PERKABUNGAN UNTUK CINTA YANG SALAH
Pagi berkabut tipis. Ada sekantong sereal yang tak henti kuajak bicara tentang rasa sakit. Gemetar. Aku gemetar. Udara adalah dirimu yang dingin dan beku. Tubuhku riak, sungai paling jauh yang bisa kau temui di tengah rawa kematian. Kertas-kertas berhamburan dengan kalimat yang tak tahu rimbanya. Air mata tumpah dan kering dengan sendirinya. Di dinding, segala risau tersusun melebihi jumlah bait dalam kitab suci yang tak pernah selesai kubaca. Dalam pagi seperti ini mataku masih menyisakan separuh mimpinya; tadi malam kutemui dirimu dan kau pinta aku melepaskan sayap, berhenti jadi malaikat, ucapmu. Kurasa ada dua belas ekor binatang yang kau pelihara dalam kepalamu, tapi kenapa aku tidak pernah ada di sana? Kau tak menjawab; ada harum dupa dan bendera setengah tiang di luar sana (aku tak tahu harus menyanyikan lagu apa).
INSOMNIA
Sebelah mataku telah terlelap dan bermimpi sejak satu jam yang lalu. Mata kananku sudah terpejam sekarang, tapi ia belum tidur. Kamar sungguh gelap—kenapa kau ada di dalam kepalaku?
MENUNGGU PERI GIGI
Berselimut dingin, aku menghitung langkah kakimu meninggalkan pintu. Samar, perlahan memudar. Kamar ini banjir, seseorang telah mandi dan lupa mematikan keran air di mataku. Aku sendiri telah lama kehilangan tubuhku dan semua sisa pelukmu. Lenyap tanpa sebab. Sementara malam ini kurasakan semua membeku kecuali waktu. Tertatih, aku mengumpulkan semua gigiku di balik bantal. Seorang peri mestinya datang dan menggantinya dengan senyuman—mengapa mataku perih sekali?
DI RUANG TUNGGU
Aku masih di ruang tunggu. Jangan mencariku ke dasar sungai. Aku tidak suka hidup bersama ikan.
04:20
Menyelami pagi yang terlalu dini di pekarangan rumahmu. Desau angin masa lampau menggoyangkan api pada lilin yang kupegang. Bayang tubuhku telah kusimpan jauh sebelum kukenal dirimu, tetapi belakangan sesuatu yang begitu mirip telah menghantuiku. Aku ingin bertanya; apakah itu masa depan atau sebatas ilusi hasil dari kekalahanku melawan malam. Tetapi kau tak pernah ada di rumah. Yang tergeletak di sana hanyalah seorang yang tidak kukenal. Mirip denganmu. Namun sungguh tak dapat kukenali meski api lilin menyisakan jarak setipis bulu mata—apakah aku benar-benar telah mengenalmu?
(2018-2020)
Penulis Rafii Syihab; mahasiswa tua Institut Agama Islam Darussalam Martapura, bersama beberapa kawan, sejak 2017 lalu, membangun Kampung Teater dan masih berusaha memperbesar komunitas tersebut hingga sekarang. Menulis cerpen, puisi, juga naskah drama. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak dan terdapat di beberapa buku antologi bersama. Sekarang jadi buruh tulis di BanaranMedia.com. Bisa dihubungi lewat [email protected] Alamat : Gg. Sampurna 5, Tanjung Rema Darat, Martapura, Kab. Banjar. WhatsApp : 082351200526
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post