
Judul Buku : SANG ULAMA PENGGERAK (NOVEL BIOGRAFI SYEKH IBRAHIM MUSA)
Penulis : KHAIRUL JASMI
Penerbit : Republika Penerbit
Cetakan : Cetakan 1, Agustus 2022
Tebal : xii + 184 halaman ; 15 x 23 Cm
“Lalu, kenapa ulama kita ini meneteskan air mata? Ia merasa tanggung jawabnya sebagai ulama belum selesai. Jika tak ada yang melanjutkan dakwahnya sebagai ulama, ia risau akan tanah Minangkabau, yang remuk oleh perang, asyik dengan sabung ayam, guna-guna, yang intinya jauh dari Surau. Ketika ia berdo’a kepada tuhan agar tanah tumpah darahnya ditolong, ketika itulah petir menyambar dan gerimis berhenti. Banyak hal serba kebetulan di dunia, apalagi malam. Kerisauan yang sama bukan hanya milik Inyiak Musa (Ayah Luthan), tetapi juga milik hampir semua ulama sisa Perang Paderi di Minangkabau. Luka paling dalam di negeri ini belum sembuh. Rantai dan jaringan ulama nagari-nagari yang putus, kini sedang dijalin kembali. Para ulama tradisional sarungan itu membangun Surau didekat sumber mata air atau lokasi yang ekonominya tumbuh. Surau pertama di Minangkabu berada di Ulakan Pariaman kemudian disusul oleh Surau Batu Hampa… (Halaman 4)
Buku ini merupakan novel biografi tokoh Minangkabau ketiga yang disusun oleh Ayah KaJe (Khairul Jasmi), tentu pekerjaan ini tidaklah mudah. Jalan yang mesti ditempuh pastinya dengan mencari data-data yang penting, membaca berbagai macam referensi, membuka situs-situs di internet, sampai mewawancarai orang berkali-kali guna mencocokkan informasi yang telah didapat. Seperti buku yang telah beliau terbitkan sebelumnya, buku ini dikemas dengan begitu apik oleh sang Wartawan dan Sastrawan Minangkabau ini. Banyak hal menarik seputar kisah yang terjadi Kota Fort de Kock yang kelak nama resminya pada administrasi pemerintah berubah menjadi Bukittinggi (sebagian lain menyebut kota ini dengan nama “Gaduang” sebab gedung banyak disini). Kisah Sejarah ini tentu tidak lepas dengan peran beberapa tokoh, termasuk yang mengambil peran dalam peradaban sejarah ini ialah Syekh Ibrahim Musa pendiri Sumatera Thawalib Parabek.
“Parak Ubek”
Luthan, sebutan nama kecil Syekh Ibrahim Musa pemberian sang ayah Syekh Muhammad Musa bin Abdul Malik al-Qartawy dan sang ibu Maryam Ureh. Luthan kecil lahir di Parabek konon katanya disana banyak “Parak Ubek” dari turunan inilah muncul nama daerah Parabek. Sebagai anak ulama, Luthan kecil telah mempunyai fondasi keilmuan yang memadai dengan belajar langsung dengan ayah, pada masa itu Luthan juga berasal dari keluarga yang berada. Disaat usia 13 tahun ketika beranjak menjadi bujang tanggung, beliau diantar sang ayah berguru ke berbagai ulama. Konon, setidaknya sejak 1780 surau-surau telah semarak oleh pengajian hukum islam. Negeri pertama yang ia kunjungi ialah Nagari Pakandangan Pariaman, Luthan belajar bersama Tuanku Mato Aie (Muhammad Aminullah bin Abdullah) beliau penemu titik sumber minyak sewaktu beliau menimba ilmu di Mekkah Negara Saudi Arabia. “Al kalamu huwa lafdzul murakkabul muiedzu bil wad’i” kata guru bantu, disana Luthan remaja belajar Ilmu Nahwu dan Sharaf, tetapi juga diajari silat dan adat istiadat. Selang beberapa tahun beliau belajar ke Batu Taba Tanah Datar dengan Angku Angin (Syekh Abdul Karim) dinamakan Angku Angin sebab bacaan Al-Qur’an dan Kitab-kitab bagaikan angin lalu saja, saking fasihnya, Angku Angin adalah seorang ulama ahli Fiqih dan Tafsir. Luthan dititipkan kepada ulama tepi danau ini dan diterima bak anak sendiri dengan senang hati. Perjalanan pencarian ilmu selanjutnya sampai ke didikan Syekh Abbas Ladang Laweh, seorang ulama kharismatik yang di angkat oleh pemerintahan Belanda menjadi seorang “Qadhi” guna menyelesaikan banyak hal waktu itu, kemudian namanya dikenal menjadi Syekh Qadhi Ladang Laweh (pendiri Arabiah School tahun 1918). Setelah belajar dengan Syekh Abbas Luthan belajar ke Sungai Landia bersama Syekh Jalaludin Al-Kasai, beliau ahli dalam Qira’ah, waktu itu umur Luthan belum mencapai 20 tahun. Sekitar setahun kemudian, Luthan berangkat ke Talago di Lima Puluh Kota belajar dengan Syekh Abdul Hamid sekitar 2 tahun.
