Presiden Soekarno pernah memekikan sebuah jargon yang populer di negeri ini. Jargon itu berbunyi “Jas Merah, Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah” dan “Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah”. Jargon itu sampai saat ini masih begitu terasa menggema dalam ingatan anak Bangsa. Kita sebagai generasi penerus Bangsa mempunyai kewajiban untuk menghargai sejarah dan jasa para pahlawan. Sebagaimana juga yang diungkapkan oleh Soekarno, Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Sejarah merupakan kesadaran kolektif bangsa yang harus senantiasa diingat, dipelajari dan diuri-uri (Yudi Latif, 2018). Salah satu upaya untuk merepresentasikan jargon “Jas Merah” yakni dengan menzirahi para pendahulu.
Secara leksikal etimologi, kata ziarah diserap dari bahasa Arab yakni ziyarah, yang bermakna berkunjung atau mengunjungi sesuatu. Namun secara teknis, kata ini merujuk pada aktivitas mengunjungi tempat atau lebih tepatnya makam tertentu, seperti makam Nabi, Wali, pahlawan, para leluhur, dan lain sebagainya. Ritus ziarah erat kaitannya dengan umat beragama, sebagian umat beragama menjalankan ritus ziarah sebagai ungkapan religius. Sebagaimana para pemeluk agama Budha yang menziarahi tempat kelahiran Sang Budha di Kapilawastu. Para pemeluk Katolik yang mengunjungi tempat suci kelahiran Yesus di Gua Maria. Para pemeluk Hindu yang memiliki ziarah, misalnya Allahabad Arunachala,Ayodhya, Chidambaram. Di luar bangun ruang keagamaan, ziarah acapkali dilakukan di tempat orang bersejarah lahir atau disemayamkan. Sebagaimana Makam Mustafa Kemal di Ankara, Turkey yang dikunjungi banyak turis dari mancanegara. Di Nusantara, Makam Soekarno memiliki daya tarik untuk diziarahi oleh masyarakat Indonesia, begitu juga dengan makam raja-raja di Imogiri dan Wali Songo.
Ingat ziarah, saya segera terngiang-ngiang makam Syekh Makdum Wali dan Senopati Mangkubumi. Ya, makam dan sosok yang terkubur disitu tidak akan dilupakan orang ketika merunut pada sejarah islamisasi di Banyumas. Ingatan itu masih terpatri kuat sampai saat ini, terbukti banyak peziarah datang silih berganti. Saya dan keluarga pun ingin menjadi replika dalam ritus ziarah ini. Makam Syekh Makdum Wali berada di Kota Purwokerto (secara administratif masuk dalam Kabupaten Banyumas), dikenal sejak lama oleh Syekh Makdum Wali sebagai pusat kekuasaan Kadipaten Pasir Luhur. Syekh Makdum Wali memulai dakwah Islam santri di Pasir Luhur dengan mendirikan padepokan Dekah Ambawang Gula Gemantung. Setelah wafatnya Sang Syekh, makamnya di Purwokerto (Pasir Luhur), menjadi magnet peziarah. Pada bulan Oktober 2017 yang lalu, kompleks makam sedang dipugar sehingga kian luas, megah dan besar. Upaya pemugaran itu berpacu pada semakin banyak peziarah yang setiap hari berkunjung ke makam Syekh Makdum Wali dan peran dari kotak infak di sekitar area makam. Sependek yang bisa saya amati, penempatan kotak infak pada area makam Syekh Makdum Wali sudah pas penempatannya. Kotak itu berada di luar bangunan makam Syekh Makdum Wali yang penempatannya indah, tanpa mengurangi nilai estetika dan sakral suatu makam.
Kompleks makam Syekh Makdum Wali kian terasa luas dan megah. Meliputi gapura, masjid agung, pelataran istirahat peziarah, pelataran parkir, tempat wc, tempat wudhu (padasan) yang apik, serta deretan kios pedagang di luar kompleks makam. Struktur tumpukan bebatuan yang menjadi tembok pada kompelks makam masih dipertahankan sampai sekarang. Dua pohon beringin rimbun dibiarkan berdiri diantara makam Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi. Hal ini mencandrakan image mistis dan suasana Pasir Luhur tempo dulu. Area pusat makam Syekh Makdum berasitektur surau tua yang semakin menambah nuansa itu. Adapun keberadaan makam Syekh Makdum dan Senopati Mangkubumi masih menjadi perdebatan. Ada peziarah yang meyakini makam yang sebenarnya berada dalam ruang surau tua dan ada juga yang percaya makam itu terletak di belakang surau.
Sekilas Tentang Syekh Makdum Wali
Pangeran Makdum Wali yang kemudian dikenal sebagai Syekh Makdum Wali merupakan ulama penyebar Islam di Banyumas pada awal abad ke-15, utamanya Islam santri. Beliau merupakan utusan langsung dari Sultan Alam Akbar (Raden Fatah) sebagaimana disebut Mawi Khusni dalam artikelnya “Sejarah Islamisasi di Banyumas” (2017). Raden Fatah mengutus Pangeran Makdum Wali untuk mengemban misi islamisasi ke Kadipaten Pasir Luhur yang masih setia beragama Buddha. Dalam misi Islamisasi ke Kadipaten Pasir Luhur, Pangeran Makdum Wali ditemani oleh Patih Hedin dan Patih Husein. Pada saat itu, Kadipaten Pasir Luhur dipimpin oleh Adipati Raden Banyak Belanak dan masih beragama Buddha. Masih menururt Khusni, sekitar tahun 1457 M, Adipati Banyak Belanak masuk Islam. Berkat kegigihan Adipati Banyak yang turut serta dalam Islamisasi wilayah Banyumas, ia diberi gelar Pangeran Senopati Mangkubumi.
