
Oleh: Anggi Oktavia
Dari tuturan lisan seorang siak di kampung saya, ada banyak sekali informasi baru yang saya dapatkan dari beliau. Beliau menuturkan sebuah sejarah yang barangkali tak terjamah oleh generasi Minangkabau, begini tutur beliau:
Dahulu kala jauh sebelum Islam masuk Minangkabau sudah memiliki peradaban yang sangat kokoh. Kokoh dalam artian sudah tertata dengan rapi segala persendian. Diantaranya Minangkabau sudah berpakaian (hitam-hitam), sudah punya sistem adat, dan sudah menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan.
Sekitar abad ke-13 SM hiduplah tiga belas kaum di hulu sungai Tarab, di tanah luhak Agam. Satu kaum berarti memiliki satu keturunan yang masih dekat, hidup dalam satu rumah gadang, dan memiliki satu penghulu. Ada 13 orang penghulu yang hubungan kekerabatan mereka masih dekat dengan orang-orang Istana Pagaruyuang. Suatu waktu, terjadi perbedaan pendapat antara orang Kubuang Tigo Baleh dengan orang di Istana Pagaruyuang tentang sudut pandang menjalankan adat. Ada Sistem adat yang sudah bergeser dari biasanya di Pagaruyuang, menurut kacamata ninik mamak yang tiga belas ini. Dimana penghulu dipilih tidak lagi berdasarkan keturunan, tetapi dipilih dan dicarikan yang benar-benar kompeten oleh Datuak (yang barangkali berkiprah untuk kepentingan tertentu).
Tersebutlah bahwa penghulu di Pagaruyuang memiliki konsep adat Datuak Katumangguangan yang berlaraskan pada Lareh Koto Piliang. Lareh ini memakai prinsip “Gadang basilega, Kayo basalin”. Pada masa itu Orang yang memakai Lareh Koto Piliang menjalankan adat dengan pusat pemerintahan ada pada raja yang mengambil keputusan sedangkan rakyat tidak diikut sertakan. Terutama dalam pemilihan kepemimpinan, untuk memilih pemimpin dilakukan pencarian pemuda yang benar-benar sempurna, mulai dari yang kaya, pintar, dan cerdik.
Ketiga belas penghulu tadi tidak setuju dengan konsep politik yang berlangsung ini, mereka menyuarakan kegelisahan mereka. Sehingga, ketiga belas penghulu akhirnya diusir oleh raja, dengan titah “kubuang tiga belas ninik mamak ini!” karena perasaan marah dan kesal mereka kemudian mararah, mencuri barang-barang istana dan pergi berjalan meninggalkan daerah Luhak.
Ketiga belas ninik mamak dan kaumnya, mencari daerah yang baru ke selatan, ke bukit dekat danau Singkarak. Berbulan-bulan mereka berjalan. Kurang lebih semua orang yang berimigran saat itu berjumlah 73 orang. Sehingga, setelah lama berjalan mereka menemukan daerah baru, untuk membuka lembaran baru, yang mereka beri nama Solok dan Salayo. Titah orang Luhak tadi sangat tertanam kuat didalam ingatan orang-orang yang diusir, sehingga mereka menamai daerah baru dengan nama Kubuang Tigo Baleh (di daerah Salayo).
Setiap Penghulu mencari satu tempat yang mereka anggap cocok untuk hidup selanjutnya. Pada awalnnya terbentuklah Tiga belas nagari yakni: Selayo, Solok (Kota Solok hari ini), Gantuang Ciri, Guguak, Muaro Paneh, Koto Anau, Saok Laweh, Panyakalan, Cupak, Bukik Sileh, Taruang-taruang, dan Sariak Alahan Tigo. Ketika penduduknya semakin berkembang, Salayo meluas membuat nagari baru bernama Koto Baru dan Kubua Harimau. Sedangkan daerah Guguak meluas lagi membentuk nagari Koto Gaek, Kota Gadang, Jawi-jawi, Batang Barus dan Aie Batumbuek. Hingga menyebar sampai ke Solok Selatan. Bahkan dalam penyebarannya sampai ke Lubuak Kilangan, Pauh di Kota Padang, dan Tarusan, Bayang, Lumpo Salido di Pesisir Selatan. Hari ini keturunan Kubuang Tigo Baleh tersebar dari Kota Solok, Kabupaten Solok, sampai ke Kabupaten Solok Selatan.
Orang Kubuang Tigo Baleh memegang Lareh Bodi Chaniago yang awalnya diciptakan oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Orang Kubuang Tigo Baleh menjunjung tinggi demokrasi. Semua keputusan berdasarkan musyawarah dan mufakat rakyat banyak.
