• Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai
Rabu, Oktober 15, 2025
  • Login
  • Daftar
  • Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai
No Result
View All Result
Redaksi Marewai
No Result
View All Result

Cerpen Ade Mulyono | NAK

Redaksi Marewai Oleh Redaksi Marewai
4 Januari 2025
in Sastra, Cerpen
1k 43
0
Home Sastra
BagikanBagikanBagikanBagikan

“…Bu, jangan lagi bersedih, aku akan pulang ke rumah tepat pada Hari Paskah 12 April. Semoga Tuhan memberkati perjuanganku melawan rezim Orde Baru. Aku mempunyai keyakinan, Bu. Tahun ini akan menjadi tahun musim semi bagi kemanusiaan, bagi tibanya demokrasi, setelah puluhan tahun lamanya penghinaan terhadap hak asasi manusia terjadi. Aku hanya minta doamu, Bu.”

Rembulan sisa semalam telah sepenuhnya padam saat seorang wanita berusia lanjut mengurung dirinya dalam kamar. Di kamar anak lelakinya yang tak kunjung pulang, perempuan tua itu tersedu-sedu mencuci sepasang matanya dengan tangis. Perasaannya longsor. Entah sudah pagi yang keberapa wanita tua itu tidak pernah bosan membaca surat dari anaknya yang dikirim puluhan tahun silam.

Seperti membaca Alkitab wanita tua itu begitu khusuk memyimak kata demi kata pada secarik kertas di pangkuannya. Dari air mukanya tampak kesedihan telah mengungkung hidupnya. Tanpa disadari kantung matanya yang sudah kendor menumpahkan air dan menyeberangi pipinya yang keriput. Barulah sesudah khatam membaca tulisan tangan anaknya, dipeluknya surat itu dengan erat. Sekali-dua kali diciuminya surat itu sebelum dilipat dan disimpan di dalam kotak kecil di samping foto anaknya. Begitulah wanita tua itu menyambut pagi di kamar anaknya dengan perasaan sedu-sedan.

Sudah 21 tahun ini wanita tua itu tidak pernah absen membaca surat dari anaknya saban pagi. Mula-mula ia membersihkan tempat tidurnya, mengganti sarung bantal dan sprai sebelum disemprot wewangian. Baginya tidak ada yang lebih penting untuk dilakukan saban pagi selain membersihkan kamar anaknya. Wanita yang rambutnya sudah berwarna perak itu, bahkan lebih memilih bertengkar dengan suaminya jika  kebiasaan ganjilnya itu diprotes. Dilarang. Seperti yang terjadi beberapa beberapa tahun yang lalu.

“Apa kamu tidak bosan setiap pagi membersihkan kamar yang tidak boleh ditempati. Lalu untuk apa setiap pagi dibersihkan?” protes suaminya setengah jengkel kepada istrinya yang membiarkan dirinya kelaparan pada suatu pagi itu saat ia tak mendapati kopi dan gorengan singkong di meja kesayangannya.

“Apakah Bapak tidak pernah membayangkan anak kita kelaparan atau tidak? Apakah anak kita meraung kesakitan atau sehat-sehat saja? Apakah anak kita telah dilemparkan ke kandang anjing yang kelaparan atau sebaliknya mengais-ngais tulang? Apakah Bapak tidak mendengar rintihan suaranya? Apakah anak kita sudah mati atau belum? Aku yang mengandung dan melahirkannya, aku juga merasakan laranya,” jawab wanita itu sambil menangis tersedu-sedu.

Sejak pertengkaran hebat di pagi buta itu, suaminya kini tidak lagi memprotes kebiasaan ganjil istrinya. Suaminya sadar hanya dengan begitu istrinya dapat menenangkan hatinya—kesedihannya.

Meski kamar anaknya tidak terlihat kotor dan berantakan, istrinya tetap bersikeras untuk merapikan kamar tidur anak kesayangannya. Barang kali kecoak, nyamuk, dan tikus sekalipun tidak ada yang berani mengotorinya. Barulah setelah itu, ia akan membersihkan buku-buku anaknya yang berjejer rapi di meja belajarnya. Kegiatan rutin yang dilakukannya saban pagi itu membuat ia hafal buku-buku bacaan anaknya. Mulai dari sastra, filsafat, politik, hingga sosiologi. Terutama buku Pramoedya, Rendra, dan Albert Camus—pengarang favorit anaknya.

