
Nagari Sungai Pinang, sebuah negeri yang terletak di pinggir pantai Kecamatan Koto XI Tarusan merupakan negeri yang masuk dalam destinasi kawasan Wisata Mandeh Pesisir Selatan. Secara Adat Minangkabau, negeri Sungai Pinang yang mempunyai limbago adat yang tersusun dalam ketentuan adat Taratak, Dusun, Koto, dan Nagari. Karena kata nagari di Minangkabau tertuju pada sebuah daerah yang memiliki sebuah hukum, limbago adat yang diakui oleh limbago kerapatan Alam Minangkabau. Sebagai sebuah nagari di Koto XI Tarusan Sungai Pinang merupakan salah satu negeri tertua yang ada di koto XI Tarusan, masuk kedalam “Nagari Nan Salapan” Koto Sabaleh Tarusan yang terdiri; Siguntur meliputi; Taratak dan Sungai Lundang, Baruang-Baruang Balantai terdiri dari Koto Pulai dan Baruang-Baruang Belantai. Duku meliputi; Dusun dan Duku, Batu Hampa, Nanggalo, Kapueh dan Sungai Talang, Ampang Pulai, kemudian Sungai Pinang. inilah Negeri Sebelas Koto dan Delapan Nagari Adat yang ada di Koto XI Tarusan.
Dalam Nagari Nan Salapan Koto XI Tarusan, Nagari Sungai Pinang memiliki babanda turuik bukik, balabueh batapia, babalai bamusajik, tanah lapang medan nan bapaneh, basuku nan ampek; malayu, caniago, tanjuang, jambak, serta memeliki batas nagari sebelah Utara berbetasan dengan Nagari Taluek Kabuang, sebelah Timur dengan Nagari Baruang-Baruang Balantai, sebelah Selatan dengan Negeri Ampang Pulai, sebelah Barat dengan laut Samutra Hindia. Oleh sebab itu semua keputusan dalam nagari di pegang oleh niniak mamak Nagari Sungai Pinang. Keputusan-Keputusan itu telah ditetapkan dalam sebuah hukum Limbago Nagari; barang siapa yang meneruka dan mengolah (mengarap) tanah di Negeri Sungai Pinang harus dengan ketentuan Niniak Mamak Nagari, dan barang siapa yang kelaut juga dalam ketentuan Niniak Mamak Nagari Sungai Pinang.

Sebagai negeri pesisir pantai kita mencoba mengupas kegiatan serta matapencaharian masyarakat yakn, penangkapan ikan yang bernama Pukek dalam ruang lingkup Limbago Nagari Sungai Pinang dengan ketentuan Adat Limbago di laut. Kemudian timbul pertanyaan, apa itu pukek? Sampai dinama limbago adat itu?
Menjawab pertanyaan di atas kita mencoba mengurai menjabarkan Pukek. Pukek merupakan jala ikan yang memanjang ke laut yang ditarik oleh para nelayan ke tepi pantai. Pukek ini menurut Angku Muklis Rajo Sulaiman, Alm. Ayah Alimir Sutan Sinaro, Angku Panghulu Marto Dt. Rajo Bagaga, Alm. Angku Rantuo Asril Rantuo jo Bilang, Ayahhanda Zarman Dt. Bandaro Sati, dan Angku Swardi Dt. RangKayo Balai. Jala Ikan yang terdiri dari berberapa nama dan fungsinya; Koncong (tempat pengelurakan ikan) kiri kanan, Kandua (tempat ikan berkumpul setelah tertangkap, dan tenunan jala ama asang, ama rusuek, kalawan (arang pukek), panggarap, panjawek panyambuik pangarap, kapalo rincang payambuik panjawek, langan, cikang (semunya itu alat yang dibikin dari benang seperti jala) dan tali. Kalau untuk benang digunakan benang medan, dibentuk tenunan (sirek) yang menurut Alm. Ayah Gaek Taharudin, benang sirek untuk pukek (kisa) terbentuk dari tenunan/ama (jala ikan) dengan beberapa bentuk mata ama (mata jala ikan) yang pertama Ama lima, ama tiga, ama empat, ama asang, ama empat rangkap, kemudian ama parangkap terus disambut dengan ama panjawek, kapalo rincang, dan cikang. Sedangkan awal penggunaan untuk pembuatan mata jala ikan itu terbuat dari ijuak (serabut aren) yang di jalin menyerupai benang. Penggunaan bahan ijuk (serabut aren), dan tali dari rotan yang berjalin tiga semenjak pada tahun 1897 M – 1965 M.
