
Seni adalah cermin realitas yang bisa disebut sebagai medium ekspresi yang mampu menerjemahkan suara masyarakat ke dalam bentuk visual, sekaligus menantang narasi dominan yang sering kali dilanggengkan oleh kekuasaan, ya kekuasaan yang alergi dengan suara-suara itu.
Fenomena pembredelan lima lukisan karya Yos Suprapto dalam pameran “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” menjadi ilustrasi nyata bagaimana seni, meskipun berusaha dibungkam, tetap memiliki kekuatan untuk berbicara lebih keras. Ketika karya seni diturunkan dari ruang fisiknya di Galeri Nasional, ia justru menemukan ruang baru di dunia digital, sebuah arena yang justru memperbesar gaung kritik yang terkandung di dalamnya.
Apalagi karya seni terlebih yang bersifat politis, tidak pernah berdiri dalam ruang yang steril dari pengaruh kekuasaan. Seni selalu bersinggungan dengan politik, baik sebagai alat perlawanan maupun medium legitimasi. Jikalau kita hendak kenakan melalui teori, tampaknya teori cultural hegemony dari filsuf Italia itu berkenaan dengan pembahasan, yaitu Antonio Gramsci dan cukup relevan untuk membaca bagaimana kekuasaan berusaha mengontrol wacana yang dianggap mengancam stabilitas naratifnya. Harusnya mereka sadar dan sangat-sangat perlu untuk disadarkan, bahwa seni merupakan bagian dari superstructure, yang dapat di interpretasikan sebagai medan tempur simbolis tempat ide-ide kritis dilontarkan untuk melawan hegemoni budaya yang ada.
Ketika lima lukisan Yos Suprapto diturunkan dengan alasan “terlalu vulgar” karena dianggap menyerang seorang tokoh, tindakan tersebut menunjukkan kekhawatiran mendalam pihak berwenang terhadap potensi seni sebagai alat kritik sosial. Tentu dalam hal ini, pembredelan bekerja bukan lagi sekadar tindakan sensor, melainkan upaya untuk mengontrol narasi publik, ah, shit lah.
Di samping itu, seperti yang telah berulang kali terjadi dalam sejarah seni, pembungkaman semacam ini sering kali menghasilkan efek yang justru bertentangan dengan tujuan awalnya. Fenomena Streisand Effect bisa juga dikenakan pada peristiwa ini, di mana upaya menutupi sesuatu justru memperbesar perhatian terhadapnya, adalah hal yang tidak dapat dihindari dalam era digital, terbukti bahwa atensi masyarakat digital menyeruak seusai itu terjadi.
Pada akhirnya melalui berbagai platform media sosial, seni yang semula hanya dapat diakses oleh segelintir orang di ruang galeri kini menjadi viral, dan dari sang pembredel pun ini diluar dugaan pastinya, akses itu kini mencapai audiens yang jauh lebih luas. Karya yang dibredel tidak lagi hanya “dilihat satu galeri,” tetapi menjadi konsumsi jutaan mata di internet. Ini membuktikan kekuatan seni dalam dunia digital, di mana digital amplification memainkan peran utama. Media sosial seperti X (sebelumnya Twitter) menjadi virtual agora, ruang publik digital di mana wacana sosial-politik berkembang secara organik. Seni Yos Suprapto, yang pada awalnya hanya dinikmati dalam ruang terbatas, kini mendapatkan platform baru untuk menyampaikan pesannya kepada khalayak yang lebih besar.
Harusnya kita secara kolektif menganggap dan melihat seni melampaui batas estetika dan menjadi alat symbolic power, sebuah konsep yang diusung Pierre Bourdieu untuk menjelaskan bagaimana simbol dalam hal ini karya seni dapat memengaruhi persepsi dan membentuk opini publik.
Pembredelan yang dimaksudkan untuk membungkam pesan kritik malah menjadi katalis bagi diskusi yang lebih luas. Warganet tidak hanya memperdebatkan lukisan, tetapi juga membahas kebebasan berekspresi, batas-batas sensor, dan bagaimana seni merepresentasikan realitas sosial.
Namun, pembredelan ini juga mengingatkan kita pada ancaman chilling effect, yaitu ketakutan kolektif yang mungkin muncul di kalangan seniman lain untuk menciptakan karya yang bersifat kritis lagi. Negara, melalui tindakan sensor, sering kali berusaha menciptakan suasana di mana keberanian untuk berbicara kembali untuk dikekang. Akan tetapi, dalam kasus ini, respons publik menunjukkan bahwa seni pada akhirnya dapat kita narasikan “seni akan selalu menemukan jalannya.” Komentar yang sangat menggambarkan esensi resistance art, seni yang tumbuh dari penindasan, yang justru mendapatkan kekuatan dan relevansinya karena menantang kekuasaan dia akan terus melejit.
Dalam kasus pembredelan ini, kita kembali diingatkan bahwa seni adalah manifestasi keberanian dan keberanian itu tidak semua orang memilikinya. Ia tidak hanya dalam menghibur atau mempercantik ruang, tetapi juga berbicara tentang kebenaran, meskipun itu berarti menghadapi risiko dibungkam. Dalam dunia yang semakin terkoneksi, ya seni tidak lagi bergantung pada ruang fisik untuk menyampaikan pesan. Dunia digital pun telah menjadi medium baru yang melampaui batas geografis dan sensor tradisional, menjadikan seni lebih kuat dalam menghadapi kekuasaan.
Pembredelan lukisan Yos Suprapto adalah cerminan dari konflik abadi antara seni dan kekuasaan, tetapi juga bukti bahwa seni selalu memiliki kekuatan untuk melampaui batas-batas tersebut. Ia tidak pernah benar-benar mati, melainkan hanya berpindah ruang, menemukan cara untuk tetap relevan, dan terus berbicara kepada mereka yang bersedia mendengarkan. Dalam narasi yang lebih besar, seni adalah manifestasi dari keberanian manusia untuk menghadapi ketidakadilan, dan fenomena ini adalah pengingat bahwa suara seni tidak dapat dibungkam. Seni, seperti kehidupan, akan selalu menemukan jalannya.
Jikalau kata pria kelahiran Pandam Gadang itu, dalam Madilog nya:
“Kita sudah insyaf, bahwa seni itu bayangan masyarakat”.

Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post