(Sebuah Catatan Singkat dari Pertunjukkan Performance Art di Malam Pembukaan Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Sumatera Barat 2021 di Taman Budaya Padang)
“Baban Barek, Singguluang Batu.”
Seiring berkembangnya zaman dari laju masa, kita menjadi keturunan yang mengulik-ngulik sejarah lama. Dari kekelaman yang menyengsarakan masyarakat pribumi, hingga mengenai getah ke masyarakat dunia. Sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai salah satu penghasil rempah terbesar di dunia yang dijuluki dengan nama Mother of Spices. Sehingga menarik perhatian bangsa-bangsa Eropa dengan rasa ingin memiliki rempah tersebut.
Pelayaran-pelayaran bangsa Eropa (Portugis) pun mulai melabuhkan kapalnya ke Indonesia pada tahun 1512 di Maluku. Rempah menjadi tujuan utama bagi bangsa Portugis yang datang ke wilayah Indonesia—taktik perdagangannya yaitu dengan membelinya murah, dan menjualnya dengan harga tinggi di pasar Eropa dan Amerika, sehingga bangsa Portugis memonopoli rempah Indonesia. Rempah (pala, lada, kulit manis, dan cengkeh) digunakan tidak hanya sebagai bumbu masakan, obat, dan pengawet, tapi juga penambah vitalitas laki-laki Eropa abad pertengahan. Rempah yang bernilai tinggi di mata para pedagang dunia menjadi sebab ajang pertarungan untuk memiliki rempah tersebut, sehingga kolonialisme pun terbentang.
Melalui pembacaan-pembacaan sejarah, dituangkan ke dalam ruang kreatifitas, yaitu seni, sebagai tafsir pembaharuan terhadap sudut pandang si pencipta karya. Salah satunya ruang kreatifitas bernilai estetik dari tafsir jalur rempah dan dituangkan ke dalam sebuah karya pertunjukkan, yaitu Performance Art yang berjudul “Tanah Ibu, Tanah Rempah” oleh Aprililia sebagai perfomer dan Thendra BP sebagai skenografer.
Performance Art: “Tanah Ibu, Tanah Rempah”
Pertunjukkan dimulai dengan performer memasuki arena pertunjukkan dan melangkah di atas kanvas dengan membawa nyiru yang berisikan lada (merica). Aprililia menampi lada di atas kanvas, mengelilingi kanvas, membentuk zig-zag, hingga lada di nyiru (lihat foto) berpindah ke kanvas. Kemudian Aprililia menjelma seorang Ibu yang ditandai oleh gestur tubuhnya yang bungkuk sembari mendagang nyiru kosong di punggungnya. Ibu berjalan di sekitaran kanvas, lalu berjalan keluar. Aprililia berjalan masuk ke atas kanvas dengan menjunjung ketiding yang berisikan pasir dan berasap kemenyan, di tangan sebelah kanan, ia merangkul tempayan yang berisi air. Ia menjelma beberapa keturunan dari Ibu yang juga menjadi Ibu. Hal itu ditandai oleh beberapa tanda dari cara berjalan di sekitaran kanvas.
Sekali waktu ia berjalan dengan menjinjit, sekali waktu ia berjalan dengan lutut tertekuk, sekali waktu ia berjalan dengan tumit kaki. Ia berjalan dengan membentuk sebuah akar yang dianalogikan sebagai garis keturunan dari Ibu ke Ibu dan begitu seterusnya. Pada langkah terakhirnya, ia berhenti tepat di tengah kanvas. Ia mengeluarkan tempurung yang berisi bara pembakaran kemenyan dari dalam ketiding dan meletakkannya ke atas kanvas. Asap mengepul, tangannya bergerak serupa memberi sanjungan terhadap arwah-arwah para leluhur, tanah diserakkan bagai air terjun dari dalam ketiding ke atas kanvas. Kemudian ia menggenggam tempayan, lalu berdiri, ia berjalan dengan gestur tubuh dan wajah serupa mengatakan bahwa “Ini, ambil saja!”, dengan ekspresi berang atau tidak senang. Ia kembali lagi ke pusat kanvas, menggenggam erat tempayan dengan ekspresi berang, lalu ia menumpahkan air di tempayan tersebut ke kepalanya, dan kepalanya disungkupi tempayan. Seketika tempayan dilepaskan dari kepalanya, dan dihempaskan ke kanvas, tempayan pecah berderai. Adegan selanjutnya Aprililia menanggalkan kain sarungnya, mengangkatnya ke atas dan dilepaskan. Kain sarung diambil kembali olehnya, dikenakannya serupa jubah, dan berlagak seperti orang bagak, dan pertunjukan selesai.