Meskipun Islamisasi di Kadipaten Pasir Luhur sudah dilakukan oleh Syekh Makdum Wali dan Senopati Pangeran Mangkubumi. Namun, ada beberapa wilayah di Kadipaten Pasir Luhur yang belum tersentuh Islamisasi. Setelah Pangeran Senopati Mangkubumi wafat, dakwah Islam dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Kyai Bonokeling. Ia berdakwah di Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas dan mengajarkan tata cara bercocok tanam dan beternak (Ridwan, 2008: 64-65). Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Kyai Bonokeling yakni dengan sinkretisme agama dengan tradisi dan budaya. Islam yang di dakwahkan oleh Kyai Bonokeling dikemudian hari karib dengan sebutan Islam abangan. Secara etimologis, abangan mengacu pada kata abang dalam perbendaharan bahasa Jawa Ngoko.
Sedangkan dalam krama abang disebut abrit. Istilah Islam abangan dan putihan pertama kali dipopulerkan oleh sarjana Hindia Belanda bernama Clifford Geertz. Pandangan Clifford Geertz menuai begitu banyak kritik. Pasalnya, Islam Nusantara menurut Clifford Geert merupakan Islam yang bercampur dengan sinkretisme. Pandangan itu kemudian melahirkan dikotomi abangan dan putihan (santri).
Seperti yang dimaksud Clifford Geertz, kaum abangan merupakan kaum Jawa yang otentik dan menolak Islam, sedangkan kaum putihan (santri) merupakan kaum Jawa yang menolak Jawa dan menerima Islam. Maka dapat kita tarik benang merah bahwa Islam Nusantara sedari dulu sudah termarjinalkan melalui kajian akademik ngawur oleh sarjana Belanda. Konsekuensi dari pandangan sinkretisme Islam yang memisahkan Jawa dan Islam membuat keduanya seolah-olah vis a vis. Cara pandang ini tentunya terkesan terburu-buru dan sembrono. Sebagaimana juga pendapat Irfan Afifi (2018) dalam bukunya “Saya, Jawa dan Islam” Jawa dan Islam merupakan suatu kesatuan. Segala lelaku bahkan tradisi dalam Jawa merupakan bentuk manifestasi dari ajaran Wali Songo. Karakter Islam Nusantara yang saling bertautan antara Islam dan tradisi, menjadikan ia beragam dan semakin berkembang. Dikotomi abangan dan putihan merupakan strategi kolonial guna memecah belah persatuan, kata Nancy K. Florida dalam artikelnya “Jawa-Islam di Masa Kolonial” Islam memunculkan kecurigaan sebagai sebuah kenyataan berbahaya, suatu kekuatan yang mampu dan mungkin akan muncul dimana saja. Kemudian pihak kolonial mengelompokan manusia sebagai “Muslim Sinkretik”.
Kembali ke ziarah, sebagaimana Greg Barton dalam artikelnya berjudul “mistisme dan tradisional” (2001) ziarah merupakan prosesi mengunjungi orang-orang saleh untuk mendoakan, ngalap berkah, bimbingan atau pemahaman, dan bahkan pemenuhan terhadap nadzar. Streotyp heterodoks kerap disematkan pada peziarah yang menziarahi makam. Pasalnya, mereka (kaum modernis dan sarjana barat) menganggap bahwa ritus ziarah merupakan sinkretisme agama yang bukan Islam. Pada prosesi ziarah, sebenarnya kita sedang menyesap butir makna kehidupan yang fana. Para Wali memberikan butir makna bahwa hidup manusia haruslah bermanfaat bagi kehidupan manusia lainnya (baca: anfanguhum linnas). Walaupun para Wali sudah tak berada dalam kehidupan dunia, tapi seolah-olah ia masih hidup di dunia.
Sekiranya para Wali mengajarkan kepada kita, bahwa semakin mati, semakin ada (comatio ergo sum). Tentunya hal itu begitu kontradiksi sebagaimana peradaban modern yang mengharuskan cogito ergo sum (ketika kamu berpikir maka kamu ada). Dalam comatio ergo sum, saya terbawa dalam ilmu yang dalam term Islam disebut Ilmu Tajwid. Ya, Ilmu Tajwid mengajarkan kepada kita tentang huruf mati masih tetap ada (dengung, tidak bunyi, atau bunyi). Huruf-huruf yang mati dalam sebuah bacaan Al-Quran, masih tetap ada dengan menyertai atau masuk ke huruf lain. Darinya kita tahu, bahwa kematian dapat memunculkan sebuah harmoni dan keindahan yang tak lekang oleh masa.
BACAAN
Khusni Mawi, dkk. 2017. Sejarah Islamisasi Di Banyumas. Purwokerto. Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama.
Afifi Irfan. 2018. Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta. Tanda Baca.
Barton Greg. 2001. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta. LkiS.
Ridwan, dkk. 2008. Islam Kejawen, Sistem Keyakinan dan Ritual Anak Cucu Kyai Bonokeling. Purwokerto. STAIN Purwokerto Press.
C. Ricklefs. 2008. The Birth of the Abangan. https://www.researchgate.net/publication/41017167_The_birth_of_the_abangan.
Yudi Latif. 2018. Negara Paripurna: H
istorisitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila. Jakarta. PT.Gramedia Pustaka Utama.
Nancy K.Florida. 2020. Jawa-Islam di Masa Kolonial. Yogyakarta: Buku Langgar.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post