PERBURUAN
pada siapa lagi kau kenang kanak-kanak, dari jauh batu bukit di dalam murung pengembara yang menghabiskan waktu menyingkap kegelapan
jika hujan turun dan daun-daun menggeragas, maka aliran air henti menuju perjamuan, di tebang rerumput ilalang, terbang kokoh pada bayang-bayang matahari
batang pohon dalam tubuhku menggeliat, mengepit kuat-kuat kesepian yang menguning
dalam tidurku, kau akan melihat sorga jatuh seperti kupu-kupu menyerbuk asam mimpiku, hikayat akan tertulis dari halaman yang akan termuat muncul tetiba dalam mantra-mantra melabuh melukis duka dimuka cermin kita yang memasuki raya
kita akan berpuasa dan beralih tinggal dalam kerongkong membawa gelas-gelas berisi zaman yang tidak pernah akhir dalam menulis kita, di sana lahar menyerupa kolam menunggu, menebus hatimu dalam perburuan-perburuan
Ciamis, 2020
SIARAN
ada seseorang yang tertembak dalam musik, meledak, dari bintang-bintang yang binal di pinggulmu, seorang laki-laki lari dari selatan menuju trotoar yang sepi dari pengunjung, hanya demonstran hinggap di lampu merah membawa punggung yang penuh dengan tulisan; semangat, menunggu ibu-ibu dari warkop pulang membawa segelas dan pil pereda linu, de amour
kemana lagi mimpi yang seharusnya hadir dari majelis-majelis, menyimpan duit recehan dikantong pantatmu yang hitam, akan muncul sebuah ramalan bagi hatiku yang puisi, melukisi setiap terbang bayang-bayang burung kematian
ada yang hilang dari maskerku, sebutir laut melayar dalam helaan napas yang tersedak, dari kejauhan paus orca merusak bumbung kapal bibirku yang bolong, kupaksakan layar pada bajuku menyumpal gigi kapal yang kosong bagi setiap perjalanan
tak ada lagi serangga yang hinggap pada setiap jendela di bumi ini, hilang dalam setiap mimpi-mimpi para penjual koran, mereka jajakan tulisan-tulisan yang memaksa otak kita bekerja pada ketakutan dan bait-bait pendek kehausan
telah tergambarkan berita, ada seorang yang tertembak dalam musik, dipajang dalam reklame besar kota, di koran, dan dinding penghapus cuaca dari cericitan kuku pada kaca jendela, kompak untuk duduk di rumah aja
tombol pause di remot menghentikan kegiatan kita
Ciamis, 2020
MENANDAI JEJAK BULAN
lihatlah jendela, sauhku telah sampai pada ujung mimpimu, dari rumah yang kerlap-kerlip, telah terbangun kota-kota yang kering dan berabu, menekkukkan segala pandangan
kemana hujan yang membau gigil pinggulmu, pi, telah terkabarkan melalui garis tanganmu ke seluruh pertemuan, remah roti pada serbet rambutmu yang meliuk-liuk ketakmampuan kita
–jangan, seluruh pelaut telah membinasakan kering separuh sirip hiumu di lampung, jangan, kita tidak akan bisa menembus deras ombak laut internet jaman kini yang kapir—
jika tergambarkan mulai dari sepatu ke pitak kepalamu, arus surut pasang membunuh para perompak, nyanyian, pedang, hidangan, meledak-ledak seperti igauan
katamu ingin pergi menandai jejak bulan dan mancing disana
dingin telah membengkokkan sendok pertama disauh, dalam gelap dan bayang yang menjauh dari daun yang berjatuhan runtuh menembus kelaparanku, serupa nyeri yang dirajam sunyi
tapi pi, kalau tetiba masa kanak-kanakmu menyerangmu datang, ingatlah, ingatlah, aku pernah hanyut dalam ombak bibirmu yang coklat, menumpahkan airmata pada kesendirianku dahulu, jauh sebelum rembulan membeku
Ciamis, 2020
CINTAMU MENGGEMAKAN RIUH TUBUH INI
kuraih pintu, masuk ke sela-sela jarimu, keramaian kota henyak dibebauan lumpur, tak ada yang hilang, jika hujan dari ketiakmu meluncur ke pasak-pasar, disitulah kerinduan meledak-ledakkan ketukan
