
“Abak kau bukannya udah terima gaji? Kan dah tanggal 6 sekarang.” Heran ia kepadaku. Aku juga sudah menduga bahwa kalimat ini yang pertama kali akan ku dengar dari Nenek. “Sudah, Nek. Tapi seperti yang Nenek tau, Abak kalau ngasih urang jajan kan ga banyak Nek … kurang sekali. Hanya 250 ribu per bulan. Itupun sudah sama isi minyak honda, bahkan kadang uangnya Abak pinjam lagi ke urang. Ga cukup buat urang, Nek.” Sedihku kepada wanita tua renta yang sedang mengayak beras ketan hitam di atas dulangnya. Beras halus-halus beterbangan di udara menghiasi percakapanku dengan Nenek. Ia terdiam, dan aku sebagai peminjam uang, lebih tepatnya meminta uang dengan kedok hutang, hanya bisa jongkok di pintu dapur yang berlantaikan semen ini sambil melihat atraksi tak lekang zaman di hadapanku. Sesekali ia mengambil beberapa butir beras, lalu mengunyahnya sebagai cemilan. Kini tak hanya beras ketan terbang, tetapi juga bunyi kunyahan beras ketan memeriahkan keheningan antara aku dengan Nenek.
“Kau aduk gulai cubadak (nangka) ini dulu. Nanti kira-kira kalau rasanya dah lima menit, kau kecilkan api terus tutup aja gulai tu ya! Nenek mau ambil wudhu, bentar lagi adzan luhua (zuhur)” Segera ia bangkit dari singgasananya, kursi plastik khas yang kulitnya sudah terkelupak sana-sini namun masih kokoh untuk menopang orang tua dengan bobot 75kg itu. Aku segera berdiri, menyembunyikan senyum dibalik masker abu-abu ini sambil mulai mengaduk gulai nangka yang harumnya sudah kemana-mana, sebentar lagi Mak Uwo pasti datang membawa pinggan tebakku.
Perginya Nenek mengambil wudu juga sebagai pertanda bahwa datangnya ia nanti bersamaan dengan lembaran biru yang bersampulkan wajah Ir. Juanda Kartawidjaja. Uang itu kupinjam untuk membeli beberapa kebutuhan kuliah seperti tinta pena isi ulang yang tinggal di ujung jarum pena ku, membeli isian binder yang kini hanya aku miliki 2 lembar, itupun hasil minta sama Eli, kawan kuliahku asal Agam yang baik hati. Serta untuk pengisi kekosongan dompet kuning yang kuningnya karna angin, bukan warna bawaan. Ah … melarat benar bulan ini.
5 menit sudah berlalu, instruksi komandan dapur segera aku terapkan. Kecilkan api kompor 3 tungku ini, lalu tutup. Aku daratkan pinggangku di atas singgasana usang milik Nenek untuk membalas lelah karena jongkok dan berdiri sedari tadi. Fokusku pecah ketika menatap tutup wajan berwarna perak mengkilap itu, pikiranku sudah sampai ke surat lamaran di atas meja kamar yang baru saja selesai kutulis malam tadi. Bahkan Al-Fatihah dan pituluah Makngah aku hembuskan ke kertas itu. Moga-moga para bos tempat aku melamar kerja berdesir bulu kuduknya dan tergerak untuk menerimaku sebagai kandidat yang dapat dipercaya. Biarpun hanya sebagai cleaning service, gaji yang ditawarkan cukup menjanjikan. 70 ribu per hari. Bayangkan. 70. Ribu. Per. Hari. Aku akan menabung 50 ribu seharinya, 20 ribu sebagai pegangan. Aku juga tipikal orang yang jarang beli jajanan seperti Eli, pagi-pagi sudah beli risol mayo, roti bakar, kadang-kadang bakwan. Itupun tidak hanya satu biji saja, kadang dua, tiga, dan jika tidak habis olehnya, akulah yang jadi mesin pembuangan akhir. Tapi tak mengapa, rezeki juga. Lagian mubazir itu dilarang dalam agama.
“Nah! Pitih ko (uang ini) benar-benar kau gunakan seperti yang kau bilang tadi ya! Kutambahkan sedikit buat isi minyak honda. Pandai-pandai kau berhemat, udah terasa susah hidup kan? Belajar rajin supaya jadi guru atau dosen yang kayak kau cita-citakan itu. Hati-hati kau menyeberang jalan, dah banyak oto menabrak honda akhir-akhir ni.” Ucap Nenek seraya menyodorkan lembaran warna biru, hijau, dan ungu yang digulung bulat-bulat namun masih tampak jelas olehku.
