Minangkabau pada awal tumbuh sebuah peradaban yang disebut dengan Adat Alam Minangkabau sejak zaman pemerintahan Datuak Katumangguangan tahun 1318 M, saat itu beliau lebih dikenal dengan Sultan Malikul Akbar (Sutan Panduko Basa) setelah dinobatkan oleh seorang alim ilmu yang lebih dikenal kependekarannya “Alhi Isqi” (ahli pemikir) pada zamanya. Disebut Cati Bilang Pandai, dan seorang Penghulu di Pariangan yang terkenal dengan kepiawaiannya yang bernama Datuak Suri Dirajo. Di dalam Kaba Tareh Batang, beliau-beliau ini yang menobatkan Sultan Paduko Basa sebagai pemegang tampuk kekuasaan Raja pada masa itu di Negeri Tiga Lurah, Tiga Jurai, di dalam Lingkup Tiga Gunung menjalar ke Negeri Tujuh Gunung di Alam Pulau Emas (Di tengah pedalaman Pulau Sumatera). Pada saat penobatan Sultan Paduko Basa kala itu beliau masih kecil, karena kerajaan di Pariangan tahta istana kosong sepeninggal Sri Maharajo Dirajo atau disebut juga Sri Maharaja Diraja Sangsito Sangkalo yang tidak lain adalah seorang ayah handa dari Datuak Katumangguangan (Sutan Basa/Sutan Panduko Basa). Pada saat itu pusat pemerintahan dari Pariangan ke Bungo Satangkai.
Pada masa pemerintahan itu Sultan Panduko Basa yang jadi pemangkunya adalah seorang mamaknya sendiri Datuak Suri Dirajo, sampai kepada beliau nanti nikah dengan seorang anak beliau yang bergelar Puti Reno Pariangan. Pada saat pemerintahan dipegang kendali oleh Sutan Panduko Basa. Suatu peristiwa terjadi membuat nagari Pariangan bergoncang. Dipinanglah seorang adindanya, yang seayah-seibu dengan orang yang meminang, dan sedangkan dengan Sutan Panduko Basa seibu berlainan ayah. Gadis Itu bernama Puti Reno Sudah. Dipinang oleh kakaknya yang bernama Sutan Balun yang nantinya bergelar Datuk Parpatiah Nan Sabatang untuk dijadikan istri, disampaikan oleh Manti Tuo.
Maka mendengar perkataan dan pinangan itu, menggigil Mande Indojalito, berkerut kening Datuak Suri Dirajo, dan menyintak bermuka merah Sultan Paduko Basa kepada Datuk Perpatiah Nan Sabatang. Terjadilah adu argumen beserta bantah, antara Sutan Panduko Basa dengan Sutan Balun. Melihat hal itu, mande keduanya Sutan, Puti Indojalito tersipuh lemah dan terdiam bercucuran air mata melihat perbuatan (tingkah-tingkah perangai) anak-anaknya. Maka Datuak Parpatiah Nan Sabatang langsung keluar rumah.
Sehingga tersiarlah kabar pada saat itu, dari pembesar-pembesar istana sampai kepada basa-basa, penghulu-penghulu dan masyarakat nagari Pariangan. Melihat hal itu terjadi, maka dikumpulkanlah orang-orang Pariangan serta pembesar-pembesar istana, penghulu-penghulu dan basa-basa setiap negeri, oleh Datuk Suri Dirajo dan Cati Bilang Pandai untuk membahas hal perkara (pinangan) yang terjadi dilakukan oleh Sutan Balun. Dikumpulkan di Padang Sikuyan Kuyan.
Disaat itu, timbul sebuah pernyataan oleh Datuk Perpatiah Nan Sabatang (Sutan Balun) yang telah membuat geger Nagari Pariangan, menyambah sambil tersenyum, minta ampun kepada Dt. Suri Dirajo, berserta ayah kandung (Cati Bilang Pandai), mande kandung (Puti Indojalito), serta kepada kakak Sutan Paduko Basa, dan kakak Tuo Puti Reno Pariangan dan kepada Penghulu-Penghulu Basa-Basa Hulubalang dan orang isi dalam Nagari Pariangan. Berkata Datuk Parpatih Nan Sabatang. “Sungguhpun Puti Reno Sudah yang kupinang, melainkan meminang adik pada zahirnya, tetapi meminang hukum pado batinnya.
