
Nanda Winar Sagita
DANCING ARABS ADALAH salah satu buku terlucu sekalis terpilu yang pernah kubaca; dan aku merasa berdosa jika tidak menyertakannya dalam daftar ulasan di buku ini―meskipun adaptasi filmnya juga mengambil bahan dari buku Second Person Singular (2011). Lantaran ada kesamaan tema yang diusung dari kedua buku tersebut, yakni ihwal identitas, jadi cerita yang disuguhkan memang punya keterkaitan antara satu dengan lain; maka tidak heran kalau judul alternatif untuk film ini adalah A Borrowed Identity.
Sebelum akrab dengan prosa-prosa Etgar Keret yang menggelitik di tengah konflik abadi antara Israel dan Palestina, Sayed Kashua telah memberiku hiburan meresahkan melalui kisah-kisah jenaka dalam situasi yang sama. Lewat sudut pandang seorang Arab-Muslim di tengah komunitas Yahudi, dia mencoba menjadikan tragedi perang antara keturunan dua anak Ibrahim itu menjadi komedi yang bersifat universal.
Buku ini adalah karya debut Kashua yang membuat namanya langsung melejit. Dia bukan hanya dikenal sebagai seorang novelis, tapi juga penulis rutin kolom satire di surat kabar Haaretz dan penulis acara TV Arab Labour. Kedua karyanya itu sangat populer di Israel. Meskipun terkenal, dia bukannya tidak punya beban; karena latar belakangnya sebagai Arab dan kewarganegaraannya sebagai warga Israel―persis Nas Daily―dia seperti manusia yang kehilangan identitas.
Bagi orang Yahudi-Israel, dia adalah bangsa minoritas yang dibenci dan menganggapnya sebagai seorang sayap kiri radikal karena tulisannya dianggap anti-Zionis; sedangkan bagi orang Arab-Palestina dia dikucilkan dari pergaulan dalam bermasyarakat karena hanya menulis dalam bahasa Ibrani dan mengejek bangsa Arab dengan sangat kentara sehingga dituduh sebagai “Anjing Zionis”. Bahkan menurut pengakuannya, pernah ada seorang khatib di Tira menuduhnya telah meninggalkan Islam dan bangsa Arab. Dengan kata lain: dia berdiri mengangkangi dua dunia yang sangat berseberangan demi mempersatukan mereka; tapi sayangnya dalam proses itu dia malah terkucil dan kehilangan diri sendiri.
Dancing Arabs adalah salah satu upaya Sayed Kashua untuk memperjelas identitas dirinya. Meski tidak sepenuhnya bersifat autobiografis, tapi dalam beberapa hal kita bisa menemukan ada banyak titik kesamaan antara kehidupannya sebagai penulis dan kehidupan narator yang dia tulis. Kakeknya tewas melawan Israel pada 1948; begitu juga kakek dari sang narator. Ayahnya adalah anggota organisasi sayap kiri Metzpan yang ditangkap karena melakukan serangan ke kafetaria di Hebrew University dan ditahan tanpa pengadilan; hampir sama dengan ayah sang narator. Dia diterima di sekolah elite di Yerusalem dan ayahnya berharap dia bisa menjadi orang Arab pertama yang membuat bom atom; persis seperti sang narator. Itu hanya segelintir kesamaan, dan tentu masih banyak lagi jika harus disebutkan, sehingga terkadang membuat kita lupa kalau buku ini hanya sebatas fiksi.
Rangkaian kisah yang tertera dalam buku ini ibarat anekdot, dengan rangkaian sketsa yang dimulai sejak sang narator kecil hingga menikah dan punya anak. Setiap cerita adalah ungkapan dari pemberontakan yang disampaikan secara halus; dalam arti kata pemberontakan itu tertuju pada identitas sang narator sebagai orang Arab di tengah-tengah komunitas Yahudi. Hal itu pula yang membuatnya inferior dan tidak sungkan untuk mengemis-ngemis untuk menjadi seorang Yahudi; bahkan terkadang dengan cara mencemooh kebudayaan bangsanya sendiri yang dianggap lebih kolot.
Meskipun demikian, ada imajinasi kekecewaan lain yang disampaikan dengan brutal oleh Kashua. Melalui imajinasinya yang kronologis, sang narator berusaha untuk menjadi duta perdamaian antara Arab dan Yahudi di Israel dengan mengawalinya dari salat, lalu mendaftar jadi guru agama, menjadi konsultan hukum tentang ilmu-ilmu agama, masuk dalam persaingan politik lokal… hingga puncaknya menjadi Perdana Menteri Israel pertama yang berasal dari seorang Arab-Muslim. Tentu alur yang dibangun dalam imajinasi sang narator terkesan lucu, tapi pada bab terakhir, imajinasi itu runtuh dengan sendirinya melalui imajinasi ayahnya sebagaimana kutipan berikut:
Ayahku tidak lagi peduli pada revolusi atau kesetaraan atau tanah atau suatu negara yang merdeka. Dia sudah menyerah. Dia berkata, rakyat Palestina harus menyerah juga, dan jika dia adalah seorang pemimpin Palestina, dia akan memerintahkan mereka agar menghancurkan Masjid Al-Aqsa. Pertama mereka akan meledakkannya dengan dinamit, lalu mereka akan mengerahkan buldoser untuk membersihkan semua sisa-sisa Islam dan Arabisme. Ayahku bilang itu akan jadi pembalasan dendam rakyat Palestina atas kebungkaman Islam dan dunia Arab atas penderitaan mereka.
