
Mencari Jalan Mendaki
;untuk kerajaan Jambu Lipo
di jalan tanah berlubang ini telah kita susuri jejak-jejak kaki kuda
lenguh kerbau, nyanyian uwir-uwir dan dendang siamang
nun jauh terus ke dalam dusun yang dililit teduh rimba
telah kita tempuh alam yang berbeda
menembus angin berganti rasa
lantas dimanakah istana kerajaan itu, tuan permana?
bukankah sepanjang jalan yang entah berapa liku ini
kau kembang cerita serupa tukang kaba
atau serupa pemain rebab di banda sapuluh sana
yang mengakhiri tangis di pukul tiga
”agak ke dalam, terus ke dalam lagi
tiga rumah gadang dengan istana tua menunggu di sana
rajo tigo selo sejarah menyebutnya”
dimanakah raja yang berdaulat itu, tuan permana?
dimanakah yang dipertuanagungkan itu duduk bersila?
“terus lagi ke dalam
menyosong air sampai ke matanya”
benarkah kerajaan itu jambu lipo namanya, tuan permana?
benarkah sebelum moyang kita terpancar
dari celah sempit bararoma rendang sumatera
kerajaan itu sudah tegak berdiri di sana?
Padang, 2025
Ayam Aduan
“kuserahkan juga nasib hari depan kepadamu
mau jadi anjing pemburu
ataupun anjing balai juga tidak apa.”
tapi tidak semujarab pesan ayah
aku lebih memilih menjadi ayam bertaji besi
berkuku mencakari segala nasib buruk
apa benar yang mampu kutelan
selain pelukan-pelukan kecil selepas aku pandai berlari
selain suapan nasi meski telah sampai
di pangkal tenggorokannya
apa yang dapat kuserap dari amanat sunsang itu
selain khianat cinta sampai matinya dua sejoli
yang sepanjang hidup juga gagal menjaga sumpah
dan melampiaskan birahi pada wanita lain saat ibu terlelap di barzah
kurebut juga nasib hari depan darimu sebagai ayam bertaji besi
dan berkuku yang tak akan melukai kepalamu
Padang, 2022
Narasi untuk Ibu
sebelum aku balig berakal
kau singkapkan sahadat penebar aroma surga dari telapak kaki;
sungai-sungai madu, tujuh bidadari dan kekekalan yang abadi
kau ajarkan aku merapal doa iftitah
menjadi imam di depan jasadmu
memapah bungkusan kafan
yang melilit pangkal ubun hingga empu kakimu
meski azan pun aku masih patah-patah
kau bawa suara girangku ke dalam liang
kau tinggal segala harapan
siapa yang patut disalahkan?
tuhan?
setelah rakib dan atid bertugas di kanan-kiriku
lembaran itu mereka tulis dengan paragraf pembuka dosa
tiada lagi telapak kaki dengan aroma surga
tiada lagi ajaran-ajaran penyambung langkah
setelahnya aku adalah kehidupan
yang senantiasa melangsungkan kepergian
semakin jauh, nun jauh
sebab dalam pulang aku tidak menemukan rumah
pun dalam rumah aku tidak menemukan pulang
kematian memanggilku, tapi aku masih enggan bertemu denganmu.
Padang, 2022
Mengutuk Kematian
kemenagan apa yang pantas dirayakan atas kepergian
doa-doa telah terlantar di depan pintu rumah
dari sekian banyak kematian
kepergianmu lebih kejam dari sayatan pedang berkarat
meninggalkan bisa yang nyala dalam tubuh
lebih tragis dari pada luka terbasuh asam
lantas, apakah patut akau menyalah-nyalahkan tuhan?
dendang lama terus terngiang, “ibu pergi, bapak berjalan.”
mungkinkah nasib ini lebih licik dari propaganda dai nippon
atau lebih hina dari pengakuan fira’aun sebagai petinggi semesta raya
dan perjanjian cinta darimu bagai empedu tanah yang terendap lama
tuhan! seberapa mustajab doa-doa
apakah kepergian abadi dapat ditukar dengan kepulangan sesaat?
biarlah sangkar ini memenjara
biarlah kedua sayap ini tiada dapat membelah angin
aku ingin hidup lebih lama, menunggu hari kebangkitan
lalu mencari seseorang di padang terbuka dengan matahari ranum sejengkal di kepala
Padang, 2023
Mati Terkepalang
;untuk Chairil Anwar
dan kuhantarkan seribu bait paling sampah di antara bunga orang mati
kusirami dengan air mata pramuria yang meninggalkan dosa semalam
kemarilah menjelma hantu belau
ceritakan tentang bagaimana romeo dan juliet di ranjang masa dulu
kisahkan tentang anjing-anjing yang kian diburu
aku hanya cucu kesekian dari kawananmu
tidak begitu tahu kisah dan kelakarmu
aku dengar kau mati sia-sia
apakah di sana kau mampus dikoyak-koyak munkar-nankir?
ke sinilah menjelma hantu belau
sudahi peran binatang jalang itu
nanti bakal kukirim doa paling mujarab paling jitu
Padang, 2022
Tongkat Musa
ya musa, telah aku temukan tongkatmu
yang hilang beribu-ribu abad silam
ia menjelma tangan seorang gadis
dari datarang tinggi tempat moyang kami bermula
dari tuhanmu segalanya ada dan berada
ihwal yang aku jemput di tangannya
seperti hidangan di meja makan raja
tak ada lagi lautan terbelah
atau ular yang menyantap tongkat-tongkat penyihir
tongkat itu, ah tangan itu
membelah dadaku, mamatuk seperti ular
membawa aku pada kematian
sebelum aku bersaksi tidak ada tuhan selain cinta
ya musa, telah berlari aku ke penghabisan jalan
membawa tongkat itu atas keselamatan
umat para pecinta setelah aku
Padang, 2025
Chalvin Pratama Putra lahir 30 April 1998 di Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Ia menulis puisi, cerpen dan esai. Karya-karyanya sering dimuat di koran regional maupun nasional seperti Kompas, Tempo dan banyak media cetak mapun digital lainnya. Tergabung dalam 100 penyair terpilih Asia Tenggara. Pemenang terpilih 10 penulis terbaik dalam Sayembara Penulisan Puisi dan Cerpen Internasional dalam rangka Bulan Bahasa 2022. Pemenang 50 besar penulis pilihan Payakumbuh Poetry Festival (PPF) 2023. Pemenang 27 puisi pilihan Lomba Cipta Puisi dan Kolborasi 2022. Penulis pilihan 44 terbaik Sastramedia 2022-2023. Karyanya juga dapat dibaca di akun media sosial Facebook: Chalvin Pratama Pratama. Instragram:_chalvin pratama_putra.
Discussion about this post