Pada tahun 1901 Nagari Sungai Pinang menetapkan hukum dan undang- undang nagari termasuk pukek sebagai aturan hukum undang-undang Adat Nagari Sungai Pinang sebagai penangkap ikan yang bernama “Kisa”. Ditetapkan serta diakui oleh niniak mamak secara adat dalam nagari yang mempunyai hukum undang-undang adat dalam nagari yang dihadiri oleh Angku Palo Muhammad sebagai Angku Palo Nagari (sekarang disebut dengan Wali Nagari) Suku Jambak Gelar Dt. Rajo Ambun, Angku Sudin Dt. Rajo Bagaga Suku Malayu, Angku Makdiris Dt. Bandaro Sati Suku Caniago, dan Angku Dawa Dt. Gamuak Suku Tanjuang, dalam ketentuan Adat Minangkabau terpatri “Ka Lawik Babungo Karang, Ka Rimbo Babungo Kayu, Ka Sawah Babungo Ampiang, Ka Sungai Ba Bungo Pasia, Ka Tambang Babungo Ameh” lahirlah ketentuan hari untuk menurunkan pukek (menjala ikan ke tengah laut), dalam hari-hari menjala ikan ke tengah laut ada “Hari Mati”, ada yang sebut “Hari Hidup”, yang diserahkan kepada Tuo Pasie untuk mengawasi setiap pukek-pukek yang akan turun dalam ketentuan hukumnya berganti-gantian sesuai dengan hari setiap pukek yang telah ditentukan.

Hari Mati dalam ketentuan adat Nagari Sungai Pinang boleh menurukan jala ikan pukek dengan beberapa kali turun tidak ditetapkan siapa yang awal siapa yang akhir yang terdiri dari; hari sabtu, hari senin, dan hari rabu. Tetapi hari-hari ini barang siapa yang menurukan pukek “mangisa” akan mengeluarkan “Patigan Pukek” untuk negeri yaitu untuk kepentingan dalam nagari, hari sabtu untuk Masjid, hari senin untuk Raja (Pemegang Undang, Cadiak Pandai sekarang disebut Wali Nagari), kemudian hari rabu untuk Niniak Mamak Nagari. Sedangakan untuk hari hidup, setiap pukek yang akan turun sesuai dengan jadwal dan ketetuan Tuo Pasie yang tidak boleh diganggu-gugat memakai hukum tertib awal yang diawal, yang akhir tetap akhir, dan hari jum’at adalah “hari gadang” yang tak boleh melakuan kegiatan baik taruko manaruko maupun “Mamukuek”, kalau tetap melakuan pekerjaan akan dikenakan sangsi adat malu tacoreang di kaniang “Talobo” sebagai orang beragama Islam.
Sedangkan secara Adat, pukek merupakan sebuah tangkapan ikan yang diawasi oleh Penghulu Niniak Mamak Nagari. Ketika tangkapan ikan banyak disebut “lauek gadang” berlaku adat bernama “Adat Raso Dipasia Nan Badabua”. Di Kandua Pukek (tempat berkumpulnya ikan setelah tertangkap) terdapat karoncong/koncong sebalah kanan untuk Niniak Mamak, sebelah kiri untuk Cadiak Pandai (Wali Nagari), arah depan atau Arang Pukek untuk orang Sumando, sedangakan yang tengah-tengah itulah untuk Pemilik Pukek (Kisa). Begitu adat di pasia bagi ketentuan untuk penangkap ikan Tradisional Minangkabau pada zamanya yang sarat akan makna simbol dan pituah di dalamnya. Sebagaimana dalam prosesi untuk perawatan pukek, dimulai dari mencuci pukek ke sungai Batang Air Sungai Pinang, kemudian diberi pewarna dari getah kayu yang bernama “uba” jenis uba, kulit kayu yang dipergunakan Kayu paniang-paniang. Dalam hal ini ada sebuah ritual “Adat Pasia” ketika akan mewarnai pukek menggunakan air uba dengan cara prosesi dinamakan “Mancampungan Uba”. Prosesi ini dilakukan dengan memegang Arang Pukek dalam posisi bersimpuah, terhujam lutut ke tanah, ibaratkan diri berserah kepada Sangkhalik dalam untaian bacaan kalimah Al-fatihah disenandung Sholawat Nabi, ditebur kemanyan putih asap menjulang ke udara menambah kesyahduan mantra.