Namun, siapa sangka hal itu ia lakukan supaya dapat melepas rasa rindunya yang teramat dalam. Meski hati kecilnya selalu berharap suatu hari nanti ia akan mendapati anaknya sedang terlelap di kamarnya. Alasan musykil itu juga yang membuat suami, anak, dan menantunya kelimpungan. Sudah beberapa kali rumahnya disatroni maling. Terakhir tiga hari yang lalu. Untunglah hanya perabotan kecil yang digondol dengan susah paya setelah dipergoki oleh wanita tua itu, yang kerap terjaga di tengah malam.

“Nak, apakah itu kamu?” kata wanita malang itu pada suatu malam saat mendengar derap langkah kaki di ruang tamu.

Bagai kijang pencuri itu lari tunggang langgang hingga menabrak tembok dan kursi, sebelum menghilang di balik pintu yang tidak terkunci.

Tak lama setelahnya semua penghuni rumah dibuat panik terutama suaminya yang mendapati istrinya sedang bersimpuh sambil menangis tersedu-sedu di halaman rumah.

“Pak, anak laki-laki kita pulang. Dia lari ke sana,” ujarnya sambil menudingkan telunjuknya ke arah tembok samping rumahnya.

Suaminya jelas kebingungan melihat kejadian ganjil malam itu. Kemudian suaminya menuntun istrinya masuk ke dalam rumahnya dengan langkah tertatih.

“Radio kesayangan Bapak hilang,” kata Riska anak perempuannya. “Ya, sudah mulai sekarang pintu rumah harus dikunci,” ujarnya dengan nada tinggi.

“Tidak!” bentak wanita tua itu kepada anak perempuannya. “Bagaimana kalau anak lelakiku pulang?”

Semuanya diam. Tidak ada suara kecuali keheningan yang membuat bunyi jarum jam lebih nyaring di gendeng telinga.

“Sudah, Bu. Ayo masuk ke kamar. Masih larut malam nanti tetangga pada bangun tidak enak,” potong suaminya menenangkan istrinya.

Selama ini wanita tua itu tidak pernah mengunci rumahnya hanya berharap suatu malam, entah kapan, anaknya akan pulang sebagaimana kebiasaannya dulu yang kerap pulang tengah malam secara diam-diam. Apakah itu hanya alasan untuk menghibur hatinya saja? Hanya ia sendiri yang tahu sebagai seorang ibu yang kehilangan putranya. Itu sebabnya, di kamar itu ia selalu mengingat anaknya dari masa kecil hingga dewasa. Terlebih saat anaknya memasuki dunia pergerakan sebagai aktivis pro demokrasi, kamarnya selalu ramai karena dijadikan basecamp untuk berdiskusi dengan teman-temannya. Katanya, kamar adalah tempat paling aman untuk mengkritik Soeharto. Katanya, sudah banyak teman-temannya yang diringkus oleh aparat meski hanya membicarakan Bumi Manusia, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan komunisme.

Begitulah kehidupan seorang ibu melihat kekejaman rezim otoriter—yang gemar mengumbar azimat “subversif” untuk meringkus pengkritiknya. Salah satu korban dari keberingasan rezim militerisme ialah Bimo—anak lelaki wanita tua itu, yang kini keberadaannya ditelan bumi—dibawa lari angin entah ke mana hingga bau tubuhnya pun tidak tercium.

Di lautkah? Di dasar jurang, tebing, lumpur, danau, atau busuk di tahanan? Hanya Tuhan, Soeharto dan orang-orangnya yang tahu.

Orangtua Bimo terutama ibunya, awalnya berat hati dengan kegiatan anaknya yang mengundang marabahaya untuk dirinya sendiri. Terceritalah percakapan terakhir antara Bimo dan kedua orangtuanya puluhan tahun silam.

