
Literasi yang Tak Masuk Akal, tapi Masuk Anggaran & Literasi yang Masuk Akal, tapi Tak Masuk Anggaran | Robby Wahyu Riyodi
Kenapa ya saat bicarakan literasi orang kerap mengangguk-angguk ayam? Seraya berkata “ya, literasi itu penting banget. Karena Literasi itu adalah martabat bangsa dan negara!” tapi, saat ada buku yang datang berkardus-kardus mereka malah binggung, “sebanyak ini buku mau diapakan nih?”. Barangkali demikianlah nasib sebagian bantuan 1000 buku yang datang ke kota kami, Kota Padang. Serupa mendapat durian runtuh, aromanya menggoda, tapi ndak tahu cara membelahnya.
Saya memulai Langkah Relawan Literasi Masyarakat dengan melakukan traking dan invetarisai. Target utama saya adalah Perpustakaan Kelurahan dan Perpustakaan Rumah Ibadah. Saya penasaran sekali dengan para penerima ini. Sesuai prediksi saya, saat berkunjung mendapati buku-buku itu masih dalam tahap pelabelan, katalogisasi, dan kerja-kerja yang cari muka saaat tahu kita pertugas berompi Pusnas. Malah ada yang bukunya masih tersimpan rapi di dalam kardus. Duh! Seakan kegiatan literasi itu cuma sampai nempel nomor saja. Lalu menunggu bapak dari pusat minta data, baru kerja keras bagai kuda.
Saya usahakan membantu sesuai kapasitas. Membongkar kardus-kardus, melakukan diskusi dan bedah pustaka, mengusahakan bantuan ini terealisasi sesuai standar. Mungkin saya lebih mirip tukang pijit tunanetra untuk buku-buku yang kaku saat itu, agar pengetahuan ini mengalir dengan lancar tanpa ada aliran yang tersumbat. Tapi ternyata masalah bukan pada buku semata, tapi ada pada niat. “kami ndak ada tenaga, tak ada angaran dari atas, kerja kami banyak pula di sini!” terdengar klise bukan? Tapi ini kayak virus yang mewabah di kelurahan dan sebagian rumah ibadah. Kalau begini pada akhirnya kelak 1000 ini buku seakan jadi yatim piatu yang tak berinduk.
Sementara itu saat mengunjungi Taman Bacaaan Masyarakat yang penuh penderitaan, saya kagum terpana pada mereka. Tetap berusaha menghidupkan 1000 buku dengan cara mereka masing-masing walau hidup di ujung tanduk. Ada TBM yang membawa bukunya berkeliling dengan mobil Pustaka. Ada TBM yang menggelar lomba menggambar dengan berbasis bahan bacaan 1000 buku. Juga ada TBM yang tengah sibuk mempersiapkan peringatan hari anak nasional dengan pertunjukan literasi berupa pentas drama dan pentas dongeng dari bahan bacaan yang dihibahkan oleh Perpusnas. sungguh keren menurut saya. Dari rahim penderitaan TBM lahirlah kreatifitas dan panggung-panggung kecil tempat bertumbuhnya anak-anak pembaca 1000 buku.
Fakta lapangan ini membuat saya merenung agak lama. Perpustakaan kelurahan dan rumah ibadah ini seumpama kapal besar dengan layar lebar yang enggan berlayar. TBM serupa biduk kecil yang nyaris tenggelam di lamun ombak karena nekat mengarungi arus nakal samudera hindia. Ternyata, literasi di sini bukan persoalan besar-atau kecil bantuannya, tapi seberapa niat untuk menghidupkannya.
Bagi saya, RELIMA ini pekerjaan yang sangat menantang. Saya kebagian 70 titik penerima bantuan BBB dari tahun 2024 dan tahun 2025 di Kota Padang, sementara itu waktu terasa kencang sekali melaju. Hanya keajaiban yang bisa mendampingi dan mengangkat semua sekaligus. Ini kerja perlu strategi yang tepat. Sebuah strategi yang menurut saya strategis adalah cukup hidupi satu atau dua saja. Saya fokus ke TBM yang benar-benar butuh rangkulan tangan RELIMA. Lalu menjadikan mereka benar-benar hidup. Harapannya mereka bisa menjadi standar, role model, dan Influencer literasi bagi yang lain sesama penerima Bantuan Bacaan Bermutu. Bukankah satu TBM jadi mercusuar lebih baik dari pada seribu TBM yang redup dan nyaris pudur.
Tentu kerja baik tak afdhol tanpa tantangan; tenaga yang terbatas, dana di ambang batas, dan mentalitas yang pas-pasan. Tapi itu bukan hambatan, melainkan tenaga dalam yang akan menyelamatkan. Saya percaya bahwa literasi yang hidup itu menular. Jika satu perpustakaan bersuara lantang, yang lain akan turut bergema. Jika ada seorang anak yang berani naik panggung mendongeng atau membaca puisi, anak-anak lain pasti akan berani membuka buku.
Karena Ketika buku didiamkan itu adalah kematian, dan ketika buku dibaca itulah kehidupan. Literasi yang masuk akal adalah literasi yang bukan sekadar dipamerkan, namun dipraktikkan. Sayang sekali literasi yang begini kerap tak masuk anggaran!
Saya tutup esai ini dengan sebuah doa kecil di ujung malam: semoga Relima bisa menjadi penghubung antara buku dan pembaca. Penghubung antara logika dan kebijakan. Aminn Ya Rabb!
Robby W Riyodi. Seorang Pendongeng & Ventrilokuis Indonesia. Sekarang juga jadi Relawan Literasi Masyarakat (RELIMA) Perpustakaan Nasional tahun 2025.
Discussion about this post