• Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai
Rabu, Oktober 15, 2025
  • Login
  • Daftar
  • Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai
No Result
View All Result
Redaksi Marewai
No Result
View All Result

Cerpen Pitrus Puspito – Pasar

Redaksi Marewai Oleh Redaksi Marewai
17 Mei 2025
in Cerpen, Sastra
1k 43
0
Home Sastra Cerpen
BagikanBagikanBagikanBagikan

                                                                                                          

Pagiku yang sepi pecah oleh sebuah teriakan, pukul 03.00 pagi aku bangun dengan seperempat kesadaran. Kemudian aku duduk termangun mengumpulkan nyawa. Bangun pagi adalah salah satu kesukaran, karena waktu itulah kita dipaksa meninggalkan dunia mimpi, dan harus memasuki dunia nyata.

Kudengar kembali teriakkan yang memanggilku tadi, “Bayu! Bayu bangun! Mau ke pasar jam berapa pemalas?” Itu suara bude sekaligus majikanku. Suara yang mestinya tak asing lagi bagiku, tapi karena mimpi semalam seolah-olah aku telah lupa siapa diriku di dunia nyata. Dalam mimpiku semalam aku adalah seorang seniman besar yang majikannya adalah keindahan saja, hal yang berbeda dengan profesi-profesi lainnya. Seniman memandang dunia sebagai karya seni yang maha indah, tanpa memikirkan slogan-slogan efektivitas dan efisiensi. Mungkin karena cita-citaku yang ingin jadi senimanlah yang membuat mimpi-mimpi itu selalu datang di setiap tidurku. Tetapi aku hanyalah Bayu, remaja dengan mimpi-mimpinya. Mimpi yang semakin jauh untuk digapai.

Nasib telah membawaku ke Semarang, dari bapak aku mendapat info pekerjaan ini- menjual ikan, usaha budeku. Kira-kira sudah dua tahun ini aku bekerja di Pasar Kobong, Semarang sebagai penjual ikan. Pada awalnya aku ingin pergi ke Jogja melanjutkan kuliah seni rupa di ISI Jogja. Tetapi karena orang tuaku yang menghendaki aku mengambil jurusan ekonomi, aku menolak untuk tidak kuliah sama sekali. Bekerja sebagai penjual ikan ini merupakan inisiatif orang tuaku juga, mereka mengharapkan aku belajar bisnis.

Aku memiliki rencanaku sendiri, aku ingin mengumpulkan uang dari pekerjaan ini, kemudian melanjutkan kuliahku suatu hari nanti. Rencana yang bagiku dulu sederhana, tetapi realitas berkata sebaliknya. Rencana yang bagiku sangat mulia, tetapi lihatlah dua tahun sudah berlalu, dan uang yang kukumpulkan hanya cukup hanya untuk membeli formulir pendaftaran kuliah saja.

Pagi hari di bulan Desember memang terasa berbeda dengan pagi hari di bulan-bulan yang lain, pagi hari yang sejuk mengundang malas. Mungkin karena Desember adalah bulan penutup tahun, sehingga orang enggan untuk bangun pagi karena dirasai sebelas bulan sudah sangat cukup untuk selalu bangun pagi untuk bekerja.

Pagi ini tanpa kopi, tanpa gosok gigi aku pergi mencari rezeki. Pasar! Pasar adalah medan perjuanganku setiap hari, perjuangan merayu pembeli. Dengan harapan yang besar kukayuh sepedaku pelan, pelan sampai sisa kesadaran datang sepenuhnya. Setiap genjotan pedal menimbulkan suara seperti orang menjerit, rantai yang berkarat itu digerakkan sepatu boot yang kebesaran ini. Sepeda ini menjerit dan merengek seperti bayi yang kenyamanannya mulai terusik. Tetapi ada yang patut dibanggakan dari sepeda kuno ini, selain sejarah dan jasanya yang besar, lampu sepeda tua ini membantuku menembus kegelapan kabut.

