Perkembangan zaman ke zaman membawa banyak perubahan yang terlalu signifikan, apalagi perubahan yang terjadi di dalam keseharian. Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat. Sebagaimana kita ketahui kalau bahasa itu merupakan tanda atau ciri khas yang digunakan untuk berkomunikasi atau alat penghubung antara seseorang dengan orang lain. Setiap orang berbeda-beda bahasa yang digunakannya. Tetapi bahasa yang menjadi pemersatu seseorang dengan orang lain adalah bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan Bahasa negara Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu kemudian dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Bahasa Indonesia telah digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai bahasa pemersatu rakyat Indonesia. Karena rakyat Indonesia memiliki ragam-ragam bahasa di setiap daerahnya. Misalnya masyarakat yang ada di Propinsi Sumatra Barat, bahasa aslinya adalah menggunakan bahasa Minang. Di mana setiap daerah yang ada di Propinsi Sumatra Barat juga memiliki variasi-variasi dalam berbahasa.
Sejatinya, bahasa dianggap sebagai produk budaya yang mencerminkan identitas bangsa, salah satunya bahasa daerah. Negeri yang kaya ini, memiliki berbagai jenis, ragam, atau variasi bahasa daerah sesuai kelompok penuturnya. Sayangnya, bahasa daerah kini mulai terasa asing diperdengarkan. Era globalisasi dan modernisasi telah ‘menendangnya’ dari kehidupan. Life style menjadi ajang untuk menunjukkan identitas diri. Bahasa daerah jadi korban yang diacuhkan, termasuk Bahasa Minangkabau. Betapa tidak, bangsa Indonesia memiliki sekitar 700 lebih bahasa daerah, tetapi yang tercatat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sekitar 450 saja. Sisanya, sebagian sudah punah dan sekarang beberapa bahasa juga sedang terancam punah.
Variasi berbahasa pada saat sekarang ini masih kental digunakan oleh masyarakat-masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang berbeda. Itulah salah satu ciri-ciri dari bahasa adalah bahasa yang bervariasi. Masyarakat di Propinsi Sumatra Barat khususnya di Kota Padang memiliki ciri khas yang berbahasa yaitu menggunakan bahasa Minang. Bahasa Minang yang digunakan sangat kental dan masih terasa dialek bahasa Padang-nya walaupun dia berbicara dengan menggunakan bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia.
Tampaknya, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah mengubah jalan hidup banyak orang, baik pola pikir, maupun cara berkomunikasi. Penuturan bahasa daerah semakin menipis, dan dicampakkan karena cenderung dianggap kuno, ndeso, terbelakang, dan bahkan ‘kampungan’. Setidaknya itulah fenomena yang nyata di kalangan masyarakat modern saat ini. Masyarakat yang ‘katanya’ maju dan beradab itu lebih bangga melisankan bahasa ‘gado-gado’. Misalnya, , Bahasa Minangkabau campuran Bahasa Indonesia, atau menjadi bahasa ‘antah-barantah’.
Kalangan generasi muda, baik di perkotaan maupun perdesaan, mereka cenderung menggunakan kosa kata modern, ‘gaul’ dalam berkomunikasi. Padahal, yang mereka gunakan belum tentu lebih baik dari bahasa daerahnya, bahkan tidak lebih daripada pepesan kosong yang tidak bernilai. Bisa dikatakan, bahwa generasi muda, generasi saya saat ini, penerus bangsa saat ini, telah nyata mencabut akar budaya bangsanya sendiri. Mereka rela menjadikan bahasa daerahnya sebagai warisan budaya luhur yang agung itu layu, dan kemudian mati tergilas oleh roda modernitas atau globalisasi.
