Judul : Memoar Kiai Chariri: Ulama Yang Menginspirasi
Penulis : Dra. Hj. Umi Afifah, Drs. H. M. Mudhofi, Enjang Burhanudi Yusuf, dll.
Editor : M.Fajar
Penerbit: Rizquna
Cetakan : Pertama, September 2021
Tebal : 435 hlm.
Peresensi : Chubbi Syauqi
Buku tebal dengan sampul berwarna putih. Gambar lelaki tengah berdiri sembari tersenyum. Ia tampak sumringah, seolah gambar pada sampul itu ingin bercerita. Ini adalah kesaksian Ny. Hj. Umi Afifah, isteri dari Kiai Chariri seperti dimuat dalam Memoar Kiai Chariri: Ulama Yang Menginspirasi. Seterusnya: “Abah sangat sabar dan penyayang. Pernah suatu saat saya memakai medali wisudawan terbaik milik Abah yang saya jadikan bros. Tidak sengaja saya menghilangkannya, namun beliau tidak kecewa apalagi marah dengan saya” (Hal.8).
Cerita tersebut dikisahkan dalam buku Memoar Kiai Chariri: Ulama Yang Menginspirasi (2021). Buku itu terbit bertepatan dengan haul 1 tahun kepergian Kiai Chariri. Buku itu sejenis refleksi dari sosok Kiai Chariri dengan ditulis berbagai koresponden. Pembaca akan puas membacanya, karena buku disusun dengan tebal. Lelaki pada sampul itu bernama Kiai Chariri, sosok kiai penebar cahaya. Di Wonosobo, ia bersekolah dan belajar agama ke pasantren-pesantren. Dimasa kecil, ia pernah jadi “cah angon”. Ia memang lahir dari Wonosobo, Jawa Tengah. Chariri Shofa lahir pada 11 September 1957.
Pendidikan formal hingga MAN diselesaikan di Wonosobo, dilanjutkan dengan berkuliah di IAIN Sunan Kalijaga. Ia hampir saja tidak jadi “kiai” gara-gara menempuh pendidikan di APDN, tapi lekas pindah seturut titah dari gurunya (Mbah Mun Wonosobo). H. Abas Sarkowi mengisahkan “…… Chariri sedang menempuh studi lanjutan di APDN. Mendengar hal itu, Mbah Muntaha langsung berucap, Ditarik bae. Ditarik. Omongna bapake, aja neng APDN. Ngesuk arep dadi kiai” (Hal.104). Di Yogya, ia semakin ingin menjadi manusia beradab dengan getol membaca, berorganisasi, dan mendalami agama. Di PMII, ia berorganisasi dan berhasil menduduki jabatan Ketua Rayon dan Komisariat.
Semasa kuliah, ia menaksir perempuan pujaan. Tanpa berlama-lama, Kiai Chariri nekat bersilaturahmi untuk melamar sang pujaan. Perempuan pujaan itu bernama Umi Afifah. Mereka pun menikah dan dikaruniai 5 putri (baca Jawa: Pancagati). Keluarga relijius itu tinggal di Purwokerto dan hidup dalam kesedarhanaan. Tahun 2014, keluarga relijius itu di daulat sebagai juara 1 keluarga sakinah teladan tingkat nasional. Kegairahannya berintelektual mengantarkanya menjadi dosen hingga Ketua STAIN Purwokerto. Pada saat memimpin STAIN, ia sempat membuat gebrakan. Pengisahan Ibnu Hasan: “San, saya kok menjadi Ketua STAIN didemo ”……” Saya itu membuat SK syarat wisuda STAIN harus lancar membaca Al-Qur’an. Malah di demo” (Hal.284).