Pagi ini kabut tebal dan udara dingin sisa air hujan semalam, menampar-nampar pipiku. Tubuhku yang kurus tinggi kupakasa menahan hawa dingin yang menusuk. Tanganku seperti mati rasa, hanya jari-jari kakiku yang terasa hangat karena memakai sepatu boot. Kini tanganku benar-benar beku dari dalam, sementara kakiku tetap mengayuh sepeda secara otomatis, sebab sisa kesadaran terhalangi oleh hawa dingin pagi ini. Sementara kesadaran yang lain melayang-layang merajut imajinasi. Di tengah lamunanku, aku mulai melihat lampu-lampu yang benderang di depan sana. Pasar!

Pukul 04.15 aku sampai di pasar, kuparkir sepedaku dekat tempatku berjualan ikan, kupakai celemek untuk melindungi pakaianku supaya tidak amis. Di tempatku bekerja sudah ada pekerja budeku dengan wajah sewot karena keterlambatanku. Dia adalah tetangga kami, seorang ibu rumah tangga. Bisa dibilang dia ini senior, karena telah mangabdikan dirinya selama 8 tahun bekerja di tempat budeku. ‘Tutik’ demikian ibu senior ini dipanggil. Dia tipe wantita dengan kesabaran setipis tisu, anti rasa syukur dan suka mengatur. Dia mudah tersinggung dan menuntut orang melakukan yang dia mau.

Di pasar dua aktor berkuasa, yaitu pedagang dan pembeli. Tanpa mereka pasar tidak berarti, karena mereka kata ‘pasar’ dimulai. Keagungan kedua aktor ini mengalahkan aktor-aktor lainnya, yakni tukang parkir, tukang becak, kuli panggul bahkan preman pasar. Mereka yang mengerti esensi pasar seolah-olah tunduk dan memandang hormat pada kedua aktor tersebut.

Para pedagang menunggu, para pembeli mencari. Para pedagang merayu, para pembeli piker-pikir dulu. Ada negosiasi yang sengit ketika terjadi transaksi antara pedagang dan pembeli, mereka beradu argumen, mereka beradu barang dan uang, mereka beradu jasa dan uang samapi menemukan kesepakatan. Di antara segala perbedaan tadi ada satu persamaan antara pedagang dan pembeli: ‘Mencari Keuntungan’.

Di pasar orang menjual barang, mengobral kata, merangkai janji, sesekali harus bohong, dua kali- tiga kali menjadi sering dan biasa. Mereka selalu membesar-besarkan omongan, mengecil-mengecilkannya untuk meyakinkan lawan bicara. Barangkali ini wujud keindahan yang tersembunyi, seni meyakinkan orang lain.

Suatu kali aku dimarahi budeku. Aku mengatakan kepada pembeli bahwa ikan tengiri yang kami jual tidak lagi segar, tetapi sudah dua hari sejak ditangkap oleh nelayan. Hari itu juga aku dimaki-maki, “Dasar gak bisa jualan! Kalau begitu caranya pembeli tidak mau beli ikan di sini lagi. Kita memasang plang ‘jual ikan laut segar’ tetapi kau telah merusak maknanya.”

Dengan tenang aku menjawab, “Aku tidak bermaksud begitu,” Jawabku sambil menunjuk papan yang dimaksud. “Aku hanya tak ingin mengecewakan pembeli, dengan menipu mereka”.

“Menipu katamu! Di pasar kau belum tahu arti kata itu rupanya.” Bantah budeku.

“Tentu saja aku tahu. Bapak selalu mengajarkan tentang kejujuran, supaya orang lain mau mempercayai kita.” Jawabku pelan.

“Kejujuran! Lihatlah bapakmu yang tetap miskin karena jujur itu.” Bentak budeku dengan amarah yang hampir meledak.

Budeku itu diam sejenak mungkin menyadari telah menghina bapak dan menyinggung perasaanku, lalu ia melanjutkan, “Sekarang kamu boleh pilih, tetap bekerja di sini menaati peraturan yang ada? Atau pergi dan melupakan cita-citamu?” Nadanya datar mengancam. Aku kalah.

