
Sepekan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Pegangsaan Timur, Jakarta, kehidupan masyarakat perlahan kembali seperti sediakala. Bung Karno beserta sejumlah tokoh bangsa sibuk dengan urusan kenegaraan, sementara beberapa pemimpin lain memilih beristirahat, menikmati ketenangan setelah hari-hari penuh ketegangan sebelum kemerdekaan.
Di samping itu, pria kelahiran Kerawang, Jawa Barat yang merupakan salah satu perintis kemerdekaan, memilih menghabiskan waktu di kediamannya. Pria itu bernama Mr Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo, atau yang lebih dikenal Achmad Soebardjo, di pagi yang masih segar di rumahnya yang berlokasi Jalan Cikini Raya 82, Jakarta Pusat, ia menerima kunjungan seorang kawan lama yang kehadirannya begitu mengejutkan. Sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu sejak perjumpaan terakhir pada 1930-an, ketika Soebardjo masih menempuh studi di Leiden, Belanda.
“Wah, kau Tan Malaka?” seru Soebardjo dengan takjub. “Saya kira kau sudah lama tiada. Saya membaca berbagai kabar tentangmu, ada yang mengatakan kau gugur dalam kerusuhan di Burma, ada pula yang menyebutkan kau tewas di Yerusalem dalam konflik Israel.”
Pria kelahiran Pandam Gadang itu dengan senyum khasnya, menjawab dalam bahasa Belanda kepada Soebardjo, “Onkruid vergaat toch niet,” yang berarti, “alang-alang tak dapat musnah jika tak dicabut hingga ke akar-akarnya.”
Dalam otobiografinya, “Kesadaran Nasional,” Mentri Luar Negeri pertama itu mengisahkan persahabatannya dengan Tan yang bermula pada 1919 di Amsterdam. Tan, yang kala itu tengah menyelesaikan studi Hoofdacte, segera menemukan kecocokan dengan dirinya yang baru memasuki fakultas hukum. Keduanya kerap berdiskusi perihal pergerakan nasional dan strategi perjuangan bangsa.
Setelah berbincang ringan, Soebardjo menanyakan maksud kedatangan Tan pada hari itu. Tan dengan tenang menjawab, “sampai sekarang saya hidup incognito (tidak resmi) di bawah tanah. Sekarang Indonesia sudah merdeka, saya ingin hidup dan bergerak di atas tanah secara resmi. Saya ingin menemui dan mengenal pemimpin-pemimpin Indonesia.” Ungkap murid Horensma itu.
Pernyataan itu menimbulkan pertanyaan besar di benak Soebardjo. Ia khawatir jika Tan berniat mempengaruhi arah revolusi dengan pandangan Marxisme dan Leninisme yang dianutnya. Kenapa tidak? Tan justru dikenal sebagai orator ulung yang dapat dengan mudah menggugah massa, belum lagi tulisannya yang sungguh diminati, dengan kemampuan analitik yang begitu tajam.
“Saudara Tan tinggal di mana?” tanya Soebardjo.
“Bagaimana mungkin seorang zwerver (pengembara) memiliki tempat tinggal tetap?” jawab Tan dengan nada berseloroh. “Aku menginap di mana pun ada tempat berlindung.”
Merasa simpati, sang sahabat pun menawarkan, “baiklah, untuk sementara waktu, tinggallah di paviliun rumah saya. Aku ingin mendengar kisah perjalananmu sejak kita berpisah di Negeri Belanda.”
Tan Malaka akhirnya menetap beberapa hari di kediaman Bapak Diplomasi Indonesia itu, di mana ia berbagi kisah tentang perjalanan hidupnya yang penuh gejolak. Sejak kembali ke tanah air pada 1920, ia sempat bekerja di perusahaan perkebunan Senembah Maatschappij di Sumatra Utara, mengajar untuk anak-anak kuli perkebunan tembakau tersebut. Namun, akibat mengajarkan sejarah pergerakan buruh, ia pun dipecat.
Tan kemudian menuju Semarang dan mendirikan Sekolah Rakyat bersama Semaun, namun sekolah itu dibubarkan, dan ia diusir dari kota tersebut. Akhirnya, ia berkelana ke Belanda, bergabung dengan Partai Komunis, lalu berpindah-pindah ke Rusia dan Tiongkok.