Pada tahun 1901 Luthan bersama Abdul Malik diantar ke Pelabuhan Ratu Emma Haven yang sekarang berubah nama menjadi Pelabuhan Taluak Bayua. Beliau pergi ke jantung dunia islam ini untuk berangkat haji dan menetap beberapa tahun guna menimba ilmu kepada ulama-ulama disana. Di Mekkah ia belajar kebanyak guru selain Ahmad Khatib al Minangkabawi, guru lainnya ialah Inyiak Jamil Jambek (yang sudah lama bermukim di Mekkah), Syech Jusuf al Hayyat, Syekh Ali ibnu Hasan, Syekh Mukhtar aj Jawi dan masih banyak lagi. Sepulang dari Mekkah, banyak pinangan yang datang kepada “Ibrahim Musa”, kini namanya telah berganti. Dari banyak pinangan yang datang, maka pilihan keluarga Ibrahim Musa jatuh kepada Syarifah Ghanie, anak Haji Abdul Ghanie seorang saudagar terkemuka di Sumtra’s Westkust. Kelak nanti beliau bersama sang istri dan buah hati tercinta Muhammad Taher, dibawa ke Mekkah untuk Naik Haji kembali. Selama di Parabek, Syech Ibrahim Musa atau Buya Parabek mendirikan Masjid jami’ bersama Jama’ah. Kelak sejarah besar akan dimulai dari desa ini, beliau memulai pendidikan dari desa ini dengan sistem “Kullu syai’in istidaara” artinya duduk melingkar dengan lutut saling bersentuhan, dengan titik sentral seorang guru (Halaqah), dikemudian hari berubah menjadi sistem klasikal yaitu adanya kelas, bangku dan papan tulis.
“Mujua Sapanjang Hari, Malang Sakijok Mato”
Gempa mengguncang Minangkabau yang berpusat di Padang Panjang pada Senin, 28 Juni 1926, gempa tektonik itu berkekuatan 6,5 SR dan 6,7 SR, korban meninggal akibat gempa itu lebih dari 354 orang, ribuan rumah roboh dan rusak berat diberbagai wilayah Mianngkabau, tak terkecuali Masjid Jami’ Parabek ikut tersungkur. Ujian Syech Ibrahim Musa tidak sampai disini, Ahad, 17 Oktober 2937 sekolah Parabek dilahap si jago merah. Pada tahun itu pula Thawalib terbakar terjadi lagi, kali ini asrama puteri yang bertingkat dua hangus menjadi abu.
“Jauah Bajalan Banyak Diliek, Lamo hiduik banyak diraso
Sejak kelahiran beliau 15 Agustus 1884 sampai 25 Juli 1963 terhitung 79 tahun beliau hidup, kini Buya Parabek telah menyelesaikan tugas sebagai hamba Allah. Sejak usia 13 tahun, Buya Parabek menghabiskan hari untuk mengejar ilmu, lalu menyumbangkannya untuk kemajuan islam di Minangkabau. Beliau menutup usia pada 79 tahun, kemudian disusul oleh istri beliau Syarifah Ghanie pada tahun 1974. Warisan Buya Parabek berupa kitab diantaranya : (1) Hidayatus Shibyan ila Risalah Syekh Syuyukhuna Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (Kitab tentang Syarah atau komentar untuk kitab Sayyid Ahmad Zaidi Dahlan, (2) Ijbatus Suul fi Syarh Husulul Ma’mul (Kitab tentang Ushul Fiqih), (3) Al-Hidayah (kitab tentang Ilmu Tauhid berbingkai Ahlussunnah Wal Jama’ah dan berbahasa Minang) dan (4) Hidayah al Shibyan (Kitab tentang Ilmu Balaghah). Selain warisan kitab, Buya Parabek juga menulis dalam majalah Al-Munir yang terbit di Padang 1911. Beliau juga aktif menulis di Al Bajan majalah yang hadir di Sumatera Thawalib pada 1919 waktu itu. Banyak peristiwa yang sudah beliau lalui, bersama para ulama lainnya seperti Inyiak Canduang dan Inyiak Rasul, mereka bahu membahu menyebarkan syiar kebaikan demi kemashlahatan umat.
Pesan Buya Ibrahim Musa, untuk anak didiknya :
“Inyiak tidak mau kalian asal berfatwa saja. Neraka tantangannya”
–Syech Ibrahim Musa-
Penulis, Elvi Nasriandani, berasal dari Nagari Magek Kabupaten Agam (Sumatera Barat)
Media Sosial : elvi_nasriandani99 (Instagram)
Discussion about this post