
SALITTER
MEMANDANG MARMER NISAN Pastor McCarthy menghidupkan lagi ingatan Umberto tentang pertemuan hari itu. Waktu yang lama hilang kembali pulang. Adegan demi adegan berdesir di relung jiwanya. Lantang berdegup seakan baru terjadi kemarin.
MALAM ITU HUJAN DERAS ketika Pastor McCarthy masuk ke dalam kedai minum. Badannya basah kuyup, penutup kepalanya semerah labu kepalang matang, dan bulir-bulir hujan yang tersisa memantulkan cahaya kuning lampu murahan sehingga tampak aura ilahiah memancar dari kulit putihnya.
“Tolong, ada yang bisa membantu saya?” tanya Pastor McCarthy. “Saya butuh orang yang bisa mengemudikan truk.”
“Mau ke mana di tengah hujan selebat ini?” tanggap seorang pengunjung.
“Ke desa Zahir. Pedalaman Utara.”
“Mau apa ke pedalaman itu malam-malam?”
“Hei,” singgung seorang pengunjung di sebelahnya, “Kau tahu, kan, Zahir itu tempat pemukiman minoritas Kristen.”
“Oh, jadi Pastor ini mau menemui jemaatnya?”
“Bukan. Kemarin saya mendapat kabar kalau penduduk desa itu terjangkit penyakit menular. Sudah jatuh tiga orang korban. Salah satunya anak kecil. Saya mesti ke sana.”
Mereka berhenti menanggapi. Hanya suara hujan serta aroma rokok dan alkohol menyelimuti.
“Saya sudah menghubungi Pusat Kesehatan,” lanjut Pastor. “Sekarang obat-obatan dan bahan makanan sudah sampai. Semua ada dalam truk di luar itu tapi saya tidak bisa mengemudi. Karena itu, saya benar-benar minta tolong, ada yang bisa mengemudikan truk di sini? Kita harus cepat sebelum situasi semakin parah.”
Tetap saja, hanya mulut tertutup rapat dan saling silang pandangan jadi jawaban.
“Tolong,” Pastor menghampiri seorang pengunjung, “Kamu bisa?”
“A-, aku, aku tidak punya surat izin.”
“Yang lain? Itu semua harus diantarkan.”
“Mustahil,” jawab si pemilik kedai. “Saat ini jalan menuju desa itu pasti terendam banjir. Sungai-sungai meluap.”
“Ya, itu benar,” sambung pengunjung tadi.
“Tapi kalau tidak kita coba…”
Kali ini tidak hanya diam yang melanda tapi ketertundukkan tanpa harapan juga turut memberikan tanggapan. Alhasil, Pastor McCarthy pun merasa bahwa tidak akan datang pertolongan dari tempat ini. Dia berbalik dan melangkah keluar sambil menatap tanah becek, meninggalkan noda lumpur di sepatu dan pinggiran celananya.
KEBISUAN PECAH tidak lama kemudian.
“Polisi! Kami akan memeriksa tempat ini. Jangan ada yang pergi.”
“Ada perlu apa kalian ke sini? Bisnisku legal!”
Komandan Polisi itu tidak menggubris.
“Periksa mereka semua. Kalian duduk di tempat masing-masing, jangan bergerak!”
Tapi para pengunjung berusaha untuk keluar karena tidak ingin berurusan dengan kepolisian. Suasana jadi ricuh untuk sesaat dan di tengah-tengah itu Umberto mendapat celah kesempatan untuk bergegas ke belakang menuju kamar mandi. Dia melompat keluar lewat jendela setelah memastikan tidak ada polisi yang ditugaskan berjaga mengelilingi bagian luar kedai. Dia berlari menjauh secepat mungkin. Mulanya tanpa arah pasti tapi kemudian dia mendengar suara mesin mobil dihidupkan. Suara truk.
Saat itu Pastor McCarthy tengah bergumam di kursi kemudi ketika Umberto menghampirinya.
“Ini perseneling? Sulit untuk menggerakkannya. Apa saya bisa mengemudikannya, ya? Ah, Tuhan pasti melindungi,” yakin Pastor McCarthy.
“Minggir. Cepat perrgi ke kursi penumpang! Pastor tidak bisa menyetir, kan?”
Pastor McCarthy terkejut melihat Umberto membuka pintu truk.
“Ayo cepat,” tegas Umberto. Dia lalu naik dan menjalankan truk itu pergi dari sana setelah Pastor McCarthy berpindah ke sebelah.
“Thank you. Thank you, my dear brother. Thank you very much.”
“Ya, ya. Tapi aku tidak terlalu lancar berbicara Inggris. Hanya sedikit.”
“Hanya sedikit?”
“Aku orang Itali.”
Sejenak Pastor McCarthy diam lalu tersenyum tipis. “Kamu seperti utusan Tuhan.”