“Memperjuangkan demokrasi dan kebebasan ialah panggilan kemanusiaan. Betul kan, Pak?” tanya Bimo suatu sore di berenda rumahnya dengan pede-nya.

“Apa kamu sudah berpikir matang, Nak?” balas Ayah Bimo balik bertanya sesudah menyeruput kopi hitam kesukaannya.

“Semua sudah kupikirkan. Termasuk konsekuensi perjuangan yang harus kutanggung.”

“Itu satu paket dengan pengorbanan. Tapi kamu kan tahu, rezim ini sangat kuat sebab didukung militer. Tidak mudah menumbangkan tembok yang sudah dilapisi besi.”

“Paling tidak aku akan menabraknya hingga remuk, Pak. Tekad yang kuat ialah modal utama yang harus dimiliki.”

Kedua orangtuanya tertegun mendengar jawaban anaknya.

“Aku tidak peduli sekokoh apa pun tembok rezim otoritarianisme itu, meski dibangun dengan beton sekalipun, aku akan menabraknya hingga luluh lantak atau aku sendiri yang tumbang karenanya.”

Ibunya, perempuan yang sudah mengandung, melahirkan, dan menyusuinya itu, tak sanggup menahan air matanya yang sudah di ujung mata saat mendengar ucapan anaknya.

“Ibu takut sesuatu yang buruk terjadi padamu, Nak.”

Siapa sangka itu akan menjadi pertemuan terakhir antara anak dan orangtuanya yang penuh perasaan sentimental layaknya dialog dalam film India saat terjadi konflik.

Seperti sudah menjadi suratan Tuhan, kini apa yang ditakuti ibunya telah menjadi kenyataan. Sebab, 22 hari sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, Bimo sudah tidak dapat lagi ditemukan keberadaannya. Berbagai tempat sudah didatangi oleh keluarga Bimo, tetapi setiap orang yang ditanyainya memberikan jawaban yang sama: menggelengkan kepala.

Ibunya tidak putus asa, satu persatu teman-teman kuliah Bimo ikut didatanginya, sebelum kawan seperjuangannya memberikan pengakuan yang membuat dadanya sesak: “Bimo diculik, Bu,” ujarnya dengan suara parau.

Mendengar jawaban itu ibu Bimo langsung jatuh pingsan. Satu kata yang tidak asing dan begitu ngeri bagi siapa saja yang mendengarnya. Kata itu juga yang membuat semuanya menjadi panik. Syukurlah setelah setengah jam akhirnya ibu Bimo sadarkan diri. Sementara ayah Bimo masih berbincang dengan kawan seperjuangan anaknya itu yang diketahui bernama Serenada.

“Ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi dengan Bimo,” pinta Ayah Bimo kepada Serenada dengan perasaan cemas.

“Kejadiannya begitu cepat. Waktu itu kalau tidak salah awal bulan April, Bimo mendapatkan tugas untuk menyampaikan informasi ke komando wilayah kota. Bimo hanya menitipkan pesan setelah pertemuan di Grogol. Jika aku tidak bisa lagi dihubungi berarti situasiku dalam bahaya. Jika aku tidak bisa lagi ditemukan berarti aku telah diringkus,” balas Serenada menirukan ucapan Bimo.

Mendengar cerita itu ayah Bimo tak kuasa menahan tangis. Dari situ tahu bahwa air mata bukan milik seorang perempuan semata.

Tidak lama setelah peristiwa itu, “KontraS” sebuah lembaga yang menangani tindak kekerasan dan penculikan paksa merilis berita korban-korban penculikan paksa yang dilakukan oleh rezim penguasa. Dari sekian banyaknya daftar, nama P. Bimo A menjadi salah satu korban dari kebengisan rezim tirani. Rilis berita itu mempertegas kesedihan keluarga Bimo, terutama ibunya. Perempuan yang sudah membesarkannya selama 25 tahun.

