• Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai
Kamis, Oktober 30, 2025
  • Login
  • Daftar
  • Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai
No Result
View All Result
Redaksi Marewai
No Result
View All Result

Cerpen: Matikau Elian – Ingik

Redaksi Marewai Oleh Redaksi Marewai
25 Oktober 2025
in Sastra, Cerpen
989 41
0
Home Sastra
BagikanBagikanBagikanBagikan

Senja baru saja mulai menebar warna jingga di ufuk barat, seorang anak laki laki bernama Elian, usianya belum genap sepuluh tahun dengan mata waspada dan senyum yang cepat menular, Elian tuli sejak lahir.

Sore itu, permainannya berbeda. Ia sedang mengejar layang-layang putus miliknya. Angin membawanya menukik tajam, talinya tersangkut di semak-semak tepat di seberang rel.

Di kejauhan, di tikungan yang tertutup pepohonan rimbun, lokomotif berwarna merah itu muncul. Suara klakson kereta itu meraung memekakkan telinga. Suara yang bisa membuat burung-burung di sawah beterbangan panik. Suara yang membuat para ibu di dapur menghentikan ulekan mereka. Suara yang menusuk, panjang, dan penuh peringatan. Dalam sekejap Elian tertabrak dan terpental sejauh sepuluh meter. Ajaib!, Elian ketihatan tidak cedera, hanya saja dari telinganya menetes darah kental yang menetes ketanah.

Orang-orang berkerumun mengelilingi Elian, Elian mulai perlahan-lahan berdiri dan sejak saat itu Elian bisa mendengar suara manusia, tak hanya suara yang dihasilkan pita suara, bahkan suara dari dalam hati orang orang juga bisa didengar oleh Elian.

Elian mendengar suara hati orang-orang yang busuk dan munafik, tapi Elian selalu memulainya dengan bercanda bahkan sering menjadi masalah oleh teman-temannya dan orang orang sekitarnya.

Merasa khawatir, ibunya membawanya ke dokter anak terbaik di kota, dokter itu tersenyum profesional. “Anak Anda sangat… reseptif, Bu,” kata Dr. Aris, membetulkan kacamatanya. Pikirannya: “Semoga asuransi mereka bagus, tagihan lab ini mahal sekali. Dan anak ini menatapku seolah aku baru saja menelan kodok.”
Elian kecil, yang duduk diam, bergumam pelan, “Baju dokter jelek.”
Ibunya tertawa gugup. “Aduh, maaf, Dok. Elian ini memang anaknya jujur sekali.” Pikirannya: “Kenapa dia harus bilang begitu? Memalukan. Nanti diskonnya tidak keluar.”

Kejujuran itu menjadi masalah.
Di sekolah menengah, Elian tumbuh menjadi pemuda yang sinis dan pendiam. Ia dipaksa mendengar riak-riak pikiran yang tak terfilter. Saat ia menerima penghargaan “Siswa Paling Peduli Sosial”, Kepala Sekolah menjabat tangannya dengan erat.

“Elian adalah contoh pemuda yang peka terhadap lingkungan sekitarnya!” seru Pak Kepsek di podium. Elian menatapnya datar. Sangat peka, batin Elian. Aku tahu Bapak berpikir betapa Bapak membenci dasi ini dan sedang pusing memikirkan cara membayar cicilan mobil baru istri simpanan Bapak.

Seorang teman menepuk punggungnya. “Selamat, bro! Lo emang paling top!” Pikiran temannya: “Semoga dia mau bantu kerjakan PR fisikaku. Anak aneh ini pasti jago itung-itungan.” Elian hanya mengangguk. Dia tahu pujian adalah mata uang transaksi.

Setelah dewasa Elian memilih menjadi pustakawan yang bekerja di pustaka tua untuk menghindari kebisingan, tempat di mana keheningan fisik memberinya sedikit kelegaan. Tapi pikiran tetap bocor.

Suatu hari, seorang wanita bernama Rina datang. Pikirannya tenang, sering kali hanya berisi melodi lagu atau daftar belanjaan. Hari itu, Rina tampak gugup.

“Aduh, lupa bawa dompet. Malu banget”, pikir Rina, sambil pura-pura membaca pamflet. Semoga dia nggak sadar aku ke sini cuma buat ngadem, AC di rumah mati.