“Hehe… makasih, Nek! Urang pulang dulu, Nek. Doakan urang supaya bisa hasilkan pitih sendiri ya, Nek! Assalamu’alaikum.” Jawabku sambil menyalami tangan yang kulitnya tak lagi kencang, putih bersih sisa-sisa kecantikan masih terpatri jelas, walaupun di ujung jari-jarinya bekas kunyit lebih menarik perhatian.
Aku bergegas keluar dan menaiki Jeny. Ya, Jeny. Motor matic yang dibelikan abak tahun 2022 yang aku panggil Jeny, supaya imut dan lucu saja. Tiada niat lain. Dengan modal bismillah, aku lajukan Jeny menuju rumah kontrakan ku dengan Abak yang belum lama kami tempati. Letaknya tidak jauh dari rumah Nenek, di seberang jalan besar dan masuk ke gang kecil sebelah surau. Dulunya memang aku tinggal bersama Nenek, tapi karena Abak terlibat konflik tak kasat mata dengan kakak sepupuku, kami memilih pindah. Saat itu aku kelas 3 SMA, Abak bilang, kakak sepupuku apabila aku pulang ke rumah dan sedang mengerjakan tugas sehingga tak sempat membasuh pinggan, lentingan antar pinggan ia jadikan sebagai sandi morse untuk menyindirku. Aku tak menyadari itu, karena fokusku hanya pada rumus dan soal-soal di hadapanku. Sementara Abak, laki-laki Minang yang peka akan tindakan dan perkataan walaupun hanya dari derak angin di ranting pohon, sudah paham maksudnya.
Kejadian itu berlangsung selama sebulan, awalnya Abak berusaha diam saja tetapi lama -kelamaan absensi ku karena sudah jarang bantu membasuh pinggan dijadikan buah bibir oleh kakak sepupuku kepada Nenek. Akhirnya 3 hari setelah pembicaraan pertama itu, Abak segera mencari kontrakan dan memutuskan untuk pindah. Alasannya kepada Nenek dan keluarga di rumah gadang yaitu karena aku sudah mulai besar, dan butuh kamar sendiri sebagai ruang privasiku. Karena sedari dulu aku selalu tidur dengan kakak sepupuku itu, setelah ia menikah, aku pun pindah tidur ke kamar Nenek. Untuk pakaianku terletak di sebuah keranjang besar di gudang. Ya, aku berganti pakaian di sana.
Kepindahan kami menimbulkan desas-desus kurang mengenakkan di dusun. Mak Uwo selaku tetanggaku yang paling baik dan mengerti bertanya langsung kepadaku untuk membantu meluruskan pandangan orang dusun. Dan aku mengulangi alasan yang sama seperti yang Abak katakan. Mak Uwo hanya angguk-angguk saja mencoba untuk memparafrase alasanku supaya terdengar lebih bisa dicerna oleh amak-amak dusun lainnya. Aku sendiri sebenarnya kurang peduli dengan apa kata orang. Selagi beras yang kutanak bukan dari mereka, toh pandangan mereka tidak akan mempengaruhi usus besarku dengan Abak.
Mungkin juga kalian bertanya-tanya, masa sih di rumah gadang aku tidak mendapat kamar? Setiap bilik rumah gadang kan diperuntukkan bagi anak perempuan? Itu karena status ku di sini sangatlah rumit. Aku bukanlah anak dari anak perempuan Nenek, melainkan anak dari anak laki-laki Nenek yaitu Abak. Aku berada di lingkungan bako, dan sepengalamanku perlakuan bako bagaikan pagi dan petang perlakuan mamak ke kemenakan. Sama-sama masih disinari mentari namun beda hangatnya. Ini bukanlah satu-satunya alasan mengapa aku tidak mendapat kamar di rumah gadang. Aku adalah ‘anak tanpa identitas’, ibuku bukan bagian dari suku Caniago seperti Nenek, suku Jambak seperti almarhum Kakek, atau suku manapun yang berasal dari Minang. Abak menikahi perempuan Tionghoa yang menganut Islam ketika ijab qabul akan terucap. Cinta mereka bersemi di tanah rantau, Nenek dan Kakek kala itu sebagai saksi yang ditemani oleh beberapa kerabat terpercaya dari kampung ikut menyaksikan dan menemani prosesi sakral itu. Pernikahan antara Abak dengan Mami dilangsungkan di sebuah masjid raya secara sederhana, bahkan surat bukti bahwa Mami sudah memeluk agama Islam yang ditandangani oleh Majelis Ulama Indonesia disimpan rapi oleh Nenek. Aku juga tak mengerti mengapa surat itu berada di tangan Nenek bukan bersama Abak.
