• Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai
Rabu, Oktober 15, 2025
  • Login
  • Daftar
  • Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai
No Result
View All Result
Redaksi Marewai
No Result
View All Result

Cerpen: Sales Event Organik (E.O) – Rori Aroka

Rori Aroka Oleh Rori Aroka
3 Oktober 2025
in Sastra, Cerpen
1k 10
0
Home Sastra
BagikanBagikanBagikanBagikan

Di ujung sebuah kota kecil, berdirilah sebuah toko pupuk bernama Event Organik (E.O). Namanya terdengar gagah, seolah-olah perusahaan itu penyelenggara konser musik atau seminar besar. Padahal, kenyataannya sederhana saja. Rak-rak toko dipenuhi karung pupuk organik, sekop, dan ember plastik. Pemilik toko itu, Pak Darto, seorang lulusan ekonomi pertanian, terkenal kaku dan berpegang teguh pada teori. Baginya, menjual pupuk adalah urusan yang jelas sasarannya: petani, kios tani, atau kelompok tani. Semua sudah tertulis rapi di buku kuliahnya dulu. “Kalau sudah ada rumusnya, untuk apa mencari yang aneh-aneh?” begitu semboyannya.

Namun, di toko itu ada seorang pegawai yang membuat kepala Pak Darto sering pening: Jaka, tenaga pemasaran dengan cara kerja yang tak lazim. Secara resmi, tugasnya sederhana—menjual pupuk. Tetapi Jaka justru berkeliling ke tempat-tempat yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pertanian. Suatu pagi, Jaka muncul di sebuah bengkel motor. Para montir sedang sibuk membongkar karburator, sementara ia berdiri tegak sambil mengacungkan brosur berwarna hijau.

“Coba bayangkan, Mas,” katanya penuh keyakinan. “Bengkel ini bukan hanya membuat motor kembali sehat, tetapi juga bisa membuat tanaman lebih sehat. Kalau motor dapat melaju di jalan, cabai pun dapat tumbuh subur di ladang. Semua berkat pupuk Event Organik.”

Para montir tertegun sejenak. Lalu mereka serempak tertawa. Seorang di antaranya menepuk bahu Jaka dan berseloroh, “Mas, ini bengkel, bukan sawah!”

Siang harinya, Jaka singgah di warung nasi padang yang baru membuka tirainya. Pelanggan mulai memilih lauk, sementara pemilik warung sibuk menata piring. Jaka dengan santainya menyodorkan brosur.

“Bu, sambal di sini tentu pedas karena cabainya ditanam di tanah yang baik. Kalau ingin rasa sambal lebih tajam, gunakan pupuk Event Organik. Dijamin, cabainya lebih merah dan lebih menggigit.” Pemilik warung terdiam. Seorang pelanggan di meja sebelah hampir tersedak rendang karena menahan tawa.

Belum puas, Jaka melangkah ke toko kelontong di pinggir jalan. Ia menatap rak berisi kopi dan mi instan, lalu berkata lantang,

“bayangkan, Bu. Toko Ibu akan menjadi tempat serba ada. Dari kebutuhan dapur hingga pupuk untuk kebun, semua tersedia. Inilah yang disebut diversifikasi produk.” Pemilik toko menggaruk kepala, tidak tahu apakah harus menertawakan atau mengusir.

Jaka tahu betul tindakannya tidak masuk akal. Ia bukannya bodoh. Justru ia sengaja melawan aturan main. Menurutnya, bila semua orang hanya mengikuti teori lama, dunia akan terasa membosankan. Ia ingin membuktikan bahwa ide liar, seaneh apa pun, kadang mampu membuka jalan baru. Sayangnya, bagi Pak Darto, tingkah Jaka bukanlah ide liar, melainkan sumber sakit kepala yang tak kunjung sembuh.

Beberapa bulan terakhir, penjualan pupuk Event Organik memang menurun. Para petani lebih banyak membeli di kios besar yang menawarkan harga lebih murah. Pak Darto semakin gusar. Ia menghabiskan waktu berjam-jam menatap laporan keuangan, sambil menghela napas panjang.

“Pupuk kita makin tidak laku,” gerutunya suatu sore.

“Sementara engkau, Jaka, malah sibuk menawarkan pupuk ke rumah makan, ke toko kelontong, bahkan ke bengkel. Apa kau tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya?” Jaka tidak gentar. Ia justru semakin giat dengan cara-cara nyeleneh.

Beberapa hari kemudian, ia terlihat di sebuah salon kecantikan. Aroma krim rambut bercampur suara pengering rambut, sementara Jaka berdiri dengan penuh percaya diri.

“Ibu-ibu, pupuk ini bukan hanya untuk tanah. Bayangkan bila bunga di halaman rumah tumbuh lebat, salon ini akan tampak semakin indah. Pelanggan datang bukan hanya untuk menata rambut, tetapi juga menikmati taman yang subur.”