Elian berkata dengan suara monoton, “Pendingin ruangan disini disetel di 22 derajat. Cukup sejuk. Dan dompet Anda ada di saku jas hujan ungu, di gantungan dekat pintu.”

Tawa Rina tercekat. Wajahnya pucat. “Hah? Kok… Anda tahu?”

Elian mencoba tersenyum, sesuatu yang jarang ia lakukan. Itu terlihat kaku. “Saya… banyak membaca.”

Pikiran Rina langsung meledak panik. “Dia tahu! Dia tahu aku ke sini cuma numpang ngadem! Dia juga tahu jas hujanku ungu! Dia pasti psikopat penguntit!”

“Bukan, saya tidak…” Elian mencoba menjelaskan, tapi terlambat. “Menjauh dariku!” pekik Rina, lalu lari meninggalkan perpustakaan, menjatuhkan pamflet.
Itu adalah awal dari akhir.

Cerita menyebar. “Pria aneh di perpustakaan.” “Dia tahu hal-hal yang seharusnya tidak dia ketahui.” “Dia bisa membaca pikiran.” “Dia berbahaya.”

Ironisnya, orang-orang membencinya bukan karena dia tahu rahasia besar negara. Mereka membencinya karena dia tahu kebohongan-kebohongan kecil dan pikiran-pikiran memalukan mereka.

Tidak hanya diusir dari perpustakaan, Elian juga diusir dari kedai kopi langganannya. “Maaf, Mas Elian,” kata pemilik kedai, memasang wajah sedih palsu. “Kami lagi ada… renovasi pipa. Mungkin lain kali, ya.” Pikirannya: “Pergi kau, pembaca pikiran sialan. Gara-gara kau, pelangganku tidak nyaman bergosip. Omzetku turun 30%!”

Elian memandangnya. “Tentu, Pak. Semoga renovasi keuangan Bapak cepat selesai.” Pemilik kedai memucat. Kebenciannya mengeras.

Mereka tidak tahan memiliki cermin yang hidup di antara mereka. Cermin yang memantulkan betapa munafik, dangkal, dan cemasnya mereka. Dan cara termudah untuk menghancurkan cermin adalah dengan melemparinya batu.

Suatu malam di musim hujan, sekumpulan massa berkumpul di depan pintu rumahnya. Dipersenjatai dengan obor, kemarahan, dan pembenaran diri yang luhur.
“Warga sekalian!” teriak Pak RT, yang memimpin di depan. “Kita di sini untuk menegakkan ketertiban! Makhluk ini telah merusak harmoni dan privasi kita!” Pikiran Pak RT: “Bagus. Dengan mengorbankan si aneh ini, istriku akan lupa aku menilep uang kas RT bulan ini untuk judi bola.”
Pintu didobrak.
Mereka menyeretnya keluar ke jalanan yang basah. Hujan deras bercampur dengan makian. Elian tidak melawan. Ia terlalu lelah.
Di tengah kerumunan, ia melihat Rina. Wanita itu menangis. “Jangan sakiti dia!” isak Rina. “Dia hanya… tahu!” Pikiran Rina: “Ini semua salahku. Tapi kalau aku membelanya, mereka akan membenciku juga. Ya Tuhan, dia menatapku! Dia pasti mendengar ketakutanku!” Elian memang mendengarnya. Dia mendengar ketakutan Rina yang egois.

Seseorang melempar batu. Batu itu mengenai pelipisnya.
Elian jatuh berlutut. Darah mengalir, bercampur air hujan. Ia memegangi kepalanya, mengharapkan kesunyian. Ia berdoa untuk kegelapan. Tapi yang terjadi adalah kebalikannya.

Saat tubuhnya melemah, penghalang mentalnya—yang telah ia bangun seumur hidupnya dengan susah payah untuk meredam kebisingan—runtuh total.

Itu bukan lagi bisikan. Itu bukan lagi teriakan. Tiba-tiba, Elian tidak hanya mendengar pikiran orang-orang di depannya.

Dia mendengar semuanya.
Dia mendengar pikiran kolektif kota. Ketakutan, nafsu, keserakahan, kebohongan sepele, rahasia kotor. Dia mendengar pengemudi taksi yang mengumpat di kemacetan lima kilometer jauhnya. Dia mendengar seorang politisi yang sedang berlatih pidato bohongnya di depan cermin. Dia mendengar tangisan bayi dan pikiran lelah ibunya di seberang sungai. Dia mendengar jutaan doa munafik, jutaan rencana licik, jutaan kecemasan tentang tagihan dan perselingkuhan.

