
Kapan galanggang itu akan dipacak lagi, Puti?
Puti, kemana hendak hamba cari
Perundungan ini tak pernah sampai pada batas kata jadi
Puti, kenapa tangis kau suguhkan saat galanggang untukmu dipacakkan
Sedang kini galanggang didamba-dambakan seribu gadismu
Hamba ingin jadi puti di Rumah nan Gadang
Duduk atas anjung peranginan
Menikmati hari, sembari menunggukan mamak memacakkan galanggang
kini kening gadismu banyak yang hilang
Dicuri, dirampas pemuda kampung; pemuda rantau; pemuda
Ah, segala macam pemuda kini tak lagi berani mendatangi galanggang
Mereka hanya datang pada gorong-gorong kelam; kundik-kandik yang mengabur
Barangkali galanggang segala ruang siap obati seribu kening gadismu yang hilang
Jadi, Kapan galanggang itu akan dipacak lagi, Puti?
Denpasar Timur, 11 November 2024
Galanggang Segala Ruang
dari Luhak sampai ke
darek lah hamba rantaukan
galanggang dalam kepala hamba ini
minta dipacakkan
terpaksa juga hamba kerjai; satu persatu
pada segala umpat; pada segala tempat yang hamba temui, Puti!
hamba pacakkan galanggang-galanggang di segala ruang
harap sirih lagundi antar ninik mamak hamba pada tuan punya kaum
terseret-tergeret hamba dalam gorong-gorong pacuan kuda; kundik kandik sabung ayam
galanggang satu sutan darek; galanggang dua Ajo pasisia; galanggang tiga Akang Betawi; sampai ini entah pada galanggang keberapa yang hamba pacakkan, lagi dan lagi!
setiap kali galanggang hamba pacakkan; segala ruang menanyai
jamuan sepotong kening segar kepunyaan hamba;
Denpasar, 12 Oktober 2024
Mengadang malang
urat malu telah tanak
sampai ke pembuluh jantung
: masak
Upik terus kadang ini malang
kayu jaga Api;
belum ingin padam
meski api berang dalam diam, Pik!
pun kayu kan tetap jadi arang; lalu
menjadi abu jua ujungnya, Pik!
“bersimpang-simpang nasib kita dari mulut-mulut orang kampung”
sedang aku menjadi tungku tanggungkan panasnya api
Upik malah tanya
“sampai pabilakah malang ini minta dikadang, Mak?”
“sudah berbusa mulut ini bicara jangan urat malu kau tanak;
kalau sudah begini malang takkan berhenti minta dikadang, Anak kandung”
13 November 2024
Anak Pengembala Kerbau itu
Dari lalu lalang orang petang ini hendak mandi dan mencuci
Kulihat dadanya serasa ingin tanggal
Sekujur-kujur badannya memanas menggiring kerbau ke hulu Sungai
Dua kerbau besar dan satu yang kecil tampak asyik memakan rumput
Dalam sawah, tepi sungai itu
Sedang dibelakangnya
Ada anak lelaki dalam gendongan kain panjangnya
Meraung melebehi erang anak kerbau yang asyik mengunyah rumput
Sedang tangan kirinya memegang sebilah batang karupuak
Tangan kanannya terus tepuk ekormu sembari mendendangkan
“oiii sungai pagu, aia batumbuak ondehlah kanduang oii aia batumbuak
Oiii duduak tagak gilo jo tangih, ondehlah kanduang oii gilo jo tangih”
Tapi raungmu mengiringi kerasnya dendang ibumu
“Lasik lasik palasik”
Terdengar olehku ibumu berkomat-kamit merapal mantra
Masih kulihat Ibumu tampak mencium kau
sembari memegang kuat ubun-ubunmu
tapi aku lebih dulu;
tanpa sadar berlari
ke arahmu
menanggalkan kepalaku
Kapalo Koto, 6 Juli 2024
Penulis, Anggi Oktavia, Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas angkatan 2022. Bergiat di Labor Penulisan Kreatif (LPK) Unand. Saat ini hidup nomaden di Kota Denpasar, Bali.
Discussion about this post