
Perjalanan-perjalanan satu dekade terakhir yang saya lakukan kerap menemukan keajaiban-keajaiban, barangkali sebelumnya belum pernah terpikirkan. Bahkan, sebagian dari tempat tersebut baru saya ketahui setelah bepergian ke tempat tersebut. Semua perjalanan itu selalu dijembatani oleh orang-orang yang saya kenal setelah tamat kuliah tahun 2017. Semasa kuliah, hal serupa juga acap saya alami. Misalnya, tahun 2015 saya berkunjung ke rumah seorang kawan di Dharmasraya. Saya menginap di sana lima hari. Kunjungan itu beralasan pelarian asmara. Saya tidak pernah tau kapan bisa pergi ke sana jika hari itu tidak diajak si kawan. Hidup memang tak bisa ditebak, begitu juga perjalanan. Saya kira, pasca kuliah selesai, selesai pula perjalanan di Padang. Seluruh kawan seangkatan cabut dari Padang, sebagian lain tentu putus kontak. Hal yang amat lumrah di skena pertemanan kampus. Tak ada reuni, grup alumni, dan semacamnya yang dapat terhubung antar angkatan. Tapi mungkin karena saya tidak dalam sirkel itu.
Cerita-cerita yang datang setelahnya kadangkala membuatku tak habis pikir. “Bagaimana ceritanya saya bisa sampai ke tempat ini, momen ini, dan situasi begini”. Tentu saja runutan perjalanan tersebut dimulai oleh satu ruang yang mana saya dipertemukan oleh orang-orang satu misi, satu kesukaan, satu kurenah dan saling terkait; sejarah dan kultur.
Suatu tahun, tahun yang cerah. Tawaran dari seorang karib datang ingin mengajakku ke kampungnya: Muaro Paiti. Aku kaget dan bertanya banyak hal, karena kunjungan itu juga disertai agenda kepenulisan. Kegamangan itu muncul lantaran saya berpikir apakah anak-anak di sana punya minat menulis, paling tidak membaca. Tentu saja si Karib mengiyakan. Dia menambahkan, tak ada satupun akses buku bacaan di sana. Misal seperti TBM atau Pustaka umum. Muaro Paiti, Kec. Kapur IX, Kab. Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Nagari Muaro Paiti merupakan salah satu Nagari yang berada antara 7 Nagari yang ada di Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota Propinsi Sumatera Barat. Nagari Muaro Paiti adalah pusat pemerintahan Kecamatan Kapur IX yang mempunyai luas 9.536 Ha dengan jumlah KK sebanyak 1.698 KK dengan jumlah jiwa sebanyak 5.915 jiwa. (Data Juli 2023).

Karib bercerita banyak tentang nagarinya. Dari sekian banyak cerita yang ia sampaikan, aku tertarik dengan kondisi alam (sungai) di sana pada masa lampau yang menjadi akses satu-satunya pengangkutan barang keluar kampung. Transportasi itu diebut Kajang (sekarang segol). Kajang yang dimaksud bukanlah perahu Kajang yang sering kita lihat di media sosial. Kajang di Muaro Paiti adalah perahu dengan panjang 14-20 meter. Perahu ini di masa lampau menjadi transportasi angkutan barang satu-satunya. Bahkan, bisa memuat berton-ton barang dengan awak perahu 6-10 orang. Perahu yang dibuat penuh ketelatenan, bahan-bahan pilihan yang diambil dari alam. Detail dan pas.
Meski Muaro Paiti lebih dekat dengan Kampar, Riau. Karib itu tak menepis bahwa sejarah leluhur memang mengaitkan ia sebagai keturunan sahih Minangkabau, meski diberbagai ruang diskusi dua wilayah ini sering dibenturkan dengan sejarah-sejarah cocokologi. Tapi Karib itu bukanlah orang-orang yang memandang sentimen ke wilayah induk hanya karena mereka merasa tersisihkan. Tidak, ia berbesar hati dan sangat bijaksana soal sejarah leluhurnya. Buktinya perahu Kajang itu. Ia begitu berang kalau Kajang di Kuantan di samakan dengan Kajang di nagarinya. Kajang yang dibuat sebagai tradisi/ajang perlombaan itu jelas berbeda. Barangkali bisa juga disebut sebagai tradisi “seleb”. Gunanya untuk kepentingan kemeriahan, semacam pengingat begitu.
