
PELADANG
Kau mencari bibit yang hendak diajak tualang,
Di tanah yang gembur dan air yang ‘ngalir
Agar tumbuh tunas yang kelak meneduhkan gersang
Dan mengembuskan angin segar.
Tangan-tanganmu menyentuh akar kecil yang menggeliat
Pangkal segala yang hidup dan segala yang tamat
Ujung dari segala cerah dan mendung
Dan kepadanya dititipkan bisik terbaik dari pencipta
Kau pindahkan dia ke tempat berladang
Ke segala arah yang tak ada aturan memutar
Ke segala tuju yang dapat kau kundang
Ke dalam tanah, kau menanam
Berharap tumbuh pucuk-pucuk pengharapan
Biar pagi di rumahmu tidak sunyi,
Dapurmu mengeluarkan bau wangi,
Dan mata-mata kecil penghuni bilik, riang berseragam,
lincah membuncah menuruni jalan berundak.
Padang panjang, 2022
BERNAMA PANGGA
Untuk suamiku.
Satu dari dua musim telah datang dari hulu,
menyilakan orang-orang darek beradu gurau,
dan menyelimuti badan dengan sarung, duduk di lepau
menunaikan temu yang tertunda di musim lampau
Saat itu, Pangga memanggilku, menemuiku di pangkal hari
yang masih meremang terang bercampur kabut
musim sedang berganti, Pangga juga menanti
di pintu masuk, sebuah kota yang dingin dan masih sepi
lalu kupersilakan masuk, melewati pintu yang sama
telinganya dingin ditiup angin gunung
yang memang selalu melewati kota ini
Pangga mengulum tawa, mengenggam tanganku
meneriaki rinai yang terbawa kabut
menuju tengah kota, lalu menutup pintu masuk
dan membangun rumah dalam tubuhnya.
Padang panjang, 2022
ISI LADANG
Pergi pagi pulang petang,
bukan tualang yang mencari aku-an
sebab hari-hari terlampau lengang
dan isi parak belum penuhi karung-karung jarang.
Memang tidak ada riuh suara di lereng bukit
hanya denging isi kepala
kapan barang muda ini dicerabut dari tanah
dan bertukar dengan helai ribuan,
sebentuk impian, penyambung kehidupan yang lapar.
Tanah subur, ladang bertuah
menjadi rebutan orang-orang dari negeri entah
ladang ulayat dengan bertaruh darah
awal hari selalu sepi, hanya siur angin yang mengisai daun
akhir hari selalu sunyi, hanya desir hati yang disiangi
serupa menjaga isi ladang dari hama yang rajin menyusupi
dan air hujan yang terlampau sering ke sini.
Tidak ada yang tahu nasib isi ladang,
selamat dan tak selamat
berpegang pada kebaikan cuaca, kebengisan hama,
dan tangan dingin si peladang
seperti menakar nasib, isi ladang tak tampak dalam kartu peramal.
Padang Panjang, 2022.
Anak Rasian
yang menetap dalam badan,
melunglaikan tungkai
menumbuhkan sorai
dan sabak di mata jatuh berderai.
Anak rasian,
yang melekat dalam tubuh
menumbangkan syak, menghapus sangka
menenangkan isi kepala, menerbitkan tawa
demi, sementara.
Namun, ujung hidup
hanya menjanjikan kehadiran yang tidak lama
menitipkan ketiadaan pada badan yang fana,
meneriakan sorai sejenak saja
Anak rasian,
lekaslah tumbuh
di tempat yang jauh.
Januari 2022

Penulis, Andini Nafsika. lahir di Solok, Sumatra Barat pada Agustus 1992. Telah menamatkan studi di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Aktif menulis sejak tahun 2010 dan beberapa karya sudah pernah dimuat di media cetak dan media elektronik. Berkegiatan di berbagai komunitas, di antaranya Komunitas Teater Serunai Laut (2013-sekarang), Ruang Diskusi dan Perpustakaan Shelter Utara (2016-2019).
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post