“Setelah mendengar kisah Tan Malaka tentang pengasingannya di Eropa, aku memahami keinginannya untuk turut menikmati kemerdekaan Indonesia,” ujar Soebardjo.
Merasa simpatik, Soebardjo berinisiatif mempertemukan Tan dengan beberapa pemimpin revolusi, termasuk Gatot Tarunomihardjo, Iwa Kusuma Sumantri, Sajuti Melik, dan bahkan Bung Karno sendiri. Suatu hari, Sajuti Melik mengajak Tan menemui Dr. Suharto di Kramat Raya, tempat di mana pertemuan penting dengan Bung Karno terjadi.
Dalam perjuangannya Bung Karno berterus terang kepada Tan, bahwa banyak mengambil petunjuk dari buku ‘Aksi Massa’ karya Tan Malaka. Di samping itu, proklamator kelahiran Blitar itupun menjelaskan akan kekhawatirannya perihal kondisi yang tak diduga pasca kemerdekaan yang bisa saja terjadi kapan waktu, Bung Karno pun meminta Tan agar memberikan beberapa petunjuk soal strategi perjuangan guna mempertahankan negara, Bung Karno kembali menjelaskan agar soal pencerahan uni disampaikan oleh Tan, kepada para pemimpin yang ada saat itu.
Bung Karno lalu mengungkapkan kekhawatirannya akan situasi pasca kemerdekaan yang akan penuh tantangan dan meminta Tan untuk memberikan pandangan strategis kepada para pemimpin republik.
Namun Tan berucap, “saya tidak dikenal oleh para pemimpin yang saudara sebutkan. Saya sanggup menunaikan tugas saya apabila anda bersedia memberikan surat pengenal kepada saya,” jawab Tan dengan tenang.
“Baik, nanti saya sampaikan,” kata Bung Karno.
Hari demi hari berlalu, namun surat pengenal yang dijanjikan tidak kunjung diterima Tan. Ia bahkan meminta Soebardjo untuk mengingatkan Sukarno, tetapi tak membuahkan hasil. Hingga suatu hari, Bung Karno dan Bung Hatta berkunjung ke rumah Soebardjo untuk akhirnya menulis surat tersebut. Namun, alih-alih sekadar surat pengenal, Tan diminta merancang sendiri isi suratnya.
Surat yang pada hari ini disebut dikenal sebagai testamen politik dan ada juga yang mengartikan sebagai political manifesto tersebut berbunyi: “Jika terjadi sesuatu terhadap Sukarno dan Hatta, maka kepemimpinan perjuangan kemerdekaan diteruskan oleh Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri, Sjahrir, dan Wongsonegoro.” Mungkin banyak yang bertanya kenapa di kemudian hari nama ini bertambah? Yang mana awalnya hanya diperuntukkan untuk Tan, tapi kemudian ada nama yang bertambah, hal ini disebabkan oleh Bung Hatta, berangkat dari ketidaksetujuan Bung Hatta kalau testamen itu hanya nama Tan, ia pun memberikan nama tambahan.
Soebardjo akhirnya mengetik tiga salinan surat tersebut, tetapi kondisi revolusi yang terus bergolak menyebabkan amanat di dalamnya tidak pernah benar-benar terlaksana, dan kabarnya Soebardjo pun tidak dapat memberikan salinan itu. Setelah tujuh hari di rumah Soebardjo, pria bernama asli Ibrahim itupun berpamitan, menyatakan niatnya untuk melanjutkan perjalanan ke Jawa Tengah guna melanjutkan perjuangannya.
Memang banyak tidak kesesuaian antara Tan Malaka dengan juniornya itu yakni Mohammad Hatta, begitupun juga Sutan Sjahrir, bahkan Sjahrir pernah menawarkan posisi untuk Tan di partainya, yakni Partai Sosialis, tapi Tan menolak itu. Mengenai Hatta, Tan Malaka sendiri pernah bertemu dengannya sebelumnya di Berlin, Jerman. Bahkan terjadi diskusi menarik dan sela menyela antara Tan dengan Hatta, ada tiga orang di perkumpulan itu, Darsono, Tan sendiri, dan juga Hatta.