Nagari Muaro Paiti memiliki batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Rokan Hulu, Propinsi Riau, sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Koto Lamo, sebelah barat berbatasan dengan Nagari Koto Bangun, sebelah timur berbatasan dengan Nagari Lubuk Alai. Nagari Muaro Paiti memiliki 6 jorong yaitu; Jorong Kampung Baru, Jorong Kampung Duri, Jorong Kampung Dalam, Jorong Koto Tinggi, Jorong Kampung Talawi, Jorong Sungai Panjang.
Kedatangan itu membawa banyak pengalaman baru dalam hidup saya. Pertama kedatangan tahun 2021 sangat berkesan, begitu membekas rasanya dari sekian banyak perjalanan. Kami berangkat dengan jarak tempuh 8 jam dari Padang-Muaro Paiti. Selepas Payakumbuh, saya hanya tau Kelok 9. Itupun karena lagu kesukaanku Ely Kasim. Padahal yang ia sebut dalam liriknya adalah Kelok 44. Tapi lewat lagu itu saya mengetahui ternyata juga ada Kelok 9. Mengapa berkesan kedatangan pertama itu? Selain dapat bertemu murid-murid SMA 1 Kapur IX. Saya menemukan hal menarik lainnya, bahwa membaca dan kesukaan menulis memang tak dapat dilihat dari geladak kapal. Dua hal itu rupanya memang benar-benar kerja sepi, kerja yang hanya pelaku saja yang tau. Berbeda memang dibandingkan dengan kehidupan kota yang saban hari mudah saja kita temukan seseorang dengan buku di tangannya, atau pose bersama buku. Atau sedang berada di kafe dengan rak buku atau lainnya. Kebutuhan tersebut tak lain sebatas kebutuhan publik, narsistik ala-ala masyarakat urban agar terlihat literat. Mungkin saja.
Di Muaro Paiti, sebagaimana yang sudah diceritakan Karib tadi. Minat baca sangat minim di sana, apa lagi aktivitas kepenulisan. Benar saja, ketika berselancar di google, nyaris tak ada saya temukan penulis yang berasal dari sana. Mungkin ada, tapi tidak terpublikasikan/dokumentasi dengan baik. Namun nyatanya, setelah kelas Cerita Pendek dimulai, bacaan dan referensi mereka tak jauh beda dari anak-anak sekolah di kota Padang. Bahkan sedikit melebihi. Tentu saja jawabannya mudah, toh, buku sudah bisa dipesan lewat telepon genggam. Tetapi kesukaan mereka cukup menarik, sedikit dari mereka yang membaca buku populer. Lebih banyak bahan bacaan mereka buku lama, seperti Agatha Christie, J.K Rowling, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Marah Roesli. Buku bestseller seperti Boy Candra dan Tere Liye tentu saja masuk list bacaan sebagian dari mereka.
Saya tak pernah berpikir atau menulis Muaro Paiti dalam daftar nama tempat yang ingin sekali saya kunjungi. Saya juga tidak berpikir akan dibawa Karib ke perjalanan menakjubkan, Candi Muaro Takus. Sebab ketika ke Dharmasraya, saya nyaris tak mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Ditambah lagi, kami memilih jalur sungai menggunakan sampan segol. Perjalanan dari tepian sungai Lolo (batang peti) menempuh jarak 3 jam perjalanan untuk sampai ke Candi Muaro Takus. Situs penting dalam peradaban Buddha di Pulau Sumatera. Perjalanan yang sungguh menakjubkan. Sungai yang berdinding curam. Bebatuan serupa ngarai, lembah-lembah dengan kesiur burung. Sungai berdesir menjelma ingatan-ingatan masa lampau yang pernah diceritakan Karib. Jalur yang sulit ditebak, tak sanggup diterka. Tapi kemudi benar-benar ditangan yang tepat ketika itu. Ia melaju layaknya seorang sopir mobil lintas: sigap dan lihai. Kagum tentu saja, bebatuan mematung memandangi apa-apa yang menjajah air. Mungkin saja ia ingin bercerita, bagaimana kenangan menghantuinya, peristiwa yang mungkin saja ingin sekali ia ceritakan ke khalayak. Tapi ia hanya benda mati, tegak, rebah serupa jaman.