Sawah gadang lai bapamatang, tapi tak tantu ba apo sawah gadang nyo? baa pulo pamatangnyo, gurun tadeh lai babintalak, ba apo gurun tadehnyo? Baa bintalaknyo, lai ado bateh jo supadan. Tapi ba apo itu batehnyo, ba apo pulo supadanyo? Badindiang lai babiliek, tapi dimano biliek gadangnyo? dimano biliak dalam? dimano biliak ketek nyo? inggo ingganyo indak duduak, indak ado hukum jo undangnyo.
Sebuah pernyataan dan permintaan Sutan Balun di dalam sidang pada saat meminta untuk sebuah hukum yang harus ditetapkan dan dijadikan pegangan oleh orang banyak sampai kepada generasi seterusnya. Mendengar perkataan Sutan Balun, tersenyum seluruh sidang, tacangang segala Manti, merunduk kepala segala Penghulu-Penghulu dan Basa-basa, galak bagumam mande kanduang jo bapak kanduang, galak tasinggik mamak kanduang, galak badarai Sutan Paduko Basa jo Puti Tuo, diputuskanlah perkara pada saat itu. Disusun Adat Jo Limbago, berpatikan undang dengan hukum di Darek sampai ke Pesisir, sampai Pula kepada timbul sebuah sistem yang disebut Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago sampai suatu lareh pertengahan, yang disebut Lareh Nan Panjang. Dari sinilah akar sebuah Adat Alam Minangkabau. Adat Minangkabau secara teguh menjadi pakaian, menjadi pandangan hidup, landasan tatanan masyarakat adat, yang diwarisi dari generasi terdahulu sampai kepada generasi kemudian. Begitu Adat Minangkabau yang di perturun naikan dari Darek sampai ke Rantau Minangkabau.
Pada suatu peristiwa perjalanan seorang anak kamanakan Nagari Tigo Lareh (Darmasraya), menurut Tambo Bungka nan Piawai Salinan Ayahanda Alm. Emral Djamal Dt. Rajo Mudo, yakni anak cucu dari Raja Tuangku Tiang Panjang di daerah Tigo Lareh yang melakukan perjalanan, pengembaraan sebagai seorang Patih sebuah negeri yang di sebut di Negeri Madang Kamulan (Negeri Majapahit) untuk melakukan misinya (penaklukan daerah) sampai kepada daerah Alang Puni, Sialang Gadang (Negeri Malaysian dan Pulau Kalimantan sekarang). Ketika kejadian itu beliau dipanggil oleh seorang kakeknya dan ibunda yang sedang berada di Negeri Tigo Lareh, untuk pulang kembali ke negeri asalnya untuk memerintah. Menggantikan pemerintahan ibunya yang telah tua disebut Puti Reno Marak Janggo dalam Tambo Silsilah Rajo-rajo, dan sebagai mana disebut oleh Tambo Bungka Nan Piawai beliau ini disebut juga Puti Tuo.
Adityawarman atau yang disebut juga Raja Anggang di Minangkabau. Sedangkan Menurut Ayahanda Alm. Emral Djamal Dt. Rajo Mudo dalam Tambo Salsilah Rajo-rajo Pagaruyung, beliau disebut sebagai raja yang bergelar Raja Dewang Palakamo Dewano, dan lain hal dengan Tambo Bungka Nan Piawai beliau lebih dikenal dengan Rajo Pituanan. Raja Adityawarman ketika sampai di perdalaman Minangkabau beliau menikah dengan seorang anak kamanakan Datuak Suri Di Rajo dan adinda dari Datuak (Sutan) Nan Baduo, beliau yang disebut Puti Reno Jalito (Puti Jamilan).