Di setiap kehidupan rumah tangga, akan selalu ada jalan berbatunya. Begitupun di kehidupan Abak dan Mami. Karena sama-sama anak rantau, mereka memutuskan untuk membuka usaha kedai grosir dan warnet yang kala itu sedang tinggi peminatnya. Semua dimulai dari nol, sama halnya dengan pengajaran Mami mengenai Islam yang dituntun langsung oleh Abak, alumni surau yang dicap sebagai santri terbaik oleh Makngah, alim ulama yang terkenal tekun dan pengolah surau di dusun kami.
Lama-kelamaan usaha Abak dan Mami membuahkan hasil. Makin banyak pelanggan tetap, warnetpun kian hari kian ramai oleh anak-anak muda. Ditambah suara lari-larian dua anak laki-laki yang terpaut 2 tahun semakin memeriahkan harmoni rumah tangga Abak dan Mami. Abak merasa sudah cukup memiliki dua anak, namun Mami sangat ingin sekali mempunyai teman untuk bisa dihias sesuka hatinya. Penantian 5 tahun membuahkan hasil dengan lahirnya aku ke dunia. Seorang anak perempuan yang dinanti-nanti dan lahir di tengah masa kejayaan orang tua. Cerita Abak, saat kelahiranku banyak kenalan Abak dan Mami memberikan hadiah dengan nilai yang fantastis pada masa itu. Keluarga Mami pun banyak menitipkan angpao sebagai ucapan selamat atas kelahiranku. Aku hidup sesuai dengan harapan Mami, dihiasi dengan kekayaan, emas, dan printilan khas perempuan ditambah dengan kecantikan Mami yang diturunkan kepadaku.
Kehidupan Abak dan Mami telah mencapai kata sempurna. Uang, pekerjaan, anak, dan kenalan yang baik menjadi sumber utama kebahagiaan dalam rumah tangga mereka. Hingga setan membisikkan sesuatu ke dada Abak yang membuat Abak mulai mencoba-coba peruntungan dalam perjudian, rasa tuak dan bintang 5 juga ia cicipi sebagai penghilang dahaga ketika kartu as dibuka.
Dering khas hp Nokia memaksa Abak untuk meletakkanku kembali ke atas buaian dan bergegas keluar. Ibu, nama kontak yang hampir saja mengusik tidurku menghantarkan sebuah berita yang membuat Abak tercenung lama. Tidak menjawab, ataupun mondar-mandir seperti biasa. Hanya tatapan kosong ke arah punggung wanita yang rambutnya hitam legam sepinggang, tak jauh, hanya 10 langkah dari tempat Abak. Tangan putih merona milik perempuan paruh baya itu sedang sibuk membuka buku kas. Menghitung pengeluaran secara cermat dan teliti. Tanpa tahu bahwa ninik mamak di kampung sedang merencanakan alek antara Abak dengan seorang dokter cantik bersuku Sikumbang. Abak didesak untuk segera pulang ke kampung oleh Nenek dan orang di sana. Keraguan Abak memperjelas jawaban atas permintaan itu.
Tak butuh waktu lama bagi Abak untuk segera memesan tiket kapal terbang yang nantinya akan mendarat dalam 1 jam perjalanan. Alasannya kepada Mami karena Nenek sedang sakit sehingga ia perlu pulang, Mami pastinya meminta ikut mengingat bahwa ia adalah seorang menantu yang baik. Abak berkilah lagi bahwa usaha mereka harus tetap dijalankan, jika keduanya pulang, kepada siapa kedai akan dititipkan? Namun firasat dan keanehan sikap Abak sudah terekam jelas oleh Mami sehari setelah kabar itu diberitakan. Pasalnya Abak membawa banyak sekali uang, sampai-sampai tabungan rumah tangga ia ambil setengahnya, alasannya kepada Mami karena ingin menyenangkan hati Nenek dengan membawa Nenek jalan-jalan dan membelikan perhiasan.