Muaro Paiti benar-benar memberi kesan aneh, serasa pernah mengunjunginya di kehidupan sebelumnya. Suasana perkampungan yang tak asing, aroma sesat di jalanan-jalan seakan aroma masa lalu. Ia tak dapat ditangkap ingatan, tapi dapat dirasakan. Hari-hari murung tanggal dan janggal kalau tak disimpan sebagai kenangan indah. Tapi Muaro Paiti menyimpan sunyi yang lain, jalan-jalan seakan dipenuhi sesak masa lampau dan berbenturan dengan masa sekarang. Ia seolah tertinggalkan, tapi orang-orangnya sungguh menetap-meski berperantauan jauh-pergi mirip merantau cino. Muaro Paiti adalah kejanggalan; jauh tapi ingin dikunjungi kembali.
Babak dua
Tahun ini, awal bulan Oktober, saya kembali mengunjungi Muaro Paiti. Kedatangan yang berbeda dan tujuan yang cukup menukik. Kami datang dengan formasi lengkap Serikat Budaya Marewai. Karib itu hendak membuat sebuah pilem dokumenter, pilem yang mengangkat sejarah Kajang pada masa lampau. Pilem yang kelak akan menjadi dokumentasi masyarakat Muaro Paiti, terutama Karib itu. Tak seperti perjalanan 2021, tahun ini kami pergi dua mobil dengan jumlah 9 orang. Entah apa yang membuat suasana perjalanan terasa sedikit biasa, tidak berdegup serupa kedatangan pertama. Meski rute yang akan kami kunjungi hampir sama. Namun, Candi Muaro Takus tak masuk dalam daftar kunjungan wajib.



Tentu berbeda, perjalanan kali ini tidak soal jalan-jalan belaka. Tetapi ada hal yang perlu, mungkin cukup penting. Mengingat project tersebut merupakan agenda pribadi Karib itu. Project yang ia terima sebagai sebuah fasilitas pemajuan kebudayaan. Meski tak sama dengan rute perjalanan sebelumnya, kedatangan tahun ini cukup membuat saya lega. Perjalanan 3 tahun lalu akhirnya bisa saya lengkapi tahun ini. Misalnya, mendatangi tempat-tempat legendaris, bertemu para tetua, mendengar cerita masyarakat Muaro Paiti dan tentu saja waktu tinggal yang saya rasa cukup. Sebagai bagian dari project Karib, saya berusaha tidak membebaninya dengan keinginan-keinginan diluar project yang sedang ia kerjakan. Walau beberapa tempat sudah saya catat di memo pribadi. Misalnya, Batu Basurek, Koto Lamo, Candi Muara Takus, Air Terjun Kayangan, Rumah Adat, Datuak Kaum, Adat dan Tradisi. Nama-nama di atas tentu saja saya dapat dari apa yang sering dibicarakan Karib ketika kami saling bertukar cerita soal kampung halaman.
Awalnya, saya benar-benar ingin meminta kepada ia untuk mengumpulkan kawan-kawan pegiat literasi/budaya di sana. Saya pikir, tidak mungkin tidak ada. Meski Karib berusaha meyakinkan saya bahwa hal tersebut benar tak kasat mata. Atau paling tidak kawan-kawan yang aktif di proses menulis kreatif. Bosan juga rasanya bila tinggal di sana 5 hari tanpa berjumpa dengan kawan-kawan pegiat di sana. Dan benar, hal itu tidak saya obrolkan dengan ia. Saya tau betul apa yang sedang ia eksekusi nampak serius. Walau kebanyakan bercandanya, tapi gagasan yang sedang ia kerjakan nampak betul dijalani sepenuh hati, penuh keiklasan. Dengan pendanaan yang serupa sudah “putus dipangkal”, saya kira tak bagus berkeinginan lebih saat kunjungan itu. Berbeda dengan tahun lampau saat kedatangan saya bertiga; saya dan seorang karib lagi.