“Asal tahu saja, aku tidak lagi percaya Tuhan, Bapa di Surga, atau Kristus, Buddha, Yahwei, terserah. Aku melakukan ini cuma karena polisi-polisi itu. Mereka pasti mengincarku.”
“Kenapa mereka mencarimu?”
“Di Itali aku menembak mati seorang bos mafia. Dendam ayah. Sudah tugas anak membalaskan dendam orang tua, bukan?”
“Saudaraku, semoga Tuhan membersamaimu.”
Setelah itu Pastor McCarthy tidak bertanya lagi dan Umberto hanya diam.
HUJAN TIDAK MENUNJUKKAN TANDA akan reda seakan langit lagi tercerai-berai dan jatuh berserakkan sehingga jalanan sukar untuk dilalui.
“Orang-orang di kedai tadi benar,” kata Umberto. “Mustahil ke desa itu saat ini.”
“Saya harus ke sana. Itu tugas saya. Itu janji saya pada Tuhan.”
“Huh, ini sudah ketigakalinya kau bawa-bawa Tuhan. Tapi asal kau tahu, aku akan turun di mana saja aku mau.”
“Apa? Tapi penduduk desa itu memerlukan obat-obatan dan makanan ini. Mereka amat kesusahan dan pasti menantikan pertolongan di sana.”
“Masa bodoh. Aku sudah sibuk dengan urusanku sendiri. Kalau tertangkap, aku pasti akan dideportasi ke Itali. Di sana mafia musuh pasti menunggu dengan manis untuk melubangi badanku.”
“Saudaraku, Tuhan pasti akan menyelamatkanmu.”
“Diselamatkan juga tidak berdampak banyak. Memangnya kau sendiri mau menggantikanku dibunuh oleh mereka, ha!?”
Pastor McCarthy memang tidak menjawab tapi di wajahnya tidak ada raut keraguan dan roma penolakan yang tergaris.
“Ahaha… tidak, tidak. Aku hanya bercanda,” Umberto tertawa ringan.
Satu jam kemudian mereka sampai di jembatan penghubung. Arus banjir yang deras dan tinggi merendam hampir seluruh pancang-pancang penopang.
“Aku rasa perjalanan kita harus berakhir sampai sini. Jembatan bobrok itu tidak akan mampu menopang truk. Lihat, tiang pancangnya mulai hanyut.”
Tepat ketika Umberto memberhentikan truk, tanpa berkata apa-apa, Pastor McCarthy langsung turun dan berlari ke arah jembatan.
“Hei,” panggil Umberto, “apa yang kau lakukan?”
“Saya akan menahan pancang itu. Kamu coba jalankan truk melewati jembatan.”
“Apa? Kau bodoh, ya? Kau bisa hanyut.”
Pastor McCarthy tidak menanggapi dan makin dekat ke bawah jembatan. Melihat itu, Umberto pun bergegas turun dan mengejarnya.
“Hentikan, Pastor gila!” Umberto menarik Pastor McCarthy menjauh dari arus banjir. “Kau bakalan mati. Untuk apa mengorbankan nyawa sendiri demi orang lain, ha!?”
“Menolong sesama manusia adalah perintah Tuhan,” jawab Pastor McCarthy dengan tegas.
Saat itu Umberto belum paham dan tidak percaya dengan tindakannya sendiri setelah mendengar jawaban itu.
“Sialan. Sana masuk ke truk,” kata Umberto dan menggulung lengan jaketnya. “Biar aku yang menahannya.”
Melihat itu, Pastor McCarthy tersenyum dan memuji-muji Tuhan. “Oh, sungguh Tuhan Maha Pemurah.”
“Jangan salah paham,” kata Umberto sambil turun dengan teliti supaya tidak terpeleset, “aku tetap tidak peduli dengan tuhanmu itu. Aku juga peduli setan dengan orang-orang yang menunggu di ujung sana. Maaf saja kalau aku mempertaruhkan nyawa karena mereka. Aku hanya mau menuntaskan apa yang kumulai.”
“Oh, sungguh Tuhan Maha Pengasih dan Pengampun. Dosamu pasti akan diampuni, saudaraku.”
“Lagi-lagi bicara bodoh. Kau tidak tahu berapa banyak keluarga yang kuhancurkan hidupnya. Belum lagi nyawa yang melayang dari tangan ini. Rasanya, terlalu berlebihan mengharap pengampunan dosa seperti itu,” Umberto tersenyum pahit.
Tapi kemudian Pastor McCarthy meraih lengan kiri Umberto saat pinggangnya sudah di bawah air. “Baik, saya mengerti. Sekarang naiklah ke truk.”
“Hei, apa lagi sekarang? Lepaskan!”
“Bagaimana kalau terjadi apa-apa padamu?”
“Jangan meremehkanku. Dihujam pun aku tidak bisa mati.”
“Bagaimana saya bisa ke sana? Saya, kan, tidak bisa mengemudi,” terang Pastor McCarthy dengan keteguhan jernih di kedua matanya dan turun ke bawah jembatan. “Sudah, cepat, sebelum makin deras. Saya tidak apa-apa.”