Pertaruhan Mami dimulai saat itu. Ia tidak bertanya lagi, tidak menaruh curiga, dan ia mantapkan hatinya kepada Allah, tuhan yang melancarkan rezeki keluarganya. Ia lepas Abak di pekarangan rumah, karena ada mobil jemputan yang nantinya mengantarkan Abak ke pelabuhan kapal terbang. Bersikeras ia ingin ikut, bersikeras pula Abak menahan ia di rumah dengan alasan yang sama. Tiga hari berlalu, tidur yang biasa Mami lalui dengan nyenyak menjadi kegelisahan di kala malam yang tak ada habisnya. Biarpun demikian, Mami tetap menjalankan kewajibannya yang mulia sebagai seorang ibu. Seperti biasa, mengantarkan koko-koko ku pergi sekolah. Koko pertama yaitu ko Pendi sudah duduk di bangku sekolah dasar kelas satu, sementara koko Sundy baru menapaki taman kanak-kanak. Selesai mengantar, Mami sibuk dengan urusan kedai dan warnet. Walaupun kali ini terasa cukup berat karena tidak ada Abak yang membantu, namun segala urusan dengan telaten Mami kerjakan. Termasuk menyusuiku, mengasihiku, dan menghiasiku dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Ketika besar aku selalu bertanya-tanya, mengapa dengan tega Nenek dan orang di kampung merusak kebahagiaan keluarga Mami yang sudah sempurna? Mami juga tidak pernah menjahati mereka, ataupun membisikkan hasutan jahat kepada Abak tentang keluarga di kampung. Mami rela meninggalkan keluarganya demi membangun keluarga dengan Abak tetapi tetap membiarkan Abak terhubung dengan keluarganya sendiri. Jawabannya aku dapati setelah aku dewasa, Makngah yang ceritakan semuanya. Ini tidak jauh-jauh dari urusan harta pusaka.
Dalam aturan adat, rumah di Minangkabau diperuntukkan bagi perempuan, sementara pihak laki-laki mengikut bini. Pulangnya Abak ke kampung halaman dikhawatirkan masa tuanya tidaklah senang oleh Nenek, Kakek hanya mengikut. Maka mempunyai bini seorang lagi bukanlah sebuah masalah terlebih yang diambil kali ini adalah urang awak. Dengan mempertimbangkan hal itu dicarikanlah jodoh terdekat yang sekiranya setara dengan Abak.
Teman masa kecil Abak yang kini sukses dengan jas putih di rumah sakit menjadi pilihan Nenek dan keluarga. Dikenal elok budi dan bahasanya. Ia menurut saja, hampir menjadi perawan tua, 27 umurnya. Terpaut 10 tahun dari Abak. Dilangsungkanlah secara sederhana di surau dusun. Dalam helaan nafas pertama, ijab qabul lancar terucap oleh Abak. Namun seruan kata sah disisipi kata “tidak!” yang lantang dari suara perempuan paruh baya yang akrab sekali di telinga Abak.
Mematung semua orang, melihat ke belakang. Berdiri seorang perempuan, berderai air mata. Dengan hati yang hancur, jatuh badannya ke sajadah surau. Bersamaan dengan riuh tangis tiga anaknya, salah satu tengah digendong di dada. Untungnya jatuhnya Mami tidaklah menciderai kepalaku. Segera aku diambil dan Mami digotong oleh Abak. Abak lupa, bahwa istrinya ini lemah jantung. Kejadian ini menjemput Mami dengan sakaratul maut. Meninggal dalam kekecewaan dan luka teramat dalam.
Lanjutannya tidak mau Makngah paparkan kepadaku. Pastinya aku merengek kesal meminta pertanggung jawaban Makngah yang menggantung. Di sisi lain, usaha Abak dan Mami dikatakan bangkrut. Mengingat kekalahan Abak dalam membuka kartu as mendatangkan rentenir di kemudian hari.
Dan ya… dokter cantik tak di dapat, nyawa istripun melayang ke akhirat. Mengingat cerita ini aku hanya bisa menghela nafas dan geleng kepala. Sesampainya di rumah, aku letakkan lauk pemberian Nenek dan berlalu ke belakang rumah. Terdapat jalan setapak menuju masa depan. Tak lupa membawa bunga, aku bersimpuh dengan tangan menengadah. Di hadapan sebuah nisan yang tak lupa selalu aku bersihkan. Memohon ampunan dan tempat terbaik bagi pemilik surga di telapak kakinya yang tak pernah bisa aku temui di dunia.
Penulis, Putri Effendi, Mahasiswi Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.
- Cerpen: Matikau Elian – Ingik - 25 Oktober 2025
- MUSIK: Andip, musisi Indie dari Padang Luncurkan Lagu Terbaru berjudul ‘BERTARUH’ untuk Orang-orang yang Dibuang oleh Pasangannya. - 24 Oktober 2025
- Puisi: Gelanggang – Nico Farentinno - 18 Oktober 2025






Discussion about this post