Tapi, kedatangan tahun ini ke Muaro Paiti, malah menyisakan ingatan lain. Kerja-kerja pemerintah tentu saja tak usah kita catat, baik infrastruktur ataupun sejenisnya. Sudah basi sekiranya memandang suatu daerah dengan kaca mata ironi dan drama melankolis, yang seakan-akan wilayah tersebut diselimuti tragedi. Paling menarik saat berada di Muaro Paiti hari itu, rupanya di masa lalu, alur rental bacaan juga pernah eksis: rental komik. Sayangnya, perjumpaan tim dengan seorang tua itu tak dapat saya rasanya secara langsung. Saya hanya dikabarkan ketika mereka pulang dari perjumpaan. Sungguh, saya merasa janggal dan kesal. Mengapa kordinasi perjumpaan penting itu tak tercatat di memo perjalanan, bahkan banyak hal-hal yang muncul setelah sampai di sana alias rombak di tempat, katakanlah. Perasaan yang bercampur bosan tanpa arah itu sulit mencari pelampiasannya. Barangkali, ada hal yang agaknya luput dalam perencanaan perjalanan project, yaitu, efektivitas waktu dan efektivitas anggota. Saya merasa di antara tim, saya adalah orang yang paling tidak memberi sumbangsih dalam project; tak punya jobdesk, ditambah pula persiapan yang nampak siap, tapi tak eksekusi selalu revisi. Banyak hal yang saling berbenturan tak sesuai set awal. Dan tentu saja, dalam hal ini, selera dan referensi kami cukup kontras. Tapi, hal seperti ini tidaklah hal baru dalam perjalanan kami. Bahkan, sangat lumrah dan penuh pemakluman. Jadi, jangan berpikir saya kesal dan menyimpan ketidaknyamanannya berlarut. Ditambah lagi, Karib itu bukan orang sembarangan, dia tau betul memainkan perannya dalam berbagai situasi. Sudah terpegang sama dia lah pokoknya.

Kajang sebagaimana yang digambarkan dalam project Karib berupa video dokumenter itu adalah bagian lain dari keinginannya mengulang kembali banyak peristiwa bersejarah di kampungnya. Jika ia memaksakan kehendak menempuh jalur arsip-arsip lama secara tertulis ataupun benda sebagai upaya ia meneruskan warisan leluhur, agaknya sangat sulit. Diperparah timpangnya peran pemerintah dan kaum adat yang jika boleh bicara semena-mena, nampak berjarak bahkan terkesan berbelok dari garis sejarahnya. Tapi Kajang tidak begitu, ia menjelma dalam gambaran narasi Karib sebuah peradaban yang satu, artefak memori kolektif masyarakat yang takkan sanggup digerus “aura farming pacu jalur”. Perahu Kajang dalam peta peradaban Muaro Paiti menjelma ingatan-ingatan betapa perjuangan masyarakat di sana bertahan hidup dari hasil alam. Bagaimana pula periode-periode pertukaran tahun yang kadang terkesan sembrono; toke, pedagang, peladang, dan kelindan keterlambatan akses darat oleh pemerintah.
Memori kolektif itu juga diiringi bekas masa-masa gejolak. PRRI cukup lama bercokol sebagai ingatan masa lampau yang kelam, saking membekasnya, seorang perempuan tua yang berprofesi sebagai peladang masih ingat nyanyian tetuanya terdahulu, “tentara usah, tentara udin”.b Saya tidak tau banyak jaman itu, jika harus mengambil kesimpulan, nyaris dibanyak tempat yang saya kunjungi jika membahas periode tersebut hanya meninggalkan umpatan dan tragis.
Kajang adalah satu-satunya alat transportasi masyarakat saat itu. Periodenya (awal & akhir) kapan pastinya saya kurang menyimak. Bagian yang barangkali sangat penting sebagai informasi dalam project ini. Tak semata tentang kisah masa lalu dan memoles-moles lanskap alam sebagai narasi visual yang memanjakan mata.
Bagian lain dalam perjalanan ini menghadirkan banyak ingatan baru tentang bagaimana warisan leluhur. Bagaimana masyarakat yang tulus menjaga kampung, bagaimana orang-orang yang telah selesai dengan egonya. Kesederhanaan nampak jelas saat kami mengunjungi beberapa narasumber, bahkan ada yang menawarkan diri untuk memberikan ingatannya tentang Kajang. Kagum!

