
Burek Tunggang Ka Karajaan Indopuro Lunang
Bapucuak Bulek Di Minangkabau Pagaruyuang
Bajulai si aka jambai, di Tepian Sungai Muara Gedang, tersimpan mutiara dalam lunau, di negeri yang jauh muara penantian. Indrapura negeri yang dari Kota Padang, lebih kurang 40 km sebelum Lunang dalam Kecamatan Pancung Soal Pesisir Selatan, lalu berbelok ke kanan, lebih kurang 10 km, disitulah letaknya sebuah negeri yang sekarang masih bernama Indrapura, hilirnya terdapat sebuah pelabuhan yang bernama Muara Sakai, dikenal dengan nama Pelabuhan Samudrapura.
Bila kita menyibak pedalaman Alam Indrapura, menghiliri sungai, menyosong gelombang laut menuju negeri yang dulu bernama Air Pura. Yang beranjak dari Rumah Gadang Pucuk Adat Melayu Tinggi Kampung Dalam Indrapura, menggunakan kendaraan motor atau mobil, menempuh jalan yang berbatu-batu, taman-taman hijau pohon dari Afrika, mengelilingi setiap lekuk dan lurus perjalanan kita ke Kampung Pasir Genting, jarak tempuh lebih kurang 40 menit.
Di Kampung Pasir Genting sebuah kampung nelayan, kehidupan keseharian para laki-laki disana mamukek, mamayang, memacing ikan dengan mata pacing diberinama rewai. Negeri hampararan pasir berbatu batu kecil menghadap langsung kelaut Pantai Barat Sumatra.
Dari sini kita naik boat peraharu nelayan, yang memilih mancarak ombak gadang, dengan aba-aba juru di depan perahu, si jurumudi piawai di belakang, dan di dampingi oleh seorang Dukun Pasia, dengan mudahnya dan cepat bisa melewati gelombang laut yang bertubi-tubi. Di sini kita melihat perbedaan antara nelayan Indrapura, dengan nelayan di Pesisir Barat Pantai Sumatra lainnya, yang lebih memilih mamacuang talang gelombang, dari pada mancarak gelombang.

Kita menyisiri pesisir laut Samudrapura, jejeran bukit bebaris-baris hadap di depan mata. Tetapi ada satu yang mancongak tinggi, yaitunya Gunung Sialang Gadang disungkup awan bak umpama baju, puncaknya yang putih bernama Puncak Indopuro, sekarang dikenal dengan nama Gunung Kerinci. Di depan dan sebelah kanan muara kita melihat delta-delta yang diapit sungai-sungai kecil di antara sungai besar lainnya yang juga bermuara kesitu. Di ujungnya terjadi pertemuan dua muara sungai besar yang dipenuhi eceng gondok. Satu sungai yang mengalir dari Muara Sakai Indrapura, yang satu lagi datang dari arah negeri Air Haji dengan muara sungainya bernama Muara Bentayan.
Pertemuan dua muara ini, antara Muara Sakai dengan Muara Bentayan disebut penduduk setempat dengan nama Muara Gedang. Terus keatas kita menemukan delta yang berbentuk pulau diberinama Pulau Puti, terus lagi kita bertemu dengan sebuah delta bernama Pulau Rajo. Sebelah kiri Pulau Rajo terdapat anak sungai yang bernama Air Puro. Apabila di telusuri terus kanan sungai, akan bertemu dengan sungai yang bersimpang ke Lunang.
Sedangkan kalau kita lurus keatas sampai kepada Muara Sakai Indrapura. Inilah tanah rawa-rawa yang dipenuhi hulubalang buaya sungai, eceng gondok, dan rimba hutan yang telah jadi taman pohon orang afrika, hening dan hilang dalam kegelapan.