Rupanya, ucapan dari Mbah Muntaha bernas dan terijabah. Ia, Khariri Shofa lantas menjadi seorang Kiai. Kiai Chariri Shofa tercatat sebagai ulama yang karismatik di Banyumas. Abdul Wachid B.S memberikan pujian pada Kiai Chariri: “Abah Chariri itu seorang Kiai Mukasyafah, beliau tau siapa orang yang harus diselamatkan jiwa dan raganya” (Hal.329). Dalam puisinya “Telunjuk Kiai Chariri (2021) Abdul Wachid melukiskan ekses Kiai Chariri:
Saban kali Sang Kiai memanggil
Pulangnya seperti kulakan hari raya
Setiap kali ada tamu bertandang
Pulangnya salam tempel dan kenyang
Di mata sekian orang, Kiai Chariri sosok yang dermawan. Ia memang getol dalam berbagi kepada siapa saja yang dirasa butuh. Di buku “Catatan Hikmah Ayah Petualang: Bertualang Untuk Kembali Pulang (2020)” Mukhamad Kholik menyuguhkan cerita: “Pada hari keberangkatan mendaki kami pamitan menuju ruang Ketua. Beliau memberi uang untuk bekal kami secara pribadi”. Tak hanya itu, ia juga seorang salik, tepatnya pengamal tarekat, setidaknya seperti tereksplisit dalam kesehariannya. Abdul Wachid lantas mengenang keunikan Jari Kiai Chariri sebagaimana dalam puisinya:
Bolakbalik berputar seperti telunjuk kanannya
Menari, tarian zikir samawi
Bagai gasing tarekat Maulawi
Di tengah malam, di antara bukit Kaafi dan Nuun. (Puisi “Telunjuk Kiai Chariri”)
Alegori itu dikisahkan oleh Abdul Wachid: “ Telunjuknya itu berputar mengikuti arah putaran alam semesta. Dalam tradisi sastra tasawuf, hal itu merupakan amaliah simbolik Thariqoh Qadariyah wa Naqsabandiyah yang bermula dari gerakan kepala diganti dengan gerakan telunjuknya” (Hal. 329). Kiai Chariri, nama teringat oleh khalayak sebagai pengasuh pondok pesantren Darussalam Purwokerto. Gairah mendirikan pondok bertaut dengan keyakinannya, ia pernah berujar: “Di mana pun tempat ketika didirikan sebuah pondok pesantren, di situlah mengalir selalu kebaikan dan keberkahan pada warga sekitarnya” (Hal.275).
Hari demi hari, Kiai Chariri habiskan untuk melakoni derma. Sebagaimana falsafah Jawa urip mung sakderma. Ia memiliki kegemaran mulang (ngajar), seperti sosok dhalang (baca:ngudhal piwulang). Keampuhan ilmu jangan diragukan, ia dikenal sebagai sosok yang ahli ushul fikih dan hadits. Pantas saja ia mengidolakan Syekh Wahbah Az Zuhaili dan Gus Baha. Pada 12 September 2020, Kiai Chariri pamitan. Ia dikenang keluarga di hari-hari terakhir masih sempat shalat tahajud dan rutin dipijat bila nyeri melanda. Ia menunaikan hidup panjang, sejak 11 September 1957. Ia memilih jalan ilmu (Tholabul ilmi). Bermula dari pesantren dan sekolah formal, ia memuncak menjadi cendekiawan dan ulama terhormat sepanjang masa.
Kiai Chariri itu tabah dan bergairah. Pembaca dapat menyimak berbagai kisah yang disuguhkan dalam buku ini. Mulai dari perjuangan mencari ilmu, ketekunan membaca, kegemaranya mulang, hingga berbagai kemelut yang dihadapi sang kiai. Sudah menjadi hal lumrah, apabila sekian tokoh kondang mungkin sulit mendapat perhatian saat masih hidup atau ihwal pergulatan diri menunaikan misi-misi besar terabaikan. Pemberian perhatian cenderung pada saat tokoh itu sakit atau berpamit dari dunia. Ketokohan mulai jadi perbincangan melibatkan keluarga, sahabat, ahli, pejabat dan publik awam. Buku “Memoar Kiai Chariri: Ulama Yang Menginspirasi” boleh dikata sebagai buku yang berupaya “menghidupkan kembali Kiai Chariri”. Pembaca akan bergetar menyimak kisahnya untuk kemudian menimba mata air keteladanan dari sosok Kiai Chariri. Di penghujung tulisan saya, saya mengajak pembaca berdoa untuk Allah Yarham Kiai Chariri Shofa. Lahul al Fatihah!
Chubbi Syauqi lahir di Banyumas, 1 Maret 2000. Dia tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Tarbiyah, Prodi Manajemen Pendidikan Islam UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto. Terdaftar sebagai anggota Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto. Alamat e-mail: [email protected]. Intagram :syauqichubbi
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post