Project perahu Kajang yang ditawarkan Karib itu berjalan sangat lancar. Sangat sesuai perkiraan. Cukup menyenangkan dan meninggalkan kesan berbeda secara kerja kolektif-kerja bersama. Bila dipkir-pikir, tak janggal pula bila Karib ini kami hadiahi dengan gelar “kulifah”. Bagaimana tidak, ia sanggup memadamkan bara dalam diri, ketawadhuan beliau patut dijadikan cerminan kerja-kerja kreatif kebudayaan bangsa ini. Kajang yang dulunya hanya dianggap sebatas ingatan, dapat kembali dihargai masyarakat sebagai tinggalan peradaban mereka. Penjelasan yang dihadirkan juga beragam, tak melulu soal transportasi perdagangan, lebih dari itu ia mengungkap banyak tabir yang selama ini diselimuti ketidakpastian. Ia menghadirkan opsi lain untuk masyarakatnya mengenal lebih banyak warisan leluhur. Serupa Kajang, ia tenang dalam riang sungai-sungai. Pelan, namun pasti. Diam membelah sungai membawa ber-ton kehidupan. Barangkali, dari sanalah sifat bijaksana Karib saya itu turun. Perahu Kajang adalah penanda bahwa peradaban berubah nyata adanya. Tahun-tahun lampau adalah bagian dari perjalanan satu daerah, pengingat untuk masa depan. Tetapi begitulah manusia, kadang apa yang telah terjadi di masa lampau, masih terus berulang di masa depan: ironi dan tragedi. Waw.
Setelahnya, betapa tidak sabarnya saya menunggu hasil project Karib ini. Betapa ikut senangnya saya ketika perjalanan itu selesai dengan baik dan khidmat. Tanpa mengurangi apapun, perjalanan kedua itu memberikan pengalaman personal yang mendalam. Kampung-kampung menatap, jalan-jalan dengan aroma hutan menguap serupa ingin menambahkan ingatan kolektif tentang Kajang. Sungai yang berisik, bebatuan yang pendiam menjelma ingatan-ingatan tentang Kajang. Betapa mereka menyaksikan banyak peristiwa penting masa itu. Di susuran sungai Batang Kapur dan Kampar, dermaga-dermaga kecil membisu memandangi decit sampan. Hutan yang setengah colak nampak buru-buru menyuburi rambut dengan gambir, petani memendam harap yang entah. Wajah kegagalan tanggal di jalan-jalan seketika mendengar suara tawa kanak, suara muazin dan keyakinan keteguhan hidup. Muaro Paiti mungkin tak familiar bagi orang Sumatra Barat, tapi Muaro Paiti bukanlah daerah medioker dalam peta peradaban Sumatra Barat. Ngeri.
Di siang yang mendung, kami meninggalkan Muaro Paiti penuh haru-biru. Tuan rumah yang amat baik, sudah serupa pulang ke rumah sendiri saja. Kenalan yang bersetia membersamai sampai akhir, serta segala kelindan yang belum selesai di Mauro Paiti. Kemudian matahari pudur, rinai tiba tak karuan, hujan entah dipanggil siapa melengkapi keberangkatan kami ke Padang. Seakan menegaskan ketepatan tafsir alam dari seorang Karib saya. Kemudian hujan bersipacu, dingin menyelinap, kaca-kaca menyimpan embun serupa linang mata Karib ketika hendak meninggalkan rumah. Dalam hening, aku mulai berpikir suatu hal, mungkin sesuatu yang sangat tepat saat itu untuk disampaikan pada juru mudi dan Karib, kataku, efek antimo sudah bekerja, Assalamu’alaikum.
- Muaro Paiti: Babak Kedua dan Memulun Ingatan Kolektif – Arif Purnama Putra - 1 November 2025
- Cakap Film – Coolie: Bapak-bapak Berbahaya Kita Kembali, Rajinikanth. - 20 September 2025
- Cakap Film – A Star Is F*king Born: Potret Dua Sisi dan Pengingat Zaman, Memorable atau Fenomena Belaka - 23 Agustus 2025




Discussion about this post