Semua suara itu—jutaan pikiran—menyerbu otaknya yang sekarat dalam satu detik yang mengerikan. Itu bukan pembebasan. Itu adalah neraka. Elian mencoba berteriak, tapi yang keluar hanya desisan berdarah. Mangeri terbelalak ngeri.

Mereka membunuhnya karena takut rahasia mereka yang sepele terdengar. Dan dalam kematiannya, Elian dipaksa mendengar rahasia seluruh dunia. Dia tidak mati dalam damai. Dia mati tenggelam dalam lautan kebisingan mental yang tak terbatas, otaknya meledak oleh beban kolektif kemanusiaan.

Di jalanan yang basah itu, di tengah kerumunan yang kini mulai diselimuti kebingungan, Elian terbaring mati. Matanya terbuka lebar, menatap kosong ke langit yang hujan, selamanya merefleksikan disonansi abadi yang tidak pernah ia minta, dan yang bahkan dalam kematian pun, tidak akan pernah meninggalkannya.

Padang, 19 Oktober 2025

========
Penulis, Ingik adalah seorang penulis naskah drama, beliau aktif diberbagai pertunjukan drama/teater di Sumatra Barat. Ia juga aktif berkegiatan di dunia musik dan sudah menulis banyak lagu. Sebagai Musisi berbakat, ia telah malang-melintang di dunia musik Nusantara

  • About
  • Latest Posts
Redaksi Marewai
ikuti saya
Redaksi Marewai
Redaksi Marewai at Padang
Redaksi Marewai (Komunitas Serikat Budaya Marewai) adalah Komunitas Independen yang menyediakan ruang bagi siapa saja yang mau mempublikasi tulisannya, sebuah media alternatif untuk para penulis. Kami juga banyak berkegiatan diarsip manuskrip dan video/film dokumenter, mengangkat sejarah dan budaya Minangkabau. Bebebapa dari karya tsb sudah kami tayangkan di Youtube Marewai TV.
Silakan kirim karyamu ke; [email protected]
Redaksi Marewai
ikuti saya
Latest posts by Redaksi Marewai (see all)
  • Cerpen: Matikau Elian – Ingik - 25 Oktober 2025
  • MUSIK: Andip, musisi Indie dari Padang Luncurkan Lagu Terbaru berjudul ‘BERTARUH’ untuk Orang-orang yang Dibuang oleh Pasangannya. - 24 Oktober 2025
  • Puisi: Gelanggang – Nico Farentinno - 18 Oktober 2025
Tags: CerpenSastra

Related Posts

Puisi: Gelanggang – Nico Farentinno

Puisi: Gelanggang – Nico Farentinno

Oleh Redaksi Marewai
18 Oktober 2025

Gelandangan sentak tidur gelandanganroda empat lalu lalangemperan toko pinggir jalanah, pagi kembali terulang kardus coklat alas pantatjaga tubuh tetap...

Cerpen: Rembulan di Bola Matamu | Ivo Ardyusri

Cerpen: Rembulan di Bola Matamu | Ivo Ardyusri

Oleh Redaksi Marewai
17 Oktober 2025

Malam itu seperti malam minggu yang biasa kita lalui. Sebatang rokok kuselipkan di jariku kau yang menghidupkan pemantiknya. Helaian...

Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra – Narasi untuk Ibu

Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra – Narasi untuk Ibu

Oleh Redaksi Marewai
5 Oktober 2025

Mencari Jalan Mendaki ;untuk kerajaan Jambu Lipo di jalan tanah berlubang ini telah  kita susuri jejak-jejak kaki kuda lenguh...

Cerpen: Sales Event Organik (E.O) – Rori Aroka

Cerpen: Sales Event Organik (E.O) – Rori Aroka

Oleh Rori Aroka
3 Oktober 2025

Di ujung sebuah kota kecil, berdirilah sebuah toko pupuk bernama Event Organik (E.O). Namanya terdengar gagah, seolah-olah perusahaan itu...

Discussion about this post

Redaksi Marewai

© 2024 Redaksi Marewai

Ruang-ruang

  • Budaya
  • Sastra
  • Punago Rimbun
  • Pelesiran
  • Carito

Ikuti kami

No Result
View All Result
  • Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai

© 2024 Redaksi Marewai

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In