Pada saat perkawinan ini, disinilah peran segala pembesar raja dari Tiga Wangsa yaitu Wangsa Buanapura (Dinasti Pariangan), Wangsa Sirenopuro (Dinasti Sriwijaya/Sibijayo) dan Wangsa Malayupura (Dinasti Mauli). Ketika Adityawarman datang hendak menikah dihantar orang Wangsa Malayupura (Orang Tigo Lareh) untuk melakukan pernikahan di Pariangan dengan puti yang indah rupa yakni Puti Reno Jalito (Puti Jamilan) membawa seluruh para pembesar Tigo Lareh para Penghulu dan Manti serta anak kamanakannya.
Menghantar Adityawarman secara adat berserta mahkota dan gelar kerhormatan “Dewang Palakamo Rajo Indo Dewano (Udayatiyawarman Pratapa Parakrama Rajendra Maulimaliwarmadewa)” dari orang Malayupura, sesampai di jenjang rumah Gadang Dt. Suri Dirajo. Sang Adityawarman diserai beras kuning oleh Mande Tuo rumah gadang Datuk Suri Dirajo, sedangkan pada saat itu Adityawarman berserta keluarga mamak dan serta anak kamanakan yang menghantar serta Basa-Basa Penghulu-Penghulu dari Nagari Tigo Lareh disuruh naik.
Disaat Adityawarman naik, tepat di depan pintu dibentangkan lapiek (tikar) kecil yang beranyaman (daun kubung) serta dikasih beludu di atasnya, melihat hal demikian oleh Mande Tuo pihak Adityawarman dibuka selendang panjang yang terlilit di kepalanya, dialaskan di atas bentangan tikar dari Mande Tuo orang Pariangan, sedang yang dipihak untuk menikahkan (Kali nikah/orang agama) telah hadir juga dari Wangsa Sirenopuro, oleh Mande Tuo orang Sirenopuro melihat hal yang demikian diambil sebuah kendi kecil berisi air dan talam di tarok di depan Sang Adityawarman. Tercenganglah orang rami dan Basa-Basa Penghulu-Penghulu yang mengiringi, melihat perkara itu terjadi serta orang Pariangan dan Sirenopuro. Maka oleh Mande Tuo Pariangan disuruh Adityawarman menjulurkan kaki kanannnya lalu dibasuh ujung ampu kaki Sang Adityawarman oleh Mande Tuo Pariangan, kemudian dipersilakan masuk untuk melangkahkan kaki kanannya, berjalan meniti kain selendang dan lapiek yang terbentang dengan langkah tatagun-tagun menuju ruangan rumah gadang Datuk Suri Dirajo, terus berjalan duduk di atas kasur Raja Nan Golo di ruangan Sitindih Rumah Gadang Untuk melakukan pernikahan dengan Puti Reno Jalito (Puti Jamilan) yang berada di dalam kamar.
Dinikahkan oleh kakaknya Datuk Perpatih Nan Sabatang (Sutan Balun) dan Datuk Katumanggungan (Sutan paduko Basa) ikut mendampingi, sedangkan mamaknya Datuk Suri Dirajo menyambut seluruh tamu yang datang berdiri di depan pintu, kemudian duduk menghadap kepada anak kamanakanya yang sedang melakukan pernikahan. Di sinilah pangkal jalan jalur turunan Adat Alam Minangkabau yang memakai “Kain Jajakan” mulai dari darek sampai kepada rantaunya.
Di Nagari Sungai Pinang Koto XI Tarusan Persisir Selatan Sumatera Barat. Menurut Alm. Angku Rantuo Asril Rantuo Rajo Bilang, Angku Penghulu Marto Dt. Rajo Bagaga, Ayahanda Alm. Alimir Sutan Sinaro Dan Ayahanda Alm. Zarman Datuak Bandaro Sati. Melaksanakan prosesi “Kain Jajakan” ini telah adanya berlangsung dari ninik- ninik terdahulu yang dimulai pada pernikahan “Rajo Anggang” di Pariangan Padang Panjang. Adat inilah yang masih dipertahankan oleh masyarakat Nagari Sungai Pinang menggunakan “Kain Jajakan” apabila melakukan acara alek kawin ketika nikah dan dilakukan pada saat sejalan satu hari (malam hari), mulai dilakukan prosesi pengangkatan gelar mempelai pria (anak kamanakan) yang dihadiri oleh Ninik Mamak Nagari Sungai Pinang, setelah diberikan gelar yang disebut pusako dari kaum untuk anak kamanakan, yang mana ungkapan pepatah adatnya pihak anak daro menjemput marapulai setelah melakukan prosesi batagak gala di rumah mempelai pria di lingkup Ninik Mamak Nagari.