Ramo-ramo si kumbang jati
Katik Endah pulang lah bakudo
Patah Tumbuah hilang baganti
Pusako turun ka nan Mudo
Orang Kubuang tigo baleh tetap memepertahankan sistem adat, dimana pusako baik harta pusako tinggi untuk anak perempuan, dan gelar untuk anak laki-laki. Orang Kubuang Tigo Baleh tidak melakukan pemilihan pemimpin yang terbaik, terkaya atau tersempurna untuk memimpin nagari, tetapi siap tidak siap anak muda keturunan kaum itulah harus dipersiapkan untuk melanjutkan kepemimpinan sesuai garis keturuan yang telah ada aturan pembagiannya sejak zaman dahulu. Baik sebagai Penghulu, Manti, Dubalang, dst.
Buliah baraliah tagak ka tanah nan sabingkah
Buliah baraliah duduak diateh lapiak nan sahalai
Walaupun Inyo celak walaupun Inyo celiang
Tetap Inyo yang jadi penghulu
Indak dapek baraliah ka nan lain
Artinya, Orang Kubuang Tigo Baleh memang mempersiapkan dengan sebaik mungkin keturunannya. Setiap keturunan harus siap untuk menjalani pembagian gelar dan tanggung jawab sesuai dengan aturan pembagiannya. Orang Kubuang Tigo baleh sangat mempersiapkan pembagian gelar dan tanggung jawab berdasarkan garis keturunan dan tata cara yang sudah ada. Meskipun dia buta, sumbing, lumpuh, kalau tanggung jawab memimpin jatuh ke dia, dia harus siap menerima tanggung jawab, bukan dicari yang pandai atau yang sempurna. Tetapi semuanya harus belajar agar pandai, tugas yang tua mengajari yang muda. Bagaimana cara berpakaian, cara bersikap, cara berpidato, cara berunding, alasannya. Kalau sudah patah artinya mengalami kesalahan, dan hilang artinya meninggal dunia, baru bisa digantikan penghulunya, tidak sembarangan diganti atau diangkat. Semua ada tata caranya. Orang Kubuang Tigo Baleh sangat menjunjung tinggi demokrasi, segala sesuatu harus dirundingkan terlebih dahulu.
Bulek aie dek pambuluah,
bulek kato dek mupakaik,
kok buleklah buliah kito lonjongkan,
kok petaklah bisa kito layangkan.
Begitu petitih yang dipegang kuat dalam prinsip Lareh Bodi Caniago. Artinya melakukan musyawarah terlebih dahulu untuk mencapai sebuah mufakat, kesepakatan bersama.
Tentu menurut hemat tiga belas orang datuk yang hidup di ranah luhak Agam tadi, hal seperti ini akan mengacaukan sistem yang sudah lama dibentuk sedemikian rupa oleh ninik moyang terutama tentang bagaiaman adat itu dijalankan. Jika sistem seperti ini terus dijalankan, maka tidak akan ditemui lagi siapa mamaknya, alasan kenapa dia mendapat gelar, sehingga kehilangan cara untuk menentukan penghulu dan sebagainya, tentu membuat kekacauan sistem. Bahkan dikabarkan dari Ibnu Batutah yang mengembara ke Timur bahwa dari 300 tahun SM orang Minangkabau sudah kokoh peradabannya, sudah jelas adat istiadatnya.
Perselisihan adat yang terjadi antara Orang Kubuang Tigo baleh dengan Penghulu Pagaruyuang adalah bukti adanya pergesekan antara kaum adat dan agama Islam yang baru masuk sekitar pada abad ke-12 M. Kubuang Tigo Baleh tetap berdiri di adat, sehingga adanya penolakan adat yang tidak seperti biasanya. Mereka akhirnya di usir Pada abad ke-13 M. Secara Islam pemilihan pemimpin memang harus yang sempurna, barangkali pengaruh ini yang menjadikan adanya penyesuaian prinsip hidup masyarakat Minangkabau dengan Islam. Ada yang cepat beradaptasi, dan ada yang sulit menerima. Puncaknya adalah saat Perang Paderi, perang yang terjadi akibat perbedaan pendapat antara kaum adat dengan kaum Agama, pada Abad ke-15 M.
Kubuang Tigo Baleh dianggap sebagai pemberontak, tapi nyatanya mereka hanya melihat dari kacamata adat yang demokratis yang berdasarkan kepada Lareh Bodi Caniago. Sehingga, Kubuang Tigo Baleh dianggap sebagai Luhak susulan, Luhak ke-empat, yang berdiri kemudian.
Ini merupakan hasil karya peserta yang mengikuti kelas manuskrip tambo yang diadakan oleh Serikat Budaya Marewai selama bulan februari 2025
Bionarasi Penulis: Anggi Oktavia, Lahir di Batang Barus, Mahasiswa Sastra Indonesia, FIB, Unand angkatan 2022. Berkegiatan di Labor Penulisan Kreatif (LPK). Tulisan-tulisannya tersiar di media-media daring dan cetak.
- Menimbang Minangrantau | Muhammad Nasir - 9 Maret 2025
- Esai – Punkdikbud | Wallcracks - 9 Maret 2025
- Esai – Tenang, Senang, dan Menang | Reo Chandrika - 8 Maret 2025
Discussion about this post