Itu adalah pengakuan yang memilukan dari orang yang terlibat langsung dengan konflik antara Palestina dan Israel. Jika ditilik dari segi suara dan gaya tutur sang narator, tampak ada pengaruh dari buku Catcher in the Rye di sini. Ada kesinisan dan rasa jijik kepada situasi di sekitarnya, walaupun motivasi kebinalan sang narator jelas sangat berbeda dengan Holden Caulfield. Di sisi lain pengaruh itu memang bisa dimaklumi, karena berdasarkan pengakuannya dalam sebuah artikel di The Guardian, novel karya J.D salinger itu adalah novel pertama yang dia baca dalam versi terjemahan bahasa Ibrani.
Adapun solusi dari segala pengakuan memilukan itu―yang sebenarnya sempat ada sebelum bendera menyerah dari ayah sang narator itu berkibar―adalah kemunculan seorang tokoh kuat dan karismatik dari Arab yang dianggap mampu untuk menjungkirbalikkan situasi. Jika sebelumnya ayah sang narator punya tokoh dambaan, yakni Gamal Abdul Nasser, maka seiring waktu tokoh itu beralih pada Saddam Hussein. Adegan pemujaan berlebihan itu dapat kita lihat pada bab “Once an Arab, Always an Arab”.
Menjelang akhir dari Perang Teluk pada 1991, keluarga sang narator menunjukkan kebencian pada Israel dengan nekat naik ke atap rumah untuk menyaksikan rudal yang ditembakkan ke arah Tel Aviv. Meskipun ada alarm peringatan agar mereka bersembunyi di ruang tertutup. Tentu keluarga itu bukan satu-satunya, dan hampir setiap penduduk desa melakukan hal yang sama. Para lelaki dewasa seolah-olah memandu arah rudal, anak-anak akan bertepuk tangan, dan perempuan dewasa akan bersiul “lululu”seperti yang mereka lakukan pada pesta pernikahan. Mereka, khususnya ayah sang narator, berharap Saddam dapat memenangkan perang sekaligus membungihanguskan seluruh teluk dengan stok minyak yang mereka punya. Dongeng ihwal kekultusan betapa agungnya sosok Saddam menyebar begitu cepat ke seantero dunia Arab, bahkan dengan lucunya sang narator menulis begini:
Surat-surat kabar Arab menulis cerita tentang seekor kambing yang bisa berkata, “Sadaaaaam.” Lalu orang-orang mulai melihat wajah Saddam di bulan. Ketika aku pulang, ayahku tidak bisa percaya aku tidak melihatnya. Dia mengajakku keluar dan mencoba menjelaskan selama berjam-jam ke mana aku harus melihat; di mana letak hidungnya, mulutnya, kumisnya, dan baretnya. Pada akhirnya, aku berhasil melihatnya. Memang terlihat mirip dia. Tidak hanya mirip dia—itu memang dia. Tengoklah ke atas.
Untuk di filmnya sendiri, adegan pantulan wajah Saddam itu betul-betul digambarkan dengan kocak. Setelah ayah (Ali Sulaiman) dan ibu (Marlene Bajali) Eyad―nama sang narator di dalam film, diperankan oleh Tawfeek Bahrom―berdebat tentang kehebatan Saddam, ayahnya mengajak Eyad untuk menatap langit malam. Pada mulanya gambar close-up bulan purnama yang ditampilkan benar-benar bulan utuh sebagaimana yang kita lihat; pada tampilan kedua pun pantulan itu masih samar; tapi setelah melalui sugesti dari ayahnya, tepat pada tampilan close-up bulan yang ketiga, pantulan wajah Saddam benar-benar bisa dilihat dengan nyata. Wajah itu persis seperti Saddam Hussein yang kita kenal, dan hal itu barangkali membuktikan satu hal: sugesti dapat membuat yang tidak ada menjadi ada!
Adapun adegan yang terjadi setelah pantulan wajah Saddam itu ibarat puncak komedi yang menjelaskan makna Dancing Arabs secara harfiah. Tatkala keluarga Eyad berada di atap untuk menyaksikan rudal dari Irak yang berhasil menghantam Tel Aviv, mereka merayakannya dengan menari. Di sisi lain, Eyad menolak untuk bergabung dengan perayaan itu karena cemas pada Naomi (Danielle Kitsis) kekasih Yahudinya yang berada di kota itu. Pada bagian itu terlihat jelas, betapa sosok ibu memang lebih terbuka dalam memahami anak ketimbang siapa pun; sebab Fahima, Ibu Eyad, mendukung hubungan putranya dengan gadis Yahudi itu setelah memergoki Eyad menelepon Naomi. Dalam konteks yang lain, keterbukaan sosok ibu ini tampak pula pada karakter Edna (Yael Abecassis).