*

Pasca-Reformasi yang menandai tumbangnya rezim otoritarianisme, keluarga korban penghilangan paksa seakan-akan mendapatkan setitik asa saat seorang dari civil society— pengusaha kayu—berhasil memenangkan pemilu presiden yang digelar pada tahun 2014. Tidak terkecuali ibu Bimo. Di usianya yang sudah senja, uban telah menjadi mahkota di atas kepalanya, ia masih menjaga api pengharapan akan tibanya suatu keadilan untuk anaknya yang telah dirampas usia emasnya yang sedang bersinar liar bagai kuda jalang. Setidaknya ia tahu di mana Bimo dikuburkan jikalau anaknya telah meninggal.

Namun, puisi telah menjadi prosa dalam pengertian sebaliknya: membual. Bukan itu yang dimaksud Vaclav Havel. Tahun 2019 yang mana sang presiden dari civil society itu telah menjabat untuk kedua kalinya, tetapi presiden hari ini sebagaimana presiden sebelumnya: memilih bungkam. Dan membiarkan kasus pelanggaran HAM berat bagai awan mendung menggantung antara bumi dan langit. Persoalan itu tampak saat istana mengisyaratkan bahwa penegakkan HAM tidak menjadi agenda prioritas presiden. Bagai langit telah runtuh, hancurlah ketegaran hati ibu Bimo.

Apakah presiden tidak mengerti perasaan seorang Ibu yang bertahun-tahun lamanya mencari keadilan untuk anaknya. Sejak saat itu, ibu Bimo kerap melihat darah, kaki dan tangan berserakan di jalanan. Tentu saja hanya orang yang hatinya terluka di hadapan ketidakadilan yang dapat melihat pemandangan mengerikan itu. Entah darah siapa yang membanjiri jalan raya, entah tangan dan kaki siapa yang berserakan di emperan toko, di pinggir jalan, entah jaket siapa yang berlumur darah berkibar setengah tiang menantang udara panas Kota Jakarta.

Hari itu seperti biasa ibu Bimo masih melakukan kebiasaannya: membersihkan kamar anaknya hingga menghabiskan setengah harinya. Riska anak perempuannya—kakak Bimo, kemudian menghampirinya dan mendapati ibunya sedang menangis tersedu-sedu sambil mengelap foto Bimo. Meski foto Bimo selalu bersih sebagaimana tempat tidur Bimo yang selalu rapi dan wangi. Riska memberanikan diri duduk di sebelahnya lalu mengelus punggungnya. “Bu, ini pakaian hitamnya sudah aku setrika,” kata Riska. “Ibu tidak lupakan nanti sore Aksi Kamisan akan diadakan di depan Istana Negara?”

“Para pemimpin negara boleh lupa, tapi seorang Ibu yang ingatannya terus digerogoti usia, sedikit pun tidak akan lupa kemalangan nasib anaknya,”  jawabnya lirih.

“Kalau begitu sekarang Ibu makan dulu sejak dari pagi belum makan.”

“Ibu tidak berselera, Nak. Seperti pemerintah tidak berselera jika dihidangkan menu kasus HAM. Membiarkannya basi barangkali ialah cara terbaik bagi mereka sebelum berganti pemimpin lainya.”

Sudah menjadi pembicaraan umum, entah sudah berapa banyak Aksi Kamisan digelar untuk meminta keadilan. Siang itu matahari dengan ganasnya menyengat Kota Jakarta. Ratusan orang terutama dari keluarga korban pelanggaran HAM berdiri di depan Istana Merdeka dengan baju hitam dan payung hitam.  Mereka begitu tegar meski sengatan matahari menusuk ke kulitnya. Mereka berkumpul bukan untuk meminta sembako, melainkan keadilan. Selama ini mereka diam bukan berarti tidak ada.

Mereka tidak pernah lelah kendati harapan tinggal harapan, tetapi api semangat tak padam untuk terus menagih janji presiden. Aksi Kamisan tentu kalah pamor dan tak seglamor politisi yang hilir mudik di Istana. Di situ mata media berkerumun menunggu gelak tawa pejabat negara daripada menyaksikan tangis kesedihan keluarga korban pelanggaran HAM.

