• Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai
Kamis, Oktober 30, 2025
  • Login
  • Daftar
  • Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai
No Result
View All Result
Redaksi Marewai
No Result
View All Result

Cakap Film – A Star Is F*king Born: Potret Dua Sisi dan Pengingat Zaman, Memorable atau Fenomena Belaka

Arif P. Putra Oleh Arif P. Putra
23 Agustus 2025
in Cakap Film
1k 21
0
Home Cakap Film
BagikanBagikanBagikanBagikan

Sebagaimana kebanyakan film-film Indonesia, selalu dibuka dari suasana dan satu patahan peristiwa yang kemudian jadi rajutan penokohan. Film ini meski dibuka dengan tontonan glamour masyarakat kelas menengah ke bawah: dangdut (paling tidak itu yang singgah dalam benak masyarakat). Tapi masih saja seolah tak sampai. Penceritaan ataupun penggambaran situasi dengan sinematografi yang meriah, namun nampak tak sedang dalam suasana dangdutan. Entahlah, mungkin saja situasi yang dihadirkan sutradara memang dilatarbelakangi lokasi/setting tempat: Jakarta. Jika ditarik sedikit kebelakang, film ini memang kurang bersinggungan/relate dengan kehidupan di daerah luar Jakarta atau mungkin Pulau Jawa. Mungkin saja sutradara tidak sedang menayangkan bagian itu, bagian yang bisa dinikmati semua orang dimuka bumi. Ia sungguh ingin menghadirkan isu–potret kehidupan perkotaan (Jakarta) saat menghadapi wabah, masa-masa sulit perekonomian.

Dengan keadaan melarat alias terlilit utang, si ibu masih mampu merokok dengan rokok kelas menengah ke atas (esse). Di satu sisi, seolah melihatkan bagaimana gaya hidup masyarakat Indonesia: meski kehidupan tersumbat, gengsi harus paling utama. Di sisi lain, ini seolah luput dari detail yang ingin disajikan. Atau Dhika sebagai sutradara sengaja membenturkan kenyataan tersebut lewat detail-detail kecil yang cukup berpengaruh. Lalu menayangkan ironi-ironi lain dalam tragedi cerita. Film ini memotret satu per satu bagian dari kehidupan manusia mungkin (?) pada umumnya serupa: sesuatu yang instan. Walau film menggambarkan bagaimana keadaan sebuah keluarga pada masa covid, tentu saja film ini kadang nampak keluar masuk dari konsisten ke inkonsistensi. Kadang nampak buru-buru, kadang nampak luput dari kenyataan.

Anasir-anasir keselamatan dengan cara instan lewat media sosial menjadi potret utama dalam film ini, bagaimana pergantian babak terus menegaskan bahwa keluarga tersebut sungguh tidak punya pilihan lain selain telepon genggam dan keadaan lingkungan yang semakin semeraut. Tapi acara dangdut, tak boleh putus. Bahkan potret-potret situasi antara tokoh-tokoh di dalam film menghadirkan drama berbeda yang seketika bisa saja kita lupa siapa tokoh utama dalam cerita. Serupa paradoks yang sengaja dibentur-benturkan, sehingga menjadi satu reaksi. Bagi sebagian orang mungkin saja berlebihan, tapi sebagian lagi merasa benar adanya. Misal, pada adegan sang anak menjadikan ibunya sebagai objek konten mandi lumpur. Untuk saat ini, mungkin kita tidak begitu kaget, tapi bila kita baca lagi bagaimana situasi menganggkangnya Indonesia di tahun lampau, konten mandi lumpur tentu saja sangat lumrah. Kalau harus berlebihan, film ini telah mengambil satu ruang pada momen di tahun-tahun murung tersebut sebagai sebuah alat, pengingat jaman.

Kemudian, apakah di tahun muka ia akan tetap dapat dicermati sebagai sebuah film yang memorable? Tentu saja ia. Film-film yang berangkat dari fenomena akan selalu singgah diingatan penonton. Paling tidak sebagai pengingat, bahwa pernah suatu tahun, hari-hari murung tak dilewati secara individu. Tetapi semua manusia. Semua orang merasakan kemurungan yang sama. Lompatan-lompatan yang tak menemukan tegangan narasi/sinematografi/deskripsi suasana namun ia seolah kait berkait, saling melengkapi sehingga membentuk alur cerita yang utuh, namun menyisakan tanda tanya. Waw.

Barangkali itu sebabnya film ini mendapatkan kritik sumbang dari beberapa sutradara film ibukota ketika ia menerima penghargaan dari Jakarta Independent Film Festival 2024 sebagai Best Indonesian Short Film. Sekilas, memang tampak biasa saja film ini. Film yang menceritakan berbagai fenomena ditengah surutnya aktivitas secara massal. Tapi, A Star Is F*king Born terus memberikan kejutan, tahun ini ia keluar sebagai pemenang Kinosuite Internasional kategori Best Actress In A Supporting Role (Amanda Gondowijoyo). Yang membuat saya harus memutar ulang film ini sebagai penegas asumsi bahwa film ini tak semata menyajikan bagian-bagian lain dari fenomena wabah pada masa itu. Memorable adalah kata yang tepat untuk menyudutkan film ini pada sebuah ruang, ruang yang jika mengingat tahun lampau itu, film ini akan langsung diputar ulang dalam ingatan. Sip.