untaian Mantra:
Sari Ali bagindo Ali
tagak aku seperti alif
hai simambang sitali awan
japuik arawah tang tubuah tahrim
masuak kadalam rajo lapun aku
barakat laillahaillah
Mantra habis kalawan pukek langsung diceburkan ke dalam air uba. Di situ seluruh mata jala ikan pukek direndam dengan air uba dan didiamkan beberapa hari kemudian dijemur. Seterusnya tertuju kepada pemilihan sampan pukek, juga terdapat ritual yang sakral mengunakan dedaun tumbuhan; daun baru bacamin aie, daun tapak kudo, katang katang, sarai harum yang digunakan untuk menggosok sampan pukek, ditambah dengan buah jeruk purut untuk melimau-i dengan untaian mantra;
Hai Syai hudah
engkau aku saruan sarugo
kalau engkau tidak namuah di suruah
kalau tidak namuah disuruah mati engkau sarumpunyo
kalau lai namuah engkau aku suruah
nyatokanlah oleh engkau
Sampan pada hakikatnya tempat penyimpanan pukek juga untuk “malilikan” membuang jala ikan ke tengah laut. Maka dari itu sampan pukek ini oleh Orang Pasia sangat di jaga bahkan disakralkan sebelum menurukan pukek yang ada dalam sampan kembali berbisik beberapa mantra-mantra di bacakan terkhusus untuk sampan;

hai Nurbibbah !
bagunlah engkau dari tempat engkau
kalau tidak bangun engkau dari tempat engkau
engkau di makan sumpah
al-qura’an tigo puluah juzs
bak karakok hiduik diateh batu.
Selesai mantra pukek dibaca, maka turun semua anak pukek yang akan bersiap-siap manyoroang (menurunkan pukek ke laut) dengan jumlah anak pukek di atas sampan enam orang, dengan memegang fungsinya masing masing; dua untuk Tukang Dayuang, dua lagi untuk Tukang Kaja, satu untuk Tukang Kaluek, satu lagi Nangkodo/Jurumudi yang nanti akan jadi pemimpin dalam prosesi mamukek dengan sebutan “Pawang Pukek”. Dalam aturan pasia yang dikepalai oleh Tuo Pasia, setiap pukek yang akan “manyoroang” (turun) tidak boleh lewat di depan sampan yang akan turun ke tengah laut. Begitu juga dalam perkerjaan angkat mengangkat “maelo-an” pukek ke atas akan dikeluarkan suara oleh Tukang Kaluek penyemangat-i anak pukek dengan kata “lalapessss… lalapesss konta” dijawab oleh anak pukek “oh,oo..waiih” semua bergembira, lahir sebuah semangat yang kuat, rasa lelah hilang dengan kata “oh, oo.. waiih” tetapi setelah perkembangan zaman perkataan ini berganti dengan kata “satu lah dua tigo” di jawab dengan “hohob”.
Begitulah tatanan hukum penangkap Ikan Tradisional Minangkabau yang terus mengutamakan kebersamaaan dalam raso jo pareso, sakik sasanang, sahino samalu, saketek samo dicacah, kalau gadang samo lapah. Akan tetapi masih samakah ikatan demikian! Memakai raso adat dalam kampuang? pareso adat dalam nagari? Hanya, pituah inikah yang akan menyudahi;
“dahulu capo Nan babungo
kini galundi nan babuah
dahulu baso nan paguno
kini ko pitih nan batuah.”
Discussion about this post