Bung Hatta juga menanyakan apakah Tan bakal tinggal di Moskow, dirinya pun menjawab, bahwa ia datang ke Moskow karena di Moskow merupakan pusat gerakan komunisme di dunia. Namun, meski demikian, dirinya tak berniat menetap. Ia pun menyambungnya bahwa memiliki keinginan untuk ke arah Timur jauh, untuk berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Tan juga mengatakan jikalau di Moskow Stalin sang diktator tengah berkuasa. Ia punya sikap: punggungnya tak bisa membungkuk kepada siapapun, termasuk kepada Stalin, Tan pun memperkuatnya bahwa alam diktatorial tak sesuai dengan dirinya.
Tan juga meyakini, bahwa berdasarkan teori-teori yang telah ia pelajari, gerakan komunis itu justru berlaku prinsip sama rata, begitupun sama rasa, dan demokrasi sepenuh-penuhnya. Dan, sebaliknya di bawah kekuasaan pria berjuluk “Koba” itu akan berlaku perbudakan, dia sebagai pemimpinnya dan yang lain bertindak sebagai budak.
Bung Proklamator kelahiran Bukittinggi itupun menyela, Tan. “Bukankah diktator memang bagian dari sistem komunisme? Bung Hatta meminjam istilah Karl Marx, diktator proletariat. Tan Malaka menjawab, diktator proletariat dalam teori Karl Marx hanya berlaku pada masa peralihan, yaitu saat pengalihan kekuasaan borjuis atas alat produksi ke masyarakat (sosialisme).
Tan juga menambahkan, jikalau kaum buruh akan menjadi perintis jalan menegakkan keadilan menuju sosialisme dan komunisme. Disitulah terselenggara produksi oleh banyak orang untuk banyak orang di bawah pimpinan badan-badan musyawarah. “Ini bertentangan dengan diktator orang-seorang,” tambah Tan Malaka.
Mendengar dengan seksama uraian Tan Malaka, Wakil Presiden pertama itu merenung panjang. Dalam bayangannya, orang seperti Tan Malaka yang lurus tulang punggung dan keyakinannya, pasti akan berlawanan dengan Stalin, yang ujung-ujungnya la akan dikeluarkan dari organisasi komunis internasional.
Dan, lima hari mereka berkumpul di Berlin. Setelah itu, Bung Hatta pulang ke Hamburg. Sedangkan Tan Malaka ke Moskow. Tiga tahun kemudian, pertengahan 1925. Bung Hatta mendapat kiriman buku dari Tan Malaka. Ya, sebuah buku kecil berjudul “Naar de Republiek indonesia” (Menuju Republik indonesia) buku yang turut menjadi inspirasi bagi Sukarno di kemudian hari.
Di samping itu, meski sama-sama berasal dari Ranah Minang, antara Hatta dan Tan, memiliki latar belakang keluarganya yang cukup berbeda, Hatta sendiri soal ekonomi lebih mengungguli Tan, daerah pun berbeda jauh, tempat Tan cukup jauh dari kemajuan begitupun juga dengan akses yang belum bagus seperti sekarang, akan tetapi Hatta lahir di Kota yang cukup menjadi pusat perekonomian di Sumatra Barat waktu itu.
Kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa pria yang ditolak cintanya oleh Syarifah Nawawi itu merupakan pengembara ide brilian dan pejuang tanpa kompromi. Ia tidak mencari kenyamanan pribadi atau jabatan politik, melainkan teguh pada prinsip dan keyakinannya. Dalam kancah revolusi, ia adalah sosok yang tak mudah dibungkam, meski terus hidup dalam bayang-bayang pengasingan dan perburuan. Pemikirannya tajam, tulisannya menggugah, dan kehadirannya kerap menantang arus kekuasaan.
Sejarah mungkin mencatatnya sebagai sosok kontroversial, tetapi tak bisa disangkal bahwa jejak pemikirannya ikut membentuk arah perjuangan bangsa. Seperti yang pernah ia katakan kepada Soebardjo itu, “Onkruid vergaat toch niet” alang-alang tak dapat musnah, jikalau tak dicabut dengan akar-akarnya. Tan Malaka, juga bukan sekadar nama atau gelar, ia adalah gagasan yang terus hidup.
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.
- Menimbang Minangrantau | Muhammad Nasir - 9 Maret 2025
- Esai – Punkdikbud | Wallcracks - 9 Maret 2025
- Esai – Tenang, Senang, dan Menang | Reo Chandrika - 8 Maret 2025
Discussion about this post