
Kau di sana, berdiri di antara istri dan anak perempuanmu yang tertidur. Mereka dan kau sama-sama berada di dalam kamar meski dengan perasaan yang tak lagi sama. Kau mengamati mereka tanpa bisa berbuat apa-apa. Sesosok makhluk tak kasat mata yang menunggumu di muka pintu sudah memberi pertanda. Kau harus segera pergi. Kau sudahi perjalan hidupmu tanpa ada yang bisa menolongmu.
Rumahmu kini riuh. Kepergianmu diiringi lantunan ayat suci serta air mata anak-istrimu yang tak kunjung surut. Kau sesali banyak perbuatan bejatmu di masa lalu. Namun, kau tidak bisa melawan takdir. Bukan saja riwayatmu yang akan terkubur. Juga istri dan anakmu yang akan berakhir.
Kau percaya bahwa kematian adalah hal yang mutlak. Kau tidak bisa menghindar apalagi mencoba untuk melawannya. Itu sesuatu yang mustahil. Namun, dalam hayalmu kini, mengapa kau tak temui sedikit pun pertanda sebelum kematian itu tiba. Atau kau saja yang tidak menyadarinya? Seperti ketika malam itu. Kau masih merayu istrimu yang merajuk karena tak sempat kau belikan bedak tabur. Dan kau masih saja bersantai bersama anak perempuanmu di depan televisi.
“Jangan cemberut, nanti cepat tua, loh!” guraumu. Tapi istrimu enggan untuk menoleh. “Nanti kalau komisi jual beli tanahku sudah cair, aku belikan bedak paling bagus dan krim wajah yang paling mahal!” lanjutmu terus menggoda.
“Aku tidak mau! Pasti kamu beli krim abal-abal lagi. Yang ada wajahku makin rusak!” jawab istrimu dengan ketus.
Kau bangkit dari sofa untuk mendekati istrimu yang duduk di meja makan. Sedangkan anakmu tidak tertarik dengan apa pun, ia asik menonton kartun berwarna kuning di televisi.
“Lagi pula kamu tidak perlu memakai perias wajah, Ning. Wajahmu yang tampak alami seperti ini jauh lebih cantik!” kau kembali memberi gombalan.
“Omong kosong!” istrimu mendengus. “Lagi pula berapa sih komisimu yang akan cair? Biasanya juga cuma cukup untuk beli beras dan susu kaleng!” istrimu mulai menggerutu. Kau gamang di seberang meja.
Kau melihat kedua mata istrimu yang bening itu. Ada banyak pancaran yang tersirat dari dalam sana.
Istrimu kini tampak lebih kurus. Entah karena terlalu lelah mengurusi segala pekerjaan rumah, atau karena tak ada kebahagiaan yang bisa ia temui. Entahlah. Kau menjadi salah tingkah. Di dalam dadamu kini sedang berkecamuk segala macam perasaan. Sedih, kesal. Semuanya bercampur baur. Sebagai seorang kepala rumah tangga, mendadak kau merasa telah gagal.
“Maaf!” katamu. Lalu kau memilih bangkit dari kursi. “Aku belum bisa membuatmu bahagia.”
“Omong kosong!” sanggah istrimu dengan cepat. “Kalau aku tidak bahagia, aku tidak akan membuatkanmu kopi sepanjang hari.”
“Lantas apa arti bahagia untukmu, Ning?”
“Sederhana saja. Melihatmu bangun di pagi hari dengan rambut yang berantakan, kantung mata tebal dan bibir yang basah, itu sudah lebih dari cukup.”
Usai menghadap istrimu, kau mulai penasaran. Sesuatu yang belum pernah kau dengar selama ini berhasil memancing hasratmu untuk memperpanjang percakapan malam itu.
“Bagaimana kalau besok pagi aku tidak bisa membuka kedua mataku, Ning?”
Seketika istrimu tertawa. Ia berhasil memecah keheningan malam itu.
“Kau memang sulit bangun pagi, Mas!” ujar istrimu. Lalu tawanya kembali menggema. Di seberang meja itu kau hanya bisa ikut tertawa. Sedangkan pada hatimu tersimpan banyak pertanyaan yang sukar untuk diutarakan.
Selepas itu kau bangkit dari kursi. Menghampiri anak perempuanmu yang tertidur di atas sofa. Kau melihat wajah gadis kecil itu dengan perasaan haru. Namun, juga penuh bangga karena bisa melihatnya tumbuh dengan sehat. Kau berharap kelak anak perempuanmu menjadi seorang wanita yang bisa dibanggakan. Yang bisa membuatmu percaya kepada dirimu sendiri karena telah berhasil mendidiknya dengan penuh perjuangan. Itu adalah ketakutan yang nyata.
Kau mengangkat tubuhnya dengan kedua tangan. Lalu membawanya ke dalam kamar. Istrimu mengikuti dengan perlahan. Kau segera menjatuhkan gadis kecil itu ke atas kasur bermotif kembang. Istrimu menutup pintu dan mematikan lampu. Kemudian kau berbaring tepat di samping anak perempuanmu yang pulas. Istrimu menyusul setelahnya.
“Malam ini, aku akan tidur dengan perasaan nyaman.”
“Kenapa?” sela istrimu.
Kau tidak membalas. Hanya sebuah senyuman yang kau bagikan dengan lebar.
Perlahan kau mulai menutup mata. Dan ketika itu kau melihat sesuatu yang aneh. Sebuah cahaya yang amat menyilaukan matamu. Kau seperti melihat sebuah pemutaran film. Rangkaian demi rangkaian perjalanan hidupmu kau saksikan dengan gamang. Sampai akhirnya kau bertemu dengan sesosok mahluk yang tidak pernah kau jumpa sebelumnya. Tapi kau yakin ia telah mengenalmu jauh sebelum kehidupanmu dimulai.
Kau diajaknya berkeliling. Mendatangi berbagai tempat di belahan bumi mana pun. Menjelajah tanpa batas. Sampai akhirnya kau tiba di kamar itu. Tempat terakhir kali ragamu bernapas. Kau berdiri di antara istri dan anak perempuanmu yang tertidur. Dan kau hanya bisa mengamati mereka tanpa bisa melakukan apa-apa.
Kau kembali melayang di udara. Kini terlihat istri dan anak perempuanmu menangis di depan jasadmu yang terbujur kaku. Kau ikut menangis menyaksikannya. Kau tidak siap untuk mengikhlaskan semuanya. Segalanya.
Dan di saat-saat paling sedih itu, kau menerima sebuah bisikan. Bisikan yang paling halus yang pernah kau dengar. Serupa semilir angin. Katanya, kau akan diberi kesempatan kedua. Maka, pada saat itulah kau mulai mengerjapkan mata dan mulai bangkit dari rebahmu seperti orang yang habis bangun tidur. [*]
Tentang Penulis
Ede Tea lahir di Bogor. Karya-karyanya pernah dimuat di media cetak dan daring. Cerpennya juga masuk dalam beberapa buku antologi. Bergabung dengan Komunitas Pembatas Buku Jakarta.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post