“Apa yang membuatmu begitu berani,” tanya Umberto. “Karena Tuhan melindungi?”
Mendengar itu, Pastor McCarthy menoleh dengan senyum teduh. “Ya, kau benar, saudaraku. Karena Tuhan melindungi—Ah, saya baru ingat! Di sana saya menyimpan anggur yang enak. Nanti kita minum sama-sama.”
Setelah itu dia menggapai pancang yang mulai rapuh sementara Umberto bergegas kembali ke truk.
“Dasar Pastor gila,” gumam Umberto sambil menghidupkan mesin.
“Aku siap, cepat!”
Truk lantas melaju naik ke atas jembatan.
“Cepat,” teriak Pastor McCarthy.
“Awas kalau kau sampai mati.”
Jembatan bergoyang hebat ketika truk hampir lewat dan bunyi derit kayu terdengar dari segala penjuru. Kemudian kayu-kayu penopang di belakang kiri patah dan mengakibatkan laju truk terhambat karena tersangkut.
“Cepat, Umberto!”
“Kita pasti minum anggur itu,” kata Umberto sambil terus menginjak pedal gas. Tidak lama kemudian truk bisa kembali melaju dan sampai ke seberang. Dia langsung turun dan berlari untuk melihat keadaan Pastor McCarthy.
Tidak ada siapa-siapa di sana kecuali sisa-sisa jembatan bobrok yang patah diterpa banjir ganas.
“Pastor! Pastor! Hei, di mana kau!?”
Umberto menyusuri tepian sungai. Terus memanggil-manggil. Tidak ada jawaban.
“Pastor! Pastor!”
Hanya deras hujan dan arus sungai yang mengisi suara ketika tenaga Umberto mulai hilang sampai terkulai jatuh di kedua lututnya. Bukan karena upaya melewati jembatan tadi, tapi karena mendapati bahwa Pastor McCarthy tidak bisa dia temukan.
“Mana buktinya? Katanya Tuhan melindungi? Mana? Bagaimana bisa Tuhan membiarkan seorang pria hebat mati begitu saja,” cerca Umberto, air mata berderai ke pipinya.
UMBERTO TIBA DI ZAHIR ketika fajar membanjiri langit bekas jajahan hujan. Di sana sudah ada seorang dokter yang bertugas. Dia lalu menurunkan obat-obatan dan bahan makanan dibantu oleh penduduk setempat.
Bagi Umberto ini adalah pertama kali dia tidak mendapati raut wajah mengancam dari mata yang memandanginya. Beberapa di antara mereka mengahampirinya untuk menjabat tangan bahkan memeluk dan berterima kasih sambil mengungkapkan rasa syukur.
Umberto memberhentikan truk tidak jauh dari gereja desa. Dia masuk dan melihat deretan almari dan meja di sebelah kiri ruangan. Di laci meja ada sebotol anggur yang dimaksud Pastor McCarthy. Masih tersegel rapat.
Umberto bersandar di bawah pohon tua yang agak jauh dari pemukiman, hanya diam memandangi botol anggur dengan tangis kembali menggaris hangat di bawah matanya. Tapi kemudian dia melihat keajaiban ketika menjatuhkan pandangannya jauh ke depan. Muncul setitik bayangan yang semakin besar seiring waktu.
Bayangan seseorang yang compang-camping dengan sebatang kayu sebagai tongkat untuk menjaga badannya tetap seimbang. Kian lama kian dekat dan kian jelas. Lalu dari perawakan bagai seseorang yang bertahan keluar dari semburan debu badai pasir seperti jin mabuk itu memancar kehangatan dari busur mata dan bibirnya yang lembut. Itu Pastor McCarthy. Umberto pun lansung berdiri lalu berlari dan memeluknya.
“Sudah kubilang, bukan? Tuhan pasti melindungiku,” ucap Pastor dengan senyum jenaka.
“Ya. Ya. Kau benar,” Umberto berlutut dan terisak di lutut Pastor McCarthy—saat itu, dia merasa seolah ada Tuhan dalam diri pria itu.
LIMA TAHUN KEMUDIAN Pastor McCarthy meninggal setelah berjuang melawan penyakit yang didapatnya dari peristiwa jembatan itu.
Hanya saja, Umberto merasa bahwa Tuhan yang Pastor McCarthy percayai dengan Tuhan yang dia percayai berbeda pada akhirnya. Entah kepercayaannya ada pada Tuhan atau malah pada Pastor McCarthy. Tapi yang mana pun itu bukanlah perkara. Bagi Umberto, mulai hari itu dia hanya perlu menolong sesama manusia karena itulah perintah Tuhan.(*)
Arif Kurniawan, lahir dan besar di Rejang Lebong, Bengkulu. Salah satu Emerging Writers dalam Ubud Writers & Readers Festival 2024.
Discussion about this post