
sastrawan dan penikmat perjalanan, tinggal di Yogyakarta
TAK sebagaimana umumnya pantai di Indonesia dengan rayuan pohon kelapa atau nyiur melambai, pantai di sepanjang Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), tampil beda. Pantainya dipenuhi pohon lontar (borassus flabellifer) dengan angin menderu santer. Bikin sensasi pada mata dan telinga.
Tempat paling rapat ditumbuhi pohon lontar adalah Pantai Oesapa. Saya ke sana bersama seorang kawan, Ragil Sukriwul, tahun lalu, berkendara motor dari Oebobo dekat pusat kota. Matahari sedang lurus di atas kepala. Kupang yang berjuluk Kota Karang memang terkenal panas, namun malam hari cuacanya berubah sejuk dan nyaman. Ibarat tanahnya yang tandus, tapi begitu hujan turun sedikit saja, semua cepat berubah hijau. Begitulah alam mengatur siklusnya.
Seperti pohon lontar yang tahan tumbuh di tanah gersang, dan memberi begitu banyak manfaat bagi manusia. Niranya diolah jadi minuman, sebagian dijadikan gula caramel dengan sejumlah varian. Daunnya buat atap rumah dan bahan anyaman. Struktur utama alat musik tradisional sasando yang unik, dan tii langga, topi koboi ala Rote yang khas, terbuat dari daun lontar pilihan. Orang Timor biasa menyebut lontar sebagai pohon kehidupan, dan dengan makna yang sama, di Rote ia disebut pohon tua dan di Sabu Raijua dinamakan kapuwe duwe.

Perihal angin menderu santer memang telah menjadi karakter alam Timor. Saya ingat, saat pesawat akan mendarat di Bandara El-Tari, dorongan angin menggoyang bahkan menghempas badan pesawat. Tapi orang-orang tak ambil pusing, karena sudah biasa. Saya pun mencoba-coba membiasakan diri, bersikap tak peduli, dengan cara menikmati keindahan Kupang dari jendela pesawat. Tampak tanah sabana berwarna coklat tua kekuningan terbentang luas. Pohonan asam dengan bayang-bayang rindang, dan pohon lontar berderet di tepi jurang. Gereja-gereja besar dengan menara dan tanda salib, memancarkan nuansa spiritual yang karib.
Kini saya menyusuri jalanan yang sebagian saya lihat dari atas pesawat kemarin. Termasuk jembatan Petuk yang memanjang melintasi ngarai dan sungai mati seperti bekas jalan lahar. Ragil sengaja membawa saya memutar ke sana, naik perbukitan, untuk akhirnya turun ke arah Pantai Oesapa, disambut deretan pohonan lontar.
Sebagaimana saya sebutkan di awal, tak seperti pohon kelapa yang daunnya bergerak gemulai, daunan lontar relatif tenang ditiup angin. Daunnya lebat mengembang. Pohon lontar juga lebih tinggi dan lebih besar daripada pohon kelapa. Apalagi bekas pangkal pelepah daunnya tetap lengket di pohon yang mempertebal kulit batang.
Saya menyentuh dan memeluk pohon kehidupan yang tegak bak raksasa bersahabat itu. Tentu saya tak asing dengan pohon lontar. Di Madura ia disebut siwalan, sebagaimana banyak digubah penyair D. Zawawi Imron dalam sajaknya. Atau saya jumpai di ujung timur dan barat Pulau Bali yang daunnya dulu ditatah sang kawi dan menjadi korpus karya klasik Bali Kuna. Di Bangunjiwo, Bantul, tempat saya tinggal, terdapat beberapa pohon lontar yang tumbuh di kuburan dan halaman sebuah gudang.
Namun perjumpaan saya dengan pohon lontar di Teluk Kupang terasa lain. Jumlahnya begitu banyak, seolah sengaja ditanam. Padahal lontar sejenis palem liar yang bisa berusia lebih 100 tahun. Sungguh menakjubkan!
Saat menikmati keteduhan pohon ajaib itu, saya lihat ada bungbung bambu tergantung di antara pelepahnya. Pastilah itu milik penyadap setempat. Mereka mulai menyadap pagi-pagi dan mengambilnya nanti selepas siang. Bungbung bambu itu akan terisi air nira yang mengalir dari tandan mayang yang sengaja dipotong. Air nira bisa langsung diminum, di Jawa disebut legend, dan di Kupang disebut tuak manis. Dalam bahasa Rote dialek Dengka, lazim disebut tua hisi.

Ragil cerita, dari nira atau tuak manis inilah produk turunan dihasilkan, seperti gula caramel: gula air (tua nasu), gula lempeng (tua batu) dan gula semut. Ini varian gula caramel yang dikristalisasi. Tak kalah terkenal tentu saja nira yang difermentasi menjadi sejumlah minuman beralkohol, seperti tuak di Tuban atau Bali. Kadar alkoholnya setara bir.
Di Pulau Rote dan sebagian daratan Timor, “bir lokal” ini dinamai laru. Laru didestilasi lagi menjadi sopi, moke atau arak. Di Sumba biasa disebut peci. Begitu penjelasan Ragil. Yang jelas, Minuman ini cocok buat menghangatkan badan di malam-malam sejuk kota Kupang.
***
LAUT Pantai Oesapa tak berombak, deru angin hanya menimbulkan riak. Itu lantaran lautnya berada dalam kawasan Teluk Kupang berpagar bukit-bukit karang sehingga gelora Laut Sawu tak ikut masuk mengguncangnya. Karena itu, pantai-pantai di sepanjang Teluk Kupang terbentang tenang. Mulai Pantai Pasir Panjang di bagian barat, Pantai Kelapa Lima dekat pusat kota, Pantai Oesapa dan Batu Nona di bagian tengah, hingga Lasiana dan entah pantai apalagi di bagian timur.
Discussion about this post