Di pasar tangan-tangan cekatan beraksi melayani pembeli, karena asas yang dipegang adalah efektivitas dan efisiensi. Dua tahun aku belajar menjadi bagian dari mereka, tetapi semahir mereka. Karena asas yang kupegang adalah ketenangan, ketelitian dan keindahan layaknya seniman besar lainnya. Akibatnya aku selalu mendapat semprot oleh Buk Tutik karena kerjaku lama, terlalu rapi dan terlalu dihayati. “Rugi kalau begini caranya!” katanya dengan nada jengkel. “Kalau memberi kantong plastik itu satu saja sudah cukup, jangan kau beri dua. Boros!”. Aku terdiam. Kalah!

Pasar yang kecil itu penuh menjelang pukul 08.00. Orang berdesak-desakkan, mondar-mandir, mencari-cari sesuatu, dan mententeng belanjaan. Para penjual memasang wajah ramah dangan senyum dilebarkan.

Di samping tempat kami bekerja, sepasang orang tua menjual martabak. Istrinya mengaduk dan menggoreng adonan martabak dengan terampil, sementara sang suami meracik bumbu dan memotong martabak yang matang. Pemandangan itu mengingatkanku saat aku masih kecil menyaksikan tangan-tangan cekatan pedagang, ketika aku diajak ke pasar oleh ibuku. Mereka bagaikan seorang pemain sirkus yang akrobatik. Para penjual ingin menunjukan bahwa mereka professional-ahli di bidangnya.

Pernah sekali waktu aku terlepas dari gandengan tangan ibuku. Waktu itu aku terkesima oleh bapak-bapak penjual dawet, tangannya yang lincah mengambil dawet, membagi santan, air gula merah, menuang ke kantong plastik dan sebagai penampilan penutup tangannya yang mantap memutar-mutarkan kantong plastik berisi itu kemudian mengikatnya dengan karet gelang. Spektakuler!

Lamunanku pecah oleh suara pembeli, Somande nama bapak itu. Beliau adalah pelanggan kami, pemilik rumah makan padang dekat terminal. Ia mulai memilih ikan setelah kuberi keranjang kecil sebagai wadah. Ia memilih ikan-ikan selar, tuna, bandeng dan udang bago. Seperti biasa aku lalu membersihkan udang dan ikan-ikan itu. Pak Somande sangat perfeksionis dalam memilih ikan dan kebersihannya. Meskipun begitu ia selalu simpati kepadaku, dan selalu mengucapkan terima kasih setelah menerima pesannanya. Kata terima kasih sungguh punya nilai bagiku.

Pembeli adalah raja, begitu kata pepatah. Selain Pak Somande yang perfeksionis ada seorang ibu yang rewel ketika membeli ikan, mulai dari memilih, menimbang, kebersihan ikan, sampai ketika akan membayar. Ibu itu bernama Sulis, ia juga pelanggan kami. Karena sudah terbiasa dengan permintaannya, hasil kerjaku kali ini benar. Ketika Ibu Sulis berlau lima langkah ia kembali lagi, “Masak kok gak didobel sih Mas, plastiknya!”, Aku cepat mengambil kantong plastik seraya menjawab, “Oh! Iya bu maaf, biar saya yang ke sana.” Waktu itu Ibu Tutik melirikku sinis.

Pembeli adalah raja memanglah benar adanya. Seberapa tua usiamu? Apa pun status sosial dan gelar yang kau miliki? dan seberapa kekayaan dirimu? Selama kau tidak membeli, tak ada yang peduli. Pasar memang diperuntukkan oleh kedua aktor utamanya, penjual dan pembeli. Mereka membuat undang-undang dan hukum yang tak tertulis tapi selalu ditaati, mungkin itu yang disebut kode etik pasar.

Kode etik pasar adalah keuntungan dan menguntungkan. Etika yang menyingkirkan nilai-nilai kebenaran ketika pedagang membohongi pembeli, ketika pembeli menawar seenaknya kepada pedagang yang malang. Etika yang menendang nilai-nilai kejujuran, ketika pedagang menawarkan mangga manis padahal asam, pedagang ikan yang menawarkan ikan segar padahal bangkai ikan.

Di pasar yang dipentingkan hanya keuntungan. Tetapi di pasar aku menggantungkan harapan, merangkai mimpi dan belajar menjadi manusia. Mempelajari karakter dari setiap orang yang kutemui. Belajar mengakomodasi keingan orang lain. Belajar menata ego diri sendiri.  