Jika di paruh pertama film jelas-jelas mengikuti alur dari Dancing Arabs, maka di paruh akhir adalah alur dari Second Person Singular yang terfokus pada persahabatan antara Eyad dan seorang pemuda Yahudi pengidap distropi otot bernama Yonatan (Michael Moshonov). Meskipun Eyad seorang Arab, Edna, ibu Yonatan, bersikap terbuka dalam menanggapi persahabatan anaknya. Hal itu tidak terlepas pula dari nasib Eyad dan Yonatan yang termarjinalkan dari pergaulan di masyarakat: Eyad dengan identitas Arabnya, sedangkan Yonatan dengan disabilitasnya. ‘Kecacatan’ itulah yang membuat hubungan keduanya semakin erat hingga pada titik puncak ketika keduanya saling bertukar identitas ketika salah seorang sudah meninggal dunia.
Jika dibandingkan dengan buku, ada beberapa hal unik yang bisa kita lihat di adegan filmnya. Pertama tentang infrastruktur di Tira yang tidak berubah sejak Eyad masih kecil hingga dewasa. Hal ini bisa ditafsirkan sebagai sindiran, meskipun secara administratif bagian dari Israel, hanya karena ditempati oleh mayoritas orang Arab yang membuat kota kecil itu nyaris tidak tersentuh pembangunan. Kedua adalah tentang bagaimana Eyad mengkritik sastra Israel di hadapan guru dan teman-teman sekelasnya yang begitu bias secara inheren terhadap karakter Arab dari penulis berbahasa Ibrani seperti S.Y Agnon dan Amos Oz.
Selain itu, hal yang patut diapresiasi dari film ini adalah kehadiran duo aktor dari film Paradise Now, yakni, Ali Sulaiman sebagai Salah, ayah Eyad, dan Kais Nashef sebagai guru. Masing-masing dari keduanya punya adegan unik tersendiri: jika bagian Sulaiman sudah aku sebutkan sebelumnya, maka adegan brilian Nashef yang paling aku ingat adalah ketika dia diam-diam mendidik siswanya untuk membenci Israel dengan menunjukkan peta asli Palestina, dan ketika kepala sekolah datang dia segera mengganti peta tersebut dengan peta Israel.
Tentu saja menampilkan orang Palestina dalam film yang diproduksi oleh Israel adalah sebuah tantangan sekaligus permasalahan. Namun secara kritis film ini bisa dinikmati oleh kedua sisi dalam perspektif ideologis yang berbeda; meskipun dari segi pemasaran bisa dikatakan rugi besar. Secara keseluruhan, bagian terbaik film ini memang ada di paruh pertama yang mengadaptasi buku Dancing Arabs, yang mana penonton diarahkan pada keakraban yang subtil; dan perlahan mulai melemah ketika masuk ke babak yang mengadaptasi Second Person Singular dengan segala nuansanya terjun bebas menuju realita yang lebih gelap.
Niat awalnya buku ini akan difilmkan pada 2004 dengan melibatkan aktor legendaris Omar Shariff. Namun rencana itu batal karena satu per satu kru memutuskan untuk mundur sehingga penyutradaraan dipegang oleh Eran Riklis. Sebelum menjadi orang Israel pertama yang lulus di National Film and Television School di Inggris pada 1984, Riklis pernah ikut Perang Yom Kippur pada 1973. Melibatkan warga Israel dan Palestina sekaligus dalam satu frame adalah simbolisme dari persatuan. Begitu pula dalam buku Dancing Arabs; ada kesan optimisme besar akan perdamaian yang muncul meskipun pada akhiranya Sayed Kashua terjebak dalam rasa pesimistis akut. Dia memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat karena meyakini Yahudi dan Arab tidak akan pernah hidup berdampingan secara setara di Israel dengan menyebut “kebohongan yang saya katakan kepada anak-anak saya tentang masa depan Arab dan Yahudi yang berbagi negara secara setara sudah berakhir.”Kekecewaan tersebut turut menggenapi ramalan dari Golda Meir yang pernah mengatakan: “Tidak akan ada perdamaian sampai negara-negara Arab memutuskan bahwa mereka lebih mencintai anak-anak mereka ketimbang membenci orang Yahudi.”
- Telah Tayang! Single kedua Andip berjudul ‘Aku Paham Itulah Jarak’ - 23 April 2025
- KRITIK SENI PERTUNJUKAN RAPA’I DABOH OLEH Acara HUT Bhayangkara di Banda Aceh - 23 April 2025
- Gairah Literasi dan Dunia Baca Anak Muda | Muhammad Nasir - 20 April 2025
Discussion about this post