Para pelanggan salon menahan tawa. Seorang pegawai salon berbisik lirih, “Ini orang sungguh-sungguh atau sedang melucu?”

Keesokan harinya, Jaka mendatangi sebuah warung internet. Di dalam, remaja sibuk menatap layar, bermain gim. Jaka berbicara lantang kepada pemilik warnet,

“Bayangkan, Pak. Anak-anak ini bermain di depan komputer, tetapi di luar jendela mereka melihat tanaman hijau yang segar. Suasana warnet jadi lebih sehat. Itu nilai tambah. Semua berkat pupuk Event Organik.” Pemilik warnet menatap kosong, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Kabar tingkah Jaka akhirnya sampai ke telinga Pak Darto. Amarahnya memuncak.

“Cukup, Jaka! Kau mempermalukan toko ini. Tidak ada petani yang akan percaya pada pupuk kita bila kau terus berbuat ngawur. Jika berlanjut, lebih baik kau berhenti bekerja di sini!”

Ancaman itu menggantung. Suasana toko menjadi tegang. Namun, dalam hati Jaka menyimpan tekad. Ia tidak ingin mundur.

Suatu hari aku harus membuktikan, ide liar bukan sekadar permainan. Akan kubuat Pak Darto sendiri mengakui kebenarannya, demikian batinnya.

Beberapa hari berselang, kesempatan itu datang. Di kampung sebelah diadakan lomba makan kerupuk tujuh belasan. Keramaian tenda, suara musik dangdut, dan tawa anak-anak menjadi latar yang sempurna bagi aksinya. Tanpa diminta siapa pun, Jaka maju ke tengah lapangan membawa karung pupuk. Ia meminjam pengeras suara dari panitia dan berseru lantang,

“Saudara-saudara! Kalau kerupuk ini enak dimakan, itu karena singkongnya sehat. Dan singkong bisa sehat karena tanahnya subur. Tanah subur tentu berkat pupuk terbaik: Event Organik!”

Orang-orang tertawa terbahak. Banyak yang mengira itu bagian dari hiburan lomba. Beberapa anak kecil bahkan ikut bersorak, “Hidup pupuk! Hidup pupuk!”

Namun, di antara kerumunan itu, hadir seorang tamu tak terduga: pemilik sebuah restoran organik terkenal di kota. Ia datang karena anaknya ikut lomba. Mendengar orasi Jaka, ia justru tertarik. Seusai acara, ia menghampiri dengan wajah serius.

“Saudara, pupuk yang Anda tawarkan tadi… apakah benar organik? Saya sedang mencari pemasok untuk kebun sayur restoran saya.”

Jaka hampir tidak percaya. Dengan cepat ia mengeluarkan brosur dan menjelaskan keunggulan produk. Ternyata, justru dari aksi nekat itu ia berhasil mendapatkan pesanan dalam jumlah besar.

Pada saat yang sama, Pak Darto yang datang untuk memergoki Jaka tertegun. Niatnya memarahi Jaka di depan umum berubah menjadi kebingungan. Ia menyaksikan sendiri bagaimana tawaran absurd itu mendatangkan peluang nyata. Wajah Pak Darto memerah. Ia ingin marah, tetapi tidak bisa menyangkal fakta: ada pelanggan baru, dan nilainya cukup besar.

Keesokan harinya, di toko, Jaka meletakkan kartu nama pemilik restoran beserta catatan pesanan di meja.

“Bukan badut pasar, Pak,” katanya tenang.

“Justru dari acara kemarin kita mendapat pelanggan baru. Mereka pesan pupuk rutin untuk kebun sayur. Nilainya tidak kecil.”

Pak Darto membaca catatan itu berulang kali, masih tak percaya.

“Bagaimana mungkin… dari lomba makan kerupuk bisa lahir kontrak sebesar ini?”

“Begitulah, Pak. Kadang ide yang dianggap konyol justru membuka pintu yang tidak terpikirkan. Teori ekonomi memang penting, tetapi kreativitas dan keberanian sering kali melampaui batas.”

Pak Darto terdiam lama. Lalu ia menghela napas panjang.

“Baiklah, Jaka. Kali ini aku akui, idemu berhasil. Mulai sekarang, kau boleh berkreasi, tetapi dengan satu syarat: jangan membuatku jantungan setiap minggu.”

Jaka tersenyum lebar. “Siap, Pak. Saya janji… meski tidak bisa berjanji sepenuhnya.”

Pak Darto menutup wajahnya dengan kedua tangan, antara pasrah dan geli.