Pertama kali menginjakkan kaki di Air Pura perasaan timbul, bak diperlihatkan, wajah ibu tua memacarkan sinar keratuan, masih memantul dari mata beliau, elusan dari seorang ibu kharisma masih terasa, walau disaat itu barangkali menunggu keredhaan dalam janji tuhan yang maha kuasa, namun ketegaran batin mengoncang, sanubari berkata peluklah, seorang Ibu Ratu Tua masih membiaskan senyum yang manis.
Bermula tempat ini bernama Lubuk Sitepung yang berkediman ditepi sungai, yang berlubuk, ada sekelompok orang, pendatang-pendatang, Tanah Malayu Tepi Air Jambi, bemukim disana mendirikan sebuah stupa, yang selalu ditepung tawari sebagi upacara, ke agamaan. Tempat itu kemudian dikenal nama tempat Sitapuang. Oleh cati-cati mereka (orang pandai) tempat dimana dilakukan pemujaaan stupa itu di sebut puro, (bahasa setempat pugho) sementara sungai yang mengalir disebut Air Puro.
Sebagai orang yang mewarisi samudrapura, mengarungi lautan dalam pengembaraan mereka, kaperkasaan adalah cita-cita hidup mereka, keperkasaan adalah kejantanan, kesatriaan, kejenangan, kepenggawaaan, cita-cita hidup mereka jantan! Lambang mereka adalah lingga sebuah batu bulat lambang kejantanan, senjata mereka adalah linggi, sebuah tombak dengan mata dari batu, berpahat dan runcing, tangkai tombak dari kayu yang keras, biasanya kemudian didapati dari ruyung, sedang matanya, berproses, sesuai dengan perkembanganya,dari ruyung hingga sampai kepada Saga Jantan (sejenis ruyung dengan kualitas yang baik) mata tombak/ linggi adalah dari batu kemudian berkembang jadi besi, kuningan, perak, sampai emas.
Tombak Batataran Saga Jantan, dengan mata besi kuning, perak dan emas, hanya raja yang punya, (pada zaman sekarang dikenal sebagai linggi/linggis adalah sebuah besi panjang dengan ujung yang tajam, digunakan untuk penggali lobang). Pemimpin mereka adalah pemimpin yang baik, dan berhati mulia memliki kemampuan indra yang sejati, dengan segala keperkasaanya. Ia dinamakan Indrajati oleh kaumnya yang awam, manusia dewa! Pemikir dan pemimpin sejati dialah yang menjadi raja yang perkasa di antara mereka, yang terpintar di antara mereka, dan yang terbaik di antara mereka.

Sebuah Kerajaan yang menyimpan banyak rahasia kejayaan dan kekayaan Sumatra yang terjepit dari kepentingan-kepentingan pertualangan Portugis, VOC Inggris, dan Belanda, setidaknya-tidaknya tempat yang bernama Kerajaan Taluek Air Puro atau Taluek Dayo Puro berganti nama Indrapura adalah penguasa Pesisir Barat Sumatra pada zamannya. Indrapura adalah kerajaaan kesultanan yang tertua di Sumatra. Setidak-tidaknya sesudah masa Sriwijaya dan merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Pagaruyung di Alam Minangkabau. Ia juga dapat diperkirakan sama dengan kehadiran Kerajaan Pasai atau Kerajaan Aceh, dan bahkan lebih tuanya susudah Kerajaan Barus Abad 9 yang telah memeluk Agama Islam. Dari sinilah mulanya nama nenek moyang raja-raja Minangkabau/Pagaruyuang mengarungi laut sampai kekaki Gunung Marapi, yang pada waktu itu disebut sebagi Pulau Lingga Puri, kemudian bernaama Pulau Perca, Pulau Emas, Pulau Sumatra dan lain-lainya.
Kedudukan di Lereng Gunung Marapi itu disebut Lagundi Nan Baselo, yang kemudian bernama Pariangan, setalah dibangun istana sultan, yang disebut masa itu dengan nama Kerajaan Sultan Tajul ‘Alamsyah yaitu pada masa belum bernama Alam Minangkabau/Pagaruyuang. Sementara di Pantai Indrapura pada masa itu tempat memijakan kaki pertamakali adalah Lunang (tanah yang tinggi) dengan tempat pusat kerajaan disebut Air Puro.