Di antara banyaknya orang yang mengikuti Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, terlihat perempuan tua dengan wajah letih. Badannya yang kurus dibungkus baju hitam. Ia berdiri sekuat tenaga sambil tangan kirinya memegang payung hitam dan tangan kanannya memeluk foto anaknya: Bimo. Sementara darah membanjiri kakinya, mengalir sepanjang jalan raya hingga menggenangi halaman istana. Entah darah siapa, tidak ada yang melihatnya, kecuali perempuan tua itu yang menangis melihat jasad anaknya yang timbul dan tenggelam sebelum hanyut ke lepas laut.

Catatan:

Terilhami dari kisah Petrus Bima Anugerah—aktivis korban penculikan paksa Orde Baru.

Biodata

Penulis, Ade Mulyono lahir di Tegal. Prosasis dan esais.

  • About
  • Latest Posts
Redaksi Marewai
ikuti saya
Redaksi Marewai
Redaksi Marewai at Padang
Redaksi Marewai (Komunitas Serikat Budaya Marewai) adalah Komunitas Independen yang menyediakan ruang bagi siapa saja yang mau mempublikasi tulisannya, sebuah media alternatif untuk para penulis. Kami juga banyak berkegiatan diarsip manuskrip dan video/film dokumenter, mengangkat sejarah dan budaya Minangkabau. Bebebapa dari karya tsb sudah kami tayangkan di Youtube Marewai TV.
Silakan kirim karyamu ke; [email protected]
Redaksi Marewai
ikuti saya
Latest posts by Redaksi Marewai (see all)
  • Literasi yang Tak Masuk Akal, tapi Masuk Anggaran & Literasi yang Masuk Akal, tapi Tak Masuk Anggaran | Robby Wahyu Riyodi - 10 Oktober 2025
  • Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra – Narasi untuk Ibu - 5 Oktober 2025
  • Puisi: M.Z Billal – Pertanyaan yang Dilarang Dipertanyakan - 30 September 2025
Tags: CerpenpuisiSastra

Related Posts

Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra – Narasi untuk Ibu

Puisi-puisi Chalvin Pratama Putra – Narasi untuk Ibu

Oleh Redaksi Marewai
5 Oktober 2025

Mencari Jalan Mendaki ;untuk kerajaan Jambu Lipo di jalan tanah berlubang ini telah  kita susuri jejak-jejak kaki kuda lenguh...

Cerpen: Sales Event Organik (E.O) – Rori Aroka

Cerpen: Sales Event Organik (E.O) – Rori Aroka

Oleh Rori Aroka
3 Oktober 2025

Di ujung sebuah kota kecil, berdirilah sebuah toko pupuk bernama Event Organik (E.O). Namanya terdengar gagah, seolah-olah perusahaan itu...

Puisi: M.Z Billal – Pertanyaan yang Dilarang Dipertanyakan

Puisi: M.Z Billal – Pertanyaan yang Dilarang Dipertanyakan

Oleh Redaksi Marewai
30 September 2025

PERTANYAAN YANG DILARANG DIPERTANYAKAN apakah gerangan yang terjadi jika nanti pertemuan ini telah mencapai batas penghabisan?             ; tolong,...

Cerpen: Putri Oktaviani – Resep Penghianatan

Cerpen: Putri Oktaviani – Resep Penghianatan

Oleh Redaksi Marewai
24 September 2025

Irisan wortel yang merupakan sayuran kesukaanku dicampur dengan irisan kentang kesukaan suamiku, dengan tambahan brokoli yang mungkin akan menjadi...

Next Post
Cakap Film – MEMBACA SINEMA MENONTON SASTRA: ONE HUNDRED YEARS OF SOLITUDE | Nanda Winar Sagita

Cakap Film - MEMBACA SINEMA MENONTON SASTRA: ONE HUNDRED YEARS OF SOLITUDE | Nanda Winar Sagita

Imaji-imaji Bengal Beri dan Segala yang Tak Terpahami | Fatah Anshori

Imaji-imaji Bengal Beri dan Segala yang Tak Terpahami | Fatah Anshori

Discussion about this post

Redaksi Marewai

© 2024 Redaksi Marewai

Ruang-ruang

  • Budaya
  • Sastra
  • Punago Rimbun
  • Pelesiran
  • Carito

Ikuti kami

No Result
View All Result
  • Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai

© 2024 Redaksi Marewai

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In