kupasang lenguh dari jam weker, bergetar tercekik nafasmu , ajal bagiku, tumpah dan menggenang meninggalkan daun dan rerumputan liar pada kolam matamu
hari-hariku rontok, menafsirkan percakapan di antara genangan, puing-puing langit menerpa kepala kita yang benjol, merah, dalam batas yang terabai, cintamu menggemakan riuh tubuh ini, kegilaan tumpah mengalir menciptakan bermacam-macam adegan
jika waktu kita habis terpakai, tembok dan pintu di pantai, adalah caraku membiarkan kobar dalam celah ruang, tertutup jendela dan gorden
Ciamis, 2020
HILANG BERSAMA KEMENANGAN
dari tumpukan abu masa lalu, aku masuk sebagai gedung paling tinggi, impian yang terpotong mengalami keburukan yang paling buruk
tidurku dibawa lari oleh seluruh penghuni bumi yang kian mengecil
orang-orang tua hilir mudik membawa senjata, merakit taman dengan jungkat-jungkit yang membalikkan masa laluku
seekor kuda terlepas dari orang-orang yang berbaju putih, tapi kitacuma bisa menduga, bendera semakin mengendor dari tian yang keropos menelurkan perjuangan yang sia-sia
setangan angin menampar bumi, berlari menuju utopia yang hilang bersama kemenangan
Surabaya, 2020
BELAJAR MENTAATI LAMPU MERAH KARANGMENJANGAN
sebagai anak angin, aku meliuki kepergian ibu dalam ketukan seng dari wajan para penjual nasi goreng, memeluk kuat-kuat jalanan dan mendudukinya sebagai tahta paling tinggi
orang-orang bergerak seperti anjing, liur lidahnya yang menetes terserap ke dalam lampu-lampu, menghauskan wajah pada telinga seperti beribu kentrung elektrik
bebutir beras menempel pada keningku yang berminyak, kau mereguk kopi pait dari mulutku yang kian hari makin melebar, sedang di ujung sana tembok kian hari makin pudar, lalu kita bercakap dan memutih setelahnya, retak, seperti manusia silver yang ada dalam bayang-bayangmu
kematian mungkin akan menyiksa, tapi ketiga batu karang kau bawa untuk menenggelamkan matahari, susuran laut yang mengelok di mendung rambutku terbungkus oleh kata-kata, membiaskan arti-arti dari makna yang sebenarnya
Surabaya 2020
KARANGMENJANGAN
orang-orang khawatir, di sepinggir jalan sepasang muda-mudi menyanyikan lagu own my way diiringi adzan, tapi hujan meluruh datang dengan keburu
sembilan puluh sembilan kematian mencatat bunyi dangdut, sekedar mengepung harapan dari purapura di sini dan kata-kata berhimpitan dalam kereta api, menggotong kegilaan dari anak-anak cybernetic, mungkin kupingnya dicengkoki pinggul koplo
kubawa haus dan lapar pada keinginan, dari kota kepada rimba yang mengantarkan peradaban purba, sebaris senyum meletus keluar jendela melewati jidatku, menulisi namamu dalam potret zaman di reklame bergambar bunga
aku menepuk dada, berdiam disudut-sudut taman yang bergerak dengan spontan, membawa wahyu, dan kesepian menjelma kapak yang membuka peta dunia, takut jika kau menduduki kursi di surga
Surabaya 2020
Penulis Adnan Guntur, lahir di Pandeglang pada tahun 1999. Saat ini sedang melanjutkan studi di Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga. Aktif berkegiatan di Teater Gapus Surabaya dan Bengkel Muda Surabaya. Email: [email protected] Instagram: pem.belajar_
— marewai.com
- Yuang Sewai: Poli samo jo Voli - 8 Desember 2024
- Bincang Karya Pertunjukan Harimau Pasaman oleh Lintas Komunitas di Pasaman - 2 Desember 2024
- Cerpen Celana Dalam Robek | Thomas Elisa - 24 November 2024
Discussion about this post