Runtuh dalam kelam ketersembunyian. Memendam rahasia sejati, tegar dalam reruntuhan, kaya dalam kerahasiaan, miskin alam keberadaan. Inilah Negeri Indrapura “Negeri Pagar Dewang” yang memiliki tujuh kedudukan raja, dalam Ranji Tinggi Kesultanan Indrapura “Adapun Tujuh Kedudukan 1. Gobah Di Pulau Rajo, 22. Gobah Dipelukan Hilir/Pelukan Mudik, 3. Gobah Tandikat, 4. Gobah Lubuah Aro, 5. Gobah Pungguk, 6. Gobah Silaut 7. Gobah Di Gunuang Marapi,” berupa Gobah Keramat, pandam perkuburan sultan-sultan, raja-raja yang luasnya 200.000 depa kali 100.00 depa per gobah.

Kebesaran Indrapura yang menurunkan sultan-sultan yang mampu mengangkat dirinya sebagai sultan, mampu mengangkat jati dirinya. Yang kemudian dijuluki Indrajati atau manusia dewa! Akhirnya harus rela menghadirkan sebuah negeri “Yang Berpagar Ruyung” sebagai penerus zaman.
Dalam Ranji Indrapura dikisahkan tentang belahan persaudaraannya yang disamping Alam Minangkabau, sendiri tersebar sampai ke Singapura, Johor, Malaka, Negeri Sembilan, Serawak dan Berunai Babussalam (Berunai Darussalam). Dikisahkan sejak pelayaran pertama Sultan Srimaharaja Diraja Kerajaan di Lingga Puri dan Pulau Telur, di Lereng Gunung Marapi, Lagundi Nan Baselo, Sawah Satampang Baniah, Pariangan Padang Panjang Khalifatul Alam Sultan Muhammadsyah adalah raja yang bediri sendirinya di Air Puro yang mempunyai zuriat turun-temurun dari nenek moyang sampai ahli warinya.
Beberapa diantaranya dapat disebutkan;
Sultan Muhyidiinsyah Daulat Jamalul Alam Sultan Srimaharaja Diraja Muhammadsyah Kerajaan Air Pura berkubur di Gobah Pulau Raja menurunkan Sultan Jamalul Alam Daulat Srimaharaja Diraja Alamsyah Kerajaan di Indrapura kemudian menurukan Sultan Jamalul Alam Gelar Sultan Firmansyah Ushali Kerajaan Indrapura berkubur di Gobah Tandikat demikian seterunya.
Tempat ini yang terdapat dalam syair di atas nisan kuburan Syaikh Ahmad di Negeri Sungai Undang, Linggi Negeri Sembilan Malaysia. Selain makam ini juga terdapat makam lain yang belum dikenal, menuliskan tahun 1467, yaitu pada zaman pemerintahan Sultan Mansursyah di Malaka 1459 -1477. Membuktikan bahwa rombongan orang-orang Minangkabau yang mula-mula datang ke Malaka jelas jauh sebelum tahun 1467 tersebut.
Bunyi Syair; “Dengan Sehelai Rambut, Menenun Tali ke Lagundi, Dengan Sehelai Rambut, Merentang Tali Ke Lingga Puri”.
- Punago Rimbun: Indrapura Urat Tunggang Daulah Kesultanan Minangkabau – Zera Permana - 3 September 2025
- Sejarah Makanan Adat: Gulai Pangek Bada Jo Gulai Kacang, Tanda Penghormatan Raja Kepada Cendikiawan – Bagian 2 - 2 Oktober 2024
- Seri Punago Rimbun: Sejarah Menepinya Raja Alam Surambi Sungai Pagu, Samsudin Sandeowano Setelah Penobatan di Pagaruyung - 26 September 2024
Discussion about this post