Sebagai Perupa Kanvas: Aprililia
Biasanya Aprililia melukis menggunakan kuas, cat, kanvas, dan bermain dengan warna, tapi pada performancenya di “Tanah Ibu, Tanah Rempah”, ia menggunakan media yang berbeda, seperti beberapa properti yang dianggapnya bisa menyampaikan apa yang telah dihasilkan dari pencariannya terhadap jalur rempah, yaitu kanvas, nyiru yang berisi lada (merica), tempayan yang berisi air, ketiding yang berisi pasir dan bara pembakaran kemenyan. Walaupun media yang dipakai oleh Aprililia berbeda, namun benang merahnya tetap berdasar dari seni rupa. Sama seperti ia melukis, biasanya menggunakan kuas, cat, dan kanvas, namun kali ini ia menggunakan properti lain yang sama tujuannya untuk menciptakan sebuah lukisan, hanya saja dengan media yang berbeda. Cara ia menyuguhkan lukisan tersebut diiringi dengan sebuah cerita, seperti cerita yang seiring dengan yang diperagakannya sembari melukiskannya di kanvas—melukis sekaligus menceritakan sesuatu. Terlepas hasil lukisannya membentuk apapun, dari awal pertunjukkan sampai habis pertunjukkan, maka di akhir pertunjukkan properti sebagai media yang berbeda dalam melukis tersebut akan membentuk sebuah instalasi, itulah proses dan hasil dari lukisannya dengan media yang berbeda tersebut.
Keutuhan dari lukisan pada performnya menurut Aprililia ialah properti-properti yang membentuk sebuah instalasi di dalam kanvas. Keutuhan intinya juga terletak pada waktu perform berjalan hingga akhir yaitu cerita.
Berbagai simbol yang dihadirkan terhadap properti yang dipakai oleh Aprililia dalam performnya, yaitu Aprililia menampi-nampi lada (merica) memiliki makna implisit aroma dan suara rempah yang memanggil-manggil bangsa asing untuk datang, kemudian suara dan aroma rempah yang menjadi kekacauan, badai, ombak, dan hujan, sehingga rempah berserakkan. Tokoh yang dihadirkan tetap dengan garis tengah seorang Ibu, yaitu seorang ibu yang terusir dari tanahnya dan sewaktu Ibu pulang, rempah sudah menjadi hujan, namun Ibu tidak bisa memiliki rempah tadi meskipun rempah tersebut berasal dari tanahnya. Pada baban singguluang barek dan air dari hulu yang dijunjung pada performnya mengibaratkan keturunan dari seorang Ibu yang menanggung beban berat dari perebutan tanah rempah, sementara Ibu sendiri terusir dari tanahnya. Garis tengah yang dikedepankan oleh Aprililia tetap kepada sosok seorang Ibu, mulai dari beban berat, beban yang telah jatuh, hingga pertukaran budaya, itulah keturunan dari sosok Ibu tersebut, sehingga kita sebagai bagian dari keturunan ibu, merawat hal itu sebagai sebuah ingatan kehancuran pada masa lalu abad 18—masa rempah.
Riset yang dikedepankan pada perform Aprililia kali ini, dari riset pustakanya, ia membaca buku The Banda Journal karya Fatris MF, Sejarah Rempah karya Jack Turner, dan beberapa buku lainnya seperti buku-buku tentang sejarah Sumatera dan jalur maritim yang terdapat di Pustaka Steva Padang. Kemudian observasinya, Aprililia riset jalur-jalur pantai barat dan gudang-gudang rempah yang terdapat di Padang. Hal inilah yang dilakukannya sebelum ia perform, hal tersebut pulalah yang menjadi tanda bahwa sebuah proses dalam berkesenian harus melakukan riset terlebih dulu, baik itu riset pustaka, maupun riset empirisnya.
- Yuang Sewai: Poli samo jo Voli - 8 Desember 2024
- Bincang Karya Pertunjukan Harimau Pasaman oleh Lintas Komunitas di Pasaman - 2 Desember 2024
- Cerpen Celana Dalam Robek | Thomas Elisa - 24 November 2024
Discussion about this post