“alah sapakat kami silang nan bapangka, sarato mamak korong nan buntak, sarato mamak korong nan panjang, di bawah payuang (sebut gelar penghulu) kami datang andak manjapuik marapulai, sungguhpun marapulai surang nan kami japuik, sarato adat jo pusakonyo, sarato bapak jo mandenyo, sarato silang jo pangkanyo, sarato andan jo sumandanyo, sarato anak mudo-mudo, japuik kami japuik tabao, kok batali buliah diirik, kok batampuak buliah dijinjiang.” Begitu bunyi legaran kato penjemputan marapulai. Kata putuih marapulaipun dibawa turun dengan baju yang sudah disediakan baju perlengkapan seorang raja, sedangkan di pesisir disebut “Baju Tokah”.
Setelah itu semua orang dalam ruangan menghantar bersama-sama baik orang isi rumah begitupun seluruh ninik mamak (ninik mamak nagari) yang ada. Untuk menghantar melakukan acara pernikahan seorang anak kamanakan laki. Setelah sampai di depan rumah pengantin perempuan, simarapulai diserak oleh beras kuning, dipersilakan naik. Di sinilah akan berlaku prosesi pemijakan “Kain Jajakan”. yang telah disediakan oleh Mande Tuo (Bundo Kanduang Kaum) yang dibentangkan lapiak pandan kecil atau sajadah, kemudian dilipat dua kan, dibujurkan di tengah sajadah atau (lapiak pandan kecil) dan tarok sebuah kendi kaca berserta dulang (talam) di depan pintu akan masuk.
Hal yang sama diperlakukan seperti Sang Adityawarman (Rajo Anggang) akan naik ke Rumah Gadang Datuak Suri Dirajo. Begitu halnya juga dengan seorang mempalai laki yang akan menaiki rumah pengantin perempuan yang akan dinikahi. Dicuci ujung jari (ibu jari kaki) dan disuruh untuk meniti kain (lapiak dan kain jajakan) yang telah dibentangkan. Kemudian dipersilakan duduk bersila di atas kasur yang disebut “duduk rajo baselo di nan golo”.
Sedang makna yang terkandung menurut sesepuh Tuo Nagari Sungai Pinang mencuci ujung ampu kaki (ibu jari kaki) mempelai pria itu, melambangkan seorang pemimpin di rumah tangga, ampu kaki yang dibawa berjalan hendaknya dalam bersih, dalam artian perihal hasil pencarian yang akan dibawa ke rumah hendaknya harta itu bersih dari hal-hal yang haram dan subhat, dan sebaliknya melambangkan seorang sumando yang naik ke atas rumah itu hendaknya dia bisa membawa ketentram, kenyamanan dalam rumah tangga. Sedang kain lurus di bentangkan itu melambangkan seorang sumando selalu berjalan lurus dan melangkah berjalan membimbing untuk kebaikan dunia dan akhirat, tapi dengan cara kebaikan (iman dan islam), sedang lapiak atau sajadah melambangkan seorang sumando teguh dalam pendirian, tidak mudah dihasut, bergoyang dengan terpaan badai kehidupan dalam menjalani bahtera rumah tangga, “tagak di tanah sabingkah, duduak di lapiak salai indak bapaliang, ungkapan dalam Pituah Minangkabau.”
- Sejarah Makanan Adat: Gulai Pangek Bada Jo Gulai Kacang, Tanda Penghormatan Raja Kepada Cendikiawan – Bagian 2 - 2 Oktober 2024
- Seri Punago Rimbun: Sejarah Menepinya Raja Alam Surambi Sungai Pagu, Samsudin Sandeowano Setelah Penobatan di Pagaruyung - 26 September 2024
- Punago Rimbun: Hilangnya Keris Kesaktian Bunga Kesayangan | Zera Permana - 21 September 2024
Discussion about this post