
Sebagaimana kebanyakan film-film Indonesia, selalu dibuka dari suasana dan satu patahan peristiwa yang kemudian jadi rajutan penokohan. Film ini meski dibuka dengan tontonan glamour masyarakat kelas menengah ke bawah: dangdut (paling tidak itu yang singgah dalam benak masyarakat). Tapi masih saja seolah tak sampai. Penceritaan ataupun penggambaran situasi dengan sinematografi yang meriah, namun nampak tak sedang dalam suasana dangdutan. Entahlah, mungkin saja situasi yang dihadirkan sutradara memang dilatarbelakangi lokasi/setting tempat: Jakarta. Jika ditarik sedikit kebelakang, film ini memang kurang bersinggungan/relate dengan kehidupan di daerah luar Jakarta atau mungkin Pulau Jawa. Mungkin saja sutradara tidak sedang menayangkan bagian itu, bagian yang bisa dinikmati semua orang dimuka bumi. Ia sungguh ingin menghadirkan isu–potret kehidupan perkotaan (Jakarta) saat menghadapi wabah, masa-masa sulit perekonomian.
Dengan keadaan melarat alias terlilit utang, si ibu masih mampu merokok dengan rokok kelas menengah ke atas (esse). Di satu sisi, seolah melihatkan bagaimana gaya hidup masyarakat Indonesia: meski kehidupan tersumbat, gengsi harus paling utama. Di sisi lain, ini seolah luput dari detail yang ingin disajikan. Atau Dhika sebagai sutradara sengaja membenturkan kenyataan tersebut lewat detail-detail kecil yang cukup berpengaruh. Lalu menayangkan ironi-ironi lain dalam tragedi cerita. Film ini memotret satu per satu bagian dari kehidupan manusia mungkin (?) pada umumnya serupa: sesuatu yang instan. Walau film menggambarkan bagaimana keadaan sebuah keluarga pada masa covid, tentu saja film ini kadang nampak keluar masuk dari konsisten ke inkonsistensi. Kadang nampak buru-buru, kadang nampak luput dari kenyataan.
Anasir-anasir keselamatan dengan cara instan lewat media sosial menjadi potret utama dalam film ini, bagaimana pergantian babak terus menegaskan bahwa keluarga tersebut sungguh tidak punya pilihan lain selain telepon genggam dan keadaan lingkungan yang semakin semeraut. Tapi acara dangdut, tak boleh putus. Bahkan potret-potret situasi antara tokoh-tokoh di dalam film menghadirkan drama berbeda yang seketika bisa saja kita lupa siapa tokoh utama dalam cerita. Serupa paradoks yang sengaja dibentur-benturkan, sehingga menjadi satu reaksi. Bagi sebagian orang mungkin saja berlebihan, tapi sebagian lagi merasa benar adanya. Misal, pada adegan sang anak menjadikan ibunya sebagai objek konten mandi lumpur. Untuk saat ini, mungkin kita tidak begitu kaget, tapi bila kita baca lagi bagaimana situasi menganggkangnya Indonesia di tahun lampau, konten mandi lumpur tentu saja sangat lumrah. Kalau harus berlebihan, film ini telah mengambil satu ruang pada momen di tahun-tahun murung tersebut sebagai sebuah alat, pengingat jaman.
Kemudian, apakah di tahun muka ia akan tetap dapat dicermati sebagai sebuah film yang memorable? Tentu saja ia. Film-film yang berangkat dari fenomena akan selalu singgah diingatan penonton. Paling tidak sebagai pengingat, bahwa pernah suatu tahun, hari-hari murung tak dilewati secara individu. Tetapi semua manusia. Semua orang merasakan kemurungan yang sama. Lompatan-lompatan yang tak menemukan tegangan narasi/sinematografi/deskripsi suasana namun ia seolah kait berkait, saling melengkapi sehingga membentuk alur cerita yang utuh, namun menyisakan tanda tanya. Waw.
Barangkali itu sebabnya film ini mendapatkan kritik sumbang dari beberapa sutradara film ibukota ketika ia menerima penghargaan dari Jakarta Independent Film Festival 2024 sebagai Best Indonesian Short Film. Sekilas, memang tampak biasa saja film ini. Film yang menceritakan berbagai fenomena ditengah surutnya aktivitas secara massal. Tapi, A Star Is F*king Born terus memberikan kejutan, tahun ini ia keluar sebagai pemenang Kinosuite Internasional kategori Best Actress In A Supporting Role (Amanda Gondowijoyo). Yang membuat saya harus memutar ulang film ini sebagai penegas asumsi bahwa film ini tak semata menyajikan bagian-bagian lain dari fenomena wabah pada masa itu. Memorable adalah kata yang tepat untuk menyudutkan film ini pada sebuah ruang, ruang yang jika mengingat tahun lampau itu, film ini akan langsung diputar ulang dalam ingatan. Sip.
===============
Judul: A Star Is F*king Born
Ethics Pictures
Produser: Vionah Fauziah
Director: Dhika Rizki Sandy
Cinematographer: Daffa Putra Friandi
Sound Designer: Zagari
Durasi: 22 Menit
Rilis: Juli 2023
Penulis: Dhika Rizki Sandy
Bintang: Afridho Azizi, Amanda Gondowijoyo, Dinda Hanarizky
Sinopsis:
Selepas bernyanyi di pentas dangdut, Alya dikejutkan dengan seorang debt collector yang menagih ibunya hutang sewaan rumah. Hal tersebut membuat keluarga alya pusing tujuh keliling. mereka harus berpikir cepat bagaimana mereka dapat menghasilkan uang yang banyak dalam waktu singkat. Suatu malam Alya kembali melihat akun tiktoknya, konten bernyanyinya tidak pernah naik lagi seperti biasanya. Lantas, alya memutar otak, ia mencari ide konten baru dengan membuat sebuah video mandi lumpur. Konten ia dan ibunya lalu viral dimana-mana. Alya dan ibunya meraup keuntungan yang tidak terhitung jumlahnya. Seketika sebuah stasiun televisi mendatangi rumah Alya, mereka berniat untuk mewawancara serta mengundang mereka sebagai tamu di salah satu program acara mereka. Namun, hal yang tidak diinginkan lalu terjadi, ibunya harus mendapatkan musibah, ia tertembak oleh Feri yang berprofesi sebagai MC Dangdut, kejadian itu membuat Alya yang sudah menerima banyak duit dan terkenal harus berduka karena kejadian sial yang dialami ibunya.
- Cakap Film – Coolie: Bapak-bapak Berbahaya Kita Kembali, Rajinikanth. - 20 September 2025
- Cakap Film – A Star Is F*king Born: Potret Dua Sisi dan Pengingat Zaman, Memorable atau Fenomena Belaka - 23 Agustus 2025
- Taklimat Peluncuran Pekan Nan Tumpah 2025: Seni Murni, Seni Terapan, Seni Terserah, Kalau Kamu Paham Semua Ini, Mungkin Kamu Salah Paham - 20 Agustus 2025
 
		     
					






Discussion about this post