BIODATA

Pitrus Puspito adalah guru bahasa Indonesia dan peneliti bidang bahasa dan sastra Indonesia. Ia menempuh pendidikan terakhir di Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2020-2023). Selain menulis puisi dan cerita anak, ia juga menulis esai dan artikel ilmiah. Buku yang telah terbit yakni kumpulan puisi berjudul Yang Hilang (2018) dan Menyayangi Ingatan (2019) yang diterbitkan oleh Bening Pustaka.

Instagram: @pitruspiet

  • About
  • Latest Posts
Redaksi Marewai
ikuti saya
Redaksi Marewai
Redaksi Marewai at Padang
Redaksi Marewai (Komunitas Serikat Budaya Marewai) adalah Komunitas Independen yang menyediakan ruang bagi siapa saja yang mau mempublikasi tulisannya, sebuah media alternatif untuk para penulis. Kami juga banyak berkegiatan diarsip manuskrip dan video/film dokumenter, mengangkat sejarah dan budaya Minangkabau. Bebebapa dari karya tsb sudah kami tayangkan di Youtube Marewai TV.
Silakan kirim karyamu ke; [email protected]
Redaksi Marewai
ikuti saya
Latest posts by Redaksi Marewai (see all)
  • Literasi yang Tak Masuk Akal, tapi Masuk Anggaran & Literasi yang Masuk Akal, tapi Tak Masuk Anggaran | Robby Wahyu Riyodi - 10 Oktober 2025
  • Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra – Narasi untuk Ibu - 5 Oktober 2025
  • Puisi: M.Z Billal – Pertanyaan yang Dilarang Dipertanyakan - 30 September 2025
Tags: CerpenpuisiSastra

Related Posts

Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra – Narasi untuk Ibu

Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra – Narasi untuk Ibu

Oleh Redaksi Marewai
5 Oktober 2025

Mencari Jalan Mendaki ;untuk kerajaan Jambu Lipo di jalan tanah berlubang ini telah  kita susuri jejak-jejak kaki kuda lenguh...

Cerpen: Sales Event Organik (E.O) – Rori Aroka

Cerpen: Sales Event Organik (E.O) – Rori Aroka

Oleh Rori Aroka
3 Oktober 2025

Di ujung sebuah kota kecil, berdirilah sebuah toko pupuk bernama Event Organik (E.O). Namanya terdengar gagah, seolah-olah perusahaan itu...

Puisi: M.Z Billal – Pertanyaan yang Dilarang Dipertanyakan

Puisi: M.Z Billal – Pertanyaan yang Dilarang Dipertanyakan

Oleh Redaksi Marewai
30 September 2025

PERTANYAAN YANG DILARANG DIPERTANYAKAN apakah gerangan yang terjadi jika nanti pertemuan ini telah mencapai batas penghabisan?             ; tolong,...

Cerpen: Putri Oktaviani – Resep Penghianatan

Cerpen: Putri Oktaviani – Resep Penghianatan

Oleh Redaksi Marewai
24 September 2025

Irisan wortel yang merupakan sayuran kesukaanku dicampur dengan irisan kentang kesukaan suamiku, dengan tambahan brokoli yang mungkin akan menjadi...

Next Post
KOMUNITAS SENI NAN TUMPAH SIAP KUNJUNGI SEKOLAH-SEKOLAH YANG TELAH LOLOS SELEKSI PROGRAM NAN TUMPAH MASUK SEKOLAH 2025

KOMUNITAS SENI NAN TUMPAH SIAP KUNJUNGI SEKOLAH-SEKOLAH YANG TELAH LOLOS SELEKSI PROGRAM NAN TUMPAH MASUK SEKOLAH 2025

Resensi: Sang Ulama Penggerak – Elvi Nasriandani

Resensi: Sang Ulama Penggerak - Elvi Nasriandani

Discussion about this post

Redaksi Marewai

© 2024 Redaksi Marewai

Ruang-ruang

  • Budaya
  • Sastra
  • Punago Rimbun
  • Pelesiran
  • Carito

Ikuti kami

No Result
View All Result
  • Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai

© 2024 Redaksi Marewai

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In