebagaimana dahulu pernah ada. Tapi Pasir Putih, kawanku, tetap tinggal wajah murung dan berkabung. Tiap dirasa-rasakan, tiap itu pula kenangan tak sanggup lagi ditemui. Ia seolah memandang dari tengah lautan, “aku telah berangkat, tidak akan kau temui lagi suasana semarak seperti dulu.”
Setiap hari raya tiba, lebih banyak kenangan melintas ketimbang masa depan. Tapi itu bukanlah masalah, mengingat bukanlah sesuatu hal terlarang, walau sebagian memang menyisakan kecewa. Bayanganku terhenti seketika kulihat anak-anak bermenung memandangi layar telepon genggam. Suara muazin sayup-sayup, tidak aku dapati anak-anak berebut saf. Orang-orang masih seliweran berebut toserba, jalanan macet bukan main, mencari sesuatu yang barangkali tidak benar-benar ia butuhkan saat itu. Ada yang melepaskan mercon, ia menimbulkan bunga api sembari terbang. Tapi katanya, itu apa yang terbang; api atau mercon? Kulihat lagi jarum jam terus melaju, pelan, semakin aku pandangi semakin pelan. Ada yang melintas tiba-tiba, seorang pengendara ojek becak melaju hati-hati sambil memegang senter di tangannya. Oh, itu tumpangan masa lalu, mengapa ia jadi rabun dan reyot? *
- Aku, Kampungku dan Film India: Momen yang Utuh dalam Ingatan | Arif Purnama Putra - 8 Juni 2024
- Pameran Poto Fatris MF Bertajuk “Di Bawah Kuasa Naga”: Melihat Potret Komodo dan Kemurungan lainnya - 25 April 2024
- Festival Qasidah Rabbana: Menyaru Masa Kanak-kanak di Sungai Liku Ranah Pesisir - 15 April 2024
Discussion about this post