Kita tahu, Bahasa Minang sebagai salah satu bahasa daerah yang banyak memberikan sumbangan terhadap kosakata Bahasa Indonesia. Sekarang terbalik, adanya Bahasa Indonesia malah memengaruhi penggunaan Bahasa Minangkabau. Pencampuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang itu banyak dijumpai ketika seorang siswa sedang bercerita dengan teman sebayanya. Seperti contoh, “Gag ada sama aku doh. Udah aku kasih sama kamu tadi mah”. Kebanyakan siswa sering menggunakan kata “Aku” kepada dirinya dan kata “Kamu” sebagai penunjuk lawan bicaranya. Bahasa yang saling memengaruhi ini mengakibatkan munculnya Bahasa Minang versi ‘gaul’. Para penutur Bahasa Minang sering mencampuradukkannya ketika berkomunikasi. Contoh lainnya adalah “Kama kamu tadi?”, “Dak nio aku dow”, “Maleh aku minjaman mah, beko kamu hilang lo pensil aku liak”. Aneh terdengar, tapi itulah kenyataannya. Contoh kata di atas itu merupakan salah satu fenomena di dalam berbahasa yang digunakan oleh anak zaman sekarang. Adanya pencampuran bahasa Minang di dalam bahasa Indonesia telah menjadi kebiasaan yang dimiliki oleh masyarakat yang ada di Propinsi Sumatra Barat.
Sangat banyak faktor yang ikut menguliti Bahasa Minang. Masyarakat Sumatra Barat (Sumbar), mayoritas sudah terjangkiti penyakit kemodernan, terutama kalangan remaja. Menyedihkan lagi, kini pelakunya bukan saja kalangan anak-anak dan remaja pewaris kebudayaan bangsa, namun orang dewasa pun sudah mulai ikut-ikutan. Mereka bangga pakai kata “aku dan kamu” daripada kata “awak, aden, ambo”. Alasannya, itu cara mengaktulisasi diri dengan life style terkini, agar terlihat modern, tidak dianggap kuno, dan tidak terlihat asing di tengah masyarakat.
Secara sosiologis, penyebab lunturnya bahasa dan kosakata Minangkabau tidak lepas dari faktor internal yang berasal dari masyarakat penuturnya sendiri. Pertama, melemahnya sosialisasi dalam keluarga. Kebanyakan orang tua saat ini cenderung menggunakan Bahasa Indonesia saat berkomunikasi dalam keluarganya. Seharusnya, orang tua sebagai agen utama dalam menjembatani anak terhadap etnis, budaya, serta bahasa daerah. Kedua, tidak dipungkiri, kurikulum yang ada di sekolah-sekolah di daerah Minangkabau mulai dari SD, SMP, SMA, sudah jarang ada pelajaran khusus tentang bahasa daerah, Budaya Alam Minangkabau (BAM). Kalaupun ada, hanyalah sebagai muatan lokal (mulok) yang tidak lebih dari dua jam dalam seminggu. Padahal ini salah satu cara melestarikan bahasa Minang, petatah-petitih, dan budayanya. Tidak jauh berbeda, di perguruan tinggi lebih memprioritaskan Bahasa Indonesia atau bahasa asing, karena dianggap lebih berharga dibandingkan bahasa daerah. Padahal, melestarikan bahasa daerah juga termasuk bagian urusan dan tanggung jawab orang yang perpendidikan tinggi. Ketiga, kurangnya kesadaran generasi muda. Kini, generasi muda lebih percaya diri memakai bahasa asing, gaul, dan bahasa alay, dibanding Bahasa Minangkabau. Budaya dan kebiasaan anak muda telah menyingkirkan Bahasa Minangkabau.
Meski begitu, kita tidak sedang menyatakan penolakan terhadap perkembangan zaman. Namun ada bagian-bagian penting dari jati diri yang tidak boleh hilang ataupun dicampuri dengan budaya asing. Semunya harus sesuai dengan porsi dan letaknya. Tidak bisa segala sesuatunya kita paksakan untuk masuk, semisalnya bahasa tadi. Eksistensi bahasa daerah memang kalah telak dengan bahasa Indonesia, tapi bukan berarti harus ditinggalkan ataupun merasa malu memakai bahasa tersebut. Tentu yang berperan penting dalam fenomena ini adalah keluarga dan guru di sekolah—juga pengambil kebijakan pusat.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post