===============

Judul: A Star Is F*king Born

Ethics Pictures

Produser: Vionah Fauziah

Director: Dhika Rizki Sandy

Cinematographer: Daffa Putra Friandi

Sound Designer: Zagari

Durasi: 22 Menit

Rilis: Juli 2023

Penulis: Dhika Rizki Sandy

Bintang: Afridho Azizi, Amanda Gondowijoyo, Dinda Hanarizky

Sinopsis:

Selepas bernyanyi di pentas dangdut, Alya dikejutkan dengan seorang debt collector yang menagih ibunya hutang sewaan rumah. Hal tersebut membuat keluarga alya pusing tujuh keliling. mereka harus berpikir cepat bagaimana mereka dapat menghasilkan uang yang banyak dalam waktu singkat. Suatu malam Alya kembali melihat akun tiktoknya, konten bernyanyinya tidak pernah naik lagi seperti biasanya. Lantas, alya memutar otak, ia mencari ide konten baru dengan membuat sebuah video mandi lumpur. Konten ia dan ibunya lalu viral dimana-mana. Alya dan ibunya meraup keuntungan yang tidak terhitung jumlahnya. Seketika sebuah stasiun televisi mendatangi rumah Alya, mereka berniat untuk mewawancara serta mengundang mereka sebagai tamu di salah satu program acara mereka. Namun, hal yang tidak diinginkan lalu terjadi, ibunya harus mendapatkan musibah, ia tertembak oleh Feri yang berprofesi sebagai MC Dangdut, kejadian itu membuat Alya yang sudah menerima banyak duit dan terkenal harus berduka karena kejadian sial yang dialami ibunya.

  • About
  • Latest Posts
Arif P. Putra
ikuti saya
Arif P. Putra
Penulis at Media
Pengelola & penulis di kanal Marewai, menulis Rubrik Pelesiran dan Budaya. Kami juga melakukan riset independen seputar kearifan lokal di Minangkabau, terutama Pesisir Selatan. Selain mengisi kolom di Marewai.com, saya juga menulis puisi dan cerpen dibeberapa media daring dan cetak di Indonesia. Karya-karya saya sering menggabungkan kepekaan terhadap detail kehidupan sehari-hari dengan kedalaman emosional yang membuat pembaca terhubung dengan karakter dan cerita yang diciptakan. Saya juga menulis di rubrik Pelesiran website www.marewai.com
blog;pemikiranlokal.blogspot.com,
Arif P. Putra
ikuti saya
Latest posts by Arif P. Putra (see all)
  • Cakap Film – Coolie: Bapak-bapak Berbahaya Kita Kembali, Rajinikanth. - 20 September 2025
  • Cakap Film – A Star Is F*king Born: Potret Dua Sisi dan Pengingat Zaman, Memorable atau Fenomena Belaka - 23 Agustus 2025
  • Taklimat Peluncuran Pekan Nan Tumpah 2025: Seni Murni, Seni Terapan, Seni Terserah, Kalau Kamu Paham Semua Ini, Mungkin Kamu Salah Paham - 20 Agustus 2025
Tags: BudayaPelesiran

Related Posts

Cakap Film – Coolie: Bapak-bapak Berbahaya Kita Kembali, Rajinikanth.

Cakap Film – Coolie: Bapak-bapak Berbahaya Kita Kembali, Rajinikanth.

Oleh Arif P. Putra
20 September 2025

Entah apa yang membuatku menyukai aktor satu ini. Jika ditonton ulang pilem-pilemnya, rasanya tidak terlalu bagus juga. Selain banyak...

Cakap Film: Sinners – Malam Tragis dan Penebusan Dosa

Cakap Film: Sinners – Malam Tragis dan Penebusan Dosa

Oleh Arif P. Putra
9 Agustus 2025

Sinners adalah film horor Amerika tahun 2025 yang diproduksi, ditulis, dan disutradarai oleh Ryan Coogler. Berlatar tahun 1932 di Mississippi Delta, film ini dibintangi...

Cakap Film – Bougainvillea: Sandiwara Psikopat dan Percintaan yang Kelam

Cakap Film – Bougainvillea: Sandiwara Psikopat dan Percintaan yang Kelam

Oleh Arif P. Putra
19 Maret 2025

Bougainvillea adalah film thriller psikologis berbahasa Malayalam India tahun 2024 yang disutradarai oleh Amal Neerad, yang ikut menulis naskahnya...

Cakap Film – Membaca Sinema Menonton Sastra: Dancing Arabs | Nanda Winar Sagita

Cakap Film – Membaca Sinema Menonton Sastra: Dancing Arabs | Nanda Winar Sagita

Oleh Redaksi Marewai
24 Februari 2025

Nanda Winar Sagita DANCING ARABS ADALAH salah satu buku terlucu sekalis terpilu yang pernah kubaca; dan aku merasa berdosa...

Next Post
Hari Ketiga Pekan Nan Tumpah: Ragam Penampilan dan Keseruan Terus Berlanjut

Hari Ketiga Pekan Nan Tumpah: Ragam Penampilan dan Keseruan Terus Berlanjut

HARI KETIGA PEKAN NAN TUMPAH (PNT) 2025 USAI DAN SAMBUT HARI KEEMPAT

HARI KETIGA PEKAN NAN TUMPAH (PNT) 2025 USAI DAN SAMBUT HARI KEEMPAT

Discussion about this post

Redaksi Marewai

© 2024 Redaksi Marewai

Ruang-ruang

  • Budaya
  • Sastra
  • Punago Rimbun
  • Pelesiran
  • Carito

Ikuti kami

No Result
View All Result
  • Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai

© 2024 Redaksi Marewai

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In