Beberapa hari kemudian, suasana toko Event Organik lebih hidup. Karung pupuk tertata rapi, brosur baru tercetak, dan untuk pertama kalinya Pak Darto terlihat lebih tenang. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Dari balik jendela, ia melihat Jaka berjalan keluar membawa gerobak kecil berisi pupuk.

“Ke mana lagi dia?” desisnya.

Ia mengintip. Ternyata Jaka berhenti di depan studio foto. Dengan penuh semangat, ia berbicara kepada pemilik studio yang sedang menyapu halaman.

“Pak, studio ini akan lebih indah bila di halaman ada tanaman hijau. Bayangkan pasangan yang foto prewedding dengan pohon rindang di belakangnya. Lebih romantis, bukan? Nah, pupuk Event Organik akan memastikan pohon itu tidak layu di hari pernikahan mereka.”

Pemilik studio menutup mulut menahan tawa. Sementara di seberang jalan, Pak Darto hanya bisa mengusap wajah.

“Ya Tuhan,” gumamnya lirih. “Sepertinya aku memang harus siap hidup dengan ide-ide gila orang ini.”

Jaka menoleh, melambaikan tangan dengan senyum penuh percaya diri. Ia tahu, dunia butuh orang yang berani mencoba hal-hal tak masuk akal. Karena kadang, justru dari situlah peluang besar lahir. Dan di toko pupuk Event Organik, ide liar tidak pernah benar-benar dianggap selesai.

  • About
  • Latest Posts
Rori Aroka
ikuti saya
Rori Aroka
Redaksi Marewai at Media
Rori Aroka, lahir di Muaro Paiti, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Menulis puisi, cerpen, naskah teater, dan skenario film. Tulisan-tulisannya telah terbit di berbagai media cetak dan online, baik lokal maupun nasional. Buku kumpulan puisi perdananya berjudul Nyanyian Pupang, diterbitkan oleh Purata Utama pada tahun 2021. Kini aktif berkegiatan di Serikat Budaya Marewai dan mengelola situs budaya dan sastra www.marewai.com. Dapat dijumpai di Instagram: @roriaroka, dan Facebook: Rori Aroka Roesdji. Saat ini berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat.
Rori Aroka
ikuti saya
Latest posts by Rori Aroka (see all)
  • Cerpen: Sales Event Organik (E.O) – Rori Aroka - 3 Oktober 2025
  • Cerpen | Matinya Tukang Keripik – Rori Aroka - 29 Agustus 2025
  • Carito Yuang Sewai: BADUTO KA BADAN SURANG, BADOSO TU? - 25 September 2024
Tags: Cerpen

Related Posts

Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra – Narasi untuk Ibu

Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra – Narasi untuk Ibu

Oleh Redaksi Marewai
5 Oktober 2025

Mencari Jalan Mendaki ;untuk kerajaan Jambu Lipo di jalan tanah berlubang ini telah  kita susuri jejak-jejak kaki kuda lenguh...

Puisi: M.Z Billal – Pertanyaan yang Dilarang Dipertanyakan

Puisi: M.Z Billal – Pertanyaan yang Dilarang Dipertanyakan

Oleh Redaksi Marewai
30 September 2025

PERTANYAAN YANG DILARANG DIPERTANYAKAN apakah gerangan yang terjadi jika nanti pertemuan ini telah mencapai batas penghabisan?             ; tolong,...

Cerpen: Putri Oktaviani – Resep Penghianatan

Cerpen: Putri Oktaviani – Resep Penghianatan

Oleh Redaksi Marewai
24 September 2025

Irisan wortel yang merupakan sayuran kesukaanku dicampur dengan irisan kentang kesukaan suamiku, dengan tambahan brokoli yang mungkin akan menjadi...

Puisi-puisi| Resiliensi – Zikri Amanda Hidayat

Puisi-puisi| Resiliensi – Zikri Amanda Hidayat

Oleh Redaksi Marewai
15 September 2025

Alir Sungai Tanpa Senja Oleh : Zikri Amanda Hidayat Bunga bajing tumbuh liar di tubir sungai Adakalanya kata-kata senja...

Next Post
Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra – Narasi untuk Ibu

Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra - Narasi untuk Ibu

Literasi yang Tak Masuk Akal, tapi Masuk Anggaran & Literasi yang Masuk Akal, tapi Tak Masuk Anggaran | Robby Wahyu Riyodi

Literasi yang Tak Masuk Akal, tapi Masuk Anggaran & Literasi yang Masuk Akal, tapi Tak Masuk Anggaran | Robby Wahyu Riyodi

Discussion about this post

Redaksi Marewai

© 2024 Redaksi Marewai

Ruang-ruang

  • Budaya
  • Sastra
  • Punago Rimbun
  • Pelesiran
  • Carito

Ikuti kami

No Result
View All Result
  • Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